SAAT PRAHARA MELANDA
Rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah merupakan cita-cita setiap keluarga, namun kenyataannya masih banyak yang tidak sesuai kenyataan, hal ini disebabkan banyak persoalan, sehingga harus terhenti di tengah jalan. Di antara persoalan yang sering muncul dan menimbulkan perselisihan adalah adanya sikap sewenang-wenang dan tidak adanya pengertian akan kewajiban masing-masing. Rumah Tangga adalah Ibadah, terjalinnya ikatan dalam bingkai rumah tangga bukan hanya atas dasar kebutuhan fitrah, namun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari yang namanya ibadah. Bahkan, rumah tangga adalah ibadah terpanjang yang akan kita jalani, setiap aktivitas, interaksi, arahan, nasihat dan usaha kita dalam membina rumah tangga merupakan sarana untuk meningkatkan dan menyempurnakan amaliah ibadah kita kepada Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam,
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ اِسْتَكْمَلَ نِصْفَ الدِّيْنِ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
Artinya: Apabila seorang hamba menikah maka dia telah menyempurnakan sebagian agamanya, maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah pada sisa sebagian lainnya. [HR. Thabarani dalam al-mu’jam al-ausath, no. 8794. Dihasankan Syaikh Al-Albani dalam ash-shahihah, no. 625]
Berkata Badruddin Al-‘Aini, Karena di dalam pernikahan terkandung makna ibadah, maka pernikahan merupakan sunah para nabi dan rasul, terkandung juga penyempurna sebagian agama, sehingga banyak hadits dan atsar tentang ancaman terhadap orang yang membencinya dan anjuran bagi yang menyukainya. Namun, dalam proses membina dan membangun rumah tangga tersebut tidak boleh lepas dari yang namanya niat yang jujur kepada Allah Ta’ala dan kesesuaiannya dengan aturan Rasulullah ﷺ sehingga tujuan ibadah tersebut tercapai, namun bila salah dalam niat dan salah mengambil aturan maka ibadah tersebut bisa berubah menjadi malapetaka. Inilah landasan ibadah yang tekandung dalam bingkai rumah tangga, dengan berbagai ragam dilema dan persoalan di dalamnya, serta perjuangan dan usahanya yang tak terhitung masa. Dari sahabat ka’ab bin ujrah, dia berkata:
مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ جِلْدِهِ وَنَشَاطِهِ، فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ : لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :”إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ“.
Artinya: Pernah ada seseorang yang melewati Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam melihat kemampuan dan semangatnya, lalu mereka berkata, Kalau sekiranya orang ini berada di jalan Allah (tentu baik baginya)?Maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Jika ia keluar bekerja untuk anak-anaknya yang masih kecil, tentu dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar bekerja untuk menafkahi kedua orang tuanya yang sudah tua, tentu dia di jalan Allah. Jika ia bekerja untuk dirinya, yakni untuk menjaga kesucian diri, maka dia di jalan Allah, dan jika ia keluar bekerja untuk riya’ dan berbangga-bangga (di hadapan manusia), maka dia berada di jalan setan. (HR. Thabarani dalam al-mu’jam al-kabir, No. 15619. Dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam shahih al-jami’, No. 1428)
Berkata Ibnu Qudamah, Pernikahan merupakan bagian dari sunah para rasul, dia lebih utama dari memfokuskan diri untuk ibadah sunah. Perjalanan yang Tak Selalu Indah, tidak ada lautan yang tak berombak, demikianlah gambaran perjalanan yang akan dilalui saat berumah tangga, yang kita kenal dengan bumbu pernikahan, meskipun tidak semua rumah tangga berhasil melaluinya, karena tekanan kebanyakan menimbulkan ledakan. Perjalanan yang monoton hanya akan memunculkan kebosanan, butuh adanya perubahan suasana agar perjalanan tersebut menjadi lebih menarik dan memunculkan kepedulian dan pengertian antar pasangan. Ketahuilah, hal itu sudah menjadi suratan dan ketetapan, sebagaimana Allah Ta’ala isyaratkan dalam firman-Nya tentang masalah anak,
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ
Artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu)”. [QS. At-Taghabun : 15]
Tentang masalah istri dalam firman-Nya,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
Artinya: “Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh, dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”. [QS. At-Tahrim : 10]
Tentang masalah suami dalam firman-Nya,
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا
Artinya: “Dan jika seorang perempuan khawatir suaminya akan nusyuz (bersikap sewenang-wenang) atau bersikap acuh, maka keduanya dapat mengadakan perdamaian”.[QS. An-Nisa’: 128]
هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا
Artinya: “Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”. (QS. Hud: 61)
Maka dari itu kita harus memahami dan mempersiapkan diri dalam menghadapinya, bahwa perjalanan rumah tangga tak akan selamanya indah, banyak duri dan kerikil yang akan menghiasinya. Bila Prahara Melanda, bahtera rumah tangga seakan kehilangan nahkoda, tidak tahu akan mengarah kemana, bisa jadi selamat atau bahkan karam tak tersisa. Maka disinilah Islam datang untuk menyelamatkan bahtera tersebut, mulai dari pencegahan sampai solusi ketika terjadinya. Di antaranya secara ringkas,
- Saling memahami kewajiban dan hak masing-masing. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Al-Baqarah : 228]
- Saling memahami akan keharusan bergaul yang baik dan saling memaklumi kekurangan masing-masing. Sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya”. [QS. An-Nisa’: 19]
- Istri harus memahami bahwa keta’atannya kepada suami adalah mutlak, selama bukan maksiat. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam,
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خُمُسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
Artinya: “Bila seorang wanita (mengerjakan) shalat lima waktu, puasa bulan (ramadhan), menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya maka dia bisa masuk surga lewat pintu mana saja yang dia kehendaki”. [HR. Ibnu Hibban, No. 4163. Dishahihkan Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dalam ta’liqnya]
- Sabar dan tidak saling menuntut hak. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam sebuah atsar dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu saat berkata kepada istrinya,
إِذَا غَضِبْتُ فَرَضِّيْنِي وَإِذَا غَضِبْتِ رَضَّيْتُكِ فَإِذَا لَـمْ نَكُنْ هَكَذَا مَا أَسْرَعَ مَا نَفْتَرِقُ
Artinya: “Bila aku marah maka buatlah aku ridha, dan bila kamu marah maka aku akan membuatmu ridha. Jika tidak demikian, maka kita akan cepat berpisah”. [Atsar riwayat Ibnu Hibban dalam raudhah al-‘uqala’, hal. 72]
- Saat terjadi prahara maka ikuti ketentuan Allah Ta’ala berikut,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا (٣٤) وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, (bila tidak berubah) tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (bila tidak berubah) pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak sampai membekas). Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. Dan jika kamu takut terjadi persengketaan antara keduanya (suami istri), maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”. [QS. An-Nisa’ : 34-35]
Permasalahan yang menerpa bahtera rumah tangga bukanlah alasan untuk membenarkan sikap keras dan melampaui batas (KDRT) menjadi jalan penyelesaiannya. Disini, ilmu dan pengontrolan emosi sangat berperan penting dalam menghadapinya, sehingga dapat terselesaikan dengan baik, tanpa harus ada yang tersakiti dan menderita. Sebab itu Rasulullah tidak pernah membenarkan dan melarang penyelesaian masalah dengan kekerasan, sebagaimana dalam sabdanya:
وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
Artinya: “Dan janganlah engkau memukul istrimu di wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr (mendiamkan istri) selain di rumah”. [HR. Abu Dawud, No. 2142. Syaikh Al-Albani menilai hasan shahih]
Namun faktanya, praktek kekerasan dalam rumah tangga sudah mulai marak dan banyak terjadi, maka seorang muslim wajib mengikuti dan berpegang dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Di antara langkah yang bisa dilakukan untuk menekan praktik tersebut secara ringkas, Hendaknya suami sebagai pemimpin dan istri sebagai yang dipimpin melihat dan menghargai sisi baik yang dimiliki pasangannya. Sehingga tidak membanggakan kebaikan diri sendiri dan menyepelekan pasangannya. Berikan nasihat dan peringatan kepada pasangan yang nusyuz (sewenang-wenang) sesuai dengan tahapan atau proses yang tercantum di Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 34-35 dan 128.
Menjalin komunikasi yang baik dan saling terbuka antar pasangan. Lanjut atau Sudahi. Setelah melakukan cara dan solusi yang sesuai syariat untuk menyelesaikan prahara dan masalah yang melanda, apabila berhasil maka bahtera akan kembali utuh, namun apabila sebaliknya maka mau tidak mau keputusan terberat pun harus diambil sebagai jalan terakhir, yaitu menyudahi bahtera rumah tangga tersebut (perceraian), baik muncul dari pihak istri maupun suami. Tidak semua kesudahan itu berakhir buruk, tapi terkadang malah menjadi solusi terbaik tatkala semua proses dan tahapannya sejalan dengan syariat. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Artinya: “Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka jangan kamu melanggarnya. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim.” [QS. Al-Baqarah : 229]
Demikian yang bisa penulis jelaskan dan jabarkan secara ringkas, semoga Allah ridhai tulisan ini dan bisa bermanfaat bagi para pembacanya. Wal Hamdulillah, Wabillahi Taufiq Ilaa Aqwamith Thariq.
Referensi: Ditulis oleh : Abdullah Yahya An-Najaty, Lc. .
REFERENSI:
Majalah HSI Edisi 47 Jumadil Awal 1444 H.
Diringkas oleh : Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
Baca juga artikel:
Leave a Reply