Mendidik Anak Tanpa Amarah (Bagian 1)

mendidik anak tanpa amarah 1

Mendidik Anak Tanpa Amarah (Bagian 1) – Menjadi orang tua sekaligus pendidik adalah suatu kehormatan. Namun tentunya, ini bukan tugas ringan semudah membalikkan telapak tangan. Mendidik anak adalah tanggung jawab yang sarat dengan ujian dan tantangan. Baik tantangan dari anak didik maupun dari diri kita sendiri. Ditambah lagi dengan faktor luar, baik lingkungan sekitar, kawan bergaul, ataupun berbagai media yang kerap kali menjadi ancaman.

Di sisi lain, kita harus bisa mendidik anak dengan sebaik-baiknya di antara seabrek tugas, tanggung jawab dan pekerjaan. Kita akan dihadapkan kepada berbagai karakter anak yang beraneka ragam. Polah dan tingkah mereka yang sering menguras emosi dan kesabaran.

Menghadapi semua ini, seorang pendidik harus benar-benar memiliki ketabahan dan kesabaran. Kita harus memiliki kecerdasan dan keterampilan dalam mengelola hati dan emosi. Sebab jika tidak, hampir bisa dipastikan kita akan menuai kegagalan. Sebab, setan tidak akan pernah diam berpangku tangan. Mereka akan mengintai setiap celah untuk menggiring kita hingga terjerumus dalam berbagai bentuk kesalahan. Di antara makar setan adalah berusaha mengobarkan api amarah kita dalam berbagai kesempatan. Sebab, mengumbar amarah adalah racun dalam dunia pendidikan.

Betapa banyak malapetaka terjadi di sebabkan emosi yang tidak terkendali. Inilah salah satu sifat negatif yang harus dijauhi oleh seorang pendidik. Jika seorang pendidik mampu mengendalikan diri dan menahan amarahnya, maka hal itu akan membawa keberuntungan bagi dirinya dan juga anak-anaknya. Karena sebagian besar kemarahan itu datangnya dari setan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan kita dalam sabda beliau:

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِى مِنَ الِإنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ

Artinya: “Sesungguhnya setan mengalir dalam diri manusia seperti aliran darah.”[1]

Perasaan anak sangatlah peka, mereka dapat membedakan manakah nasehat yang didorong oleh kemarahan dan manakah nasehat yang didorong oleh rasa kasih sayang. Dan tentu pengaruhnya bagi hati juga akan berbeda. Sifat mudah marah akan menjauhkan hati anak dari ayah dan bundanya. Dampak buruk yang lain dari sifat mudah marah ini adalah anak akan merasa aman ketika berbuat salah, menunggu sampai orang tuanya benar-benar marah. Dan anak yang terbiasa dididik dengan kekerasan dan kemarahan akan kebal dengan nasehat dan gamang dengan kelemahlembutan.

Karena itu ketika ada seseorang meminta nasehat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jangan marah!” orang itu mengulangnya beberapa kali, namun beliau tetap mengatakan, “Jangan marah!”[2]

Kerugian Besar Dibalik Kemarahan

Jangan suka marah … ingatlah bahwa kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian demi kerugian. Baik kerugian bagi diri sendiri dan juga orang lain. Baik kerugian dunia maupun akhirat. Inilah di antara kerugian besar di balik kemarahan:

Marah Adalah Bentuk Kezaliman Kepada Diri Sendiri

Dalam kondisi normal, jantung seorang dewasa berdenyut 72 kali dalam setiap menit. Olahraga yang cukup berat akan mempercepat denyut jantung sampai beberapa kali lipat. Dan hal ini bermanfaat, apalagi jika dilakukan secara teratur. Berbeda dengan kemarahan. Gangguan pikiran dan emosi yang tak terkendali juga dapat mempercepat denyut jantung dengan memaksanya bekerja lebih keras untuk suatu yang sia-sia.

Tekanan pikiran akan merangsang tubuh untuk menaikkan kadar hormon adrenalin dalam darah. Efek adrenalin ini sama dengan nikotin, yaitu mencekik pembuluh darah, menaikkan tekanan darah dan mempercepat denyut jantung. Karena itu, emosi perlu dikelola dengan tepat demi kesehatan jantung. Sebab jika tidak, maka tubuh akan menderita kerugian besar.

Apa gerangan yang terjadi pada tubuh kita ketika marah-marah, menjerit atau mencoba meluapkan segala emosi? Otot-otot akan tegang, sistem pencernaan terganggu, bahkan terjadi perubahan bahan kimia pada otak. Perubahan-perubahan tersebut hanya akan menjadi racun dalam tubuh yang akan membawa efek negatif, seperti sakit kepala, sulit tidur, rasa cemas, masalah pencernaan, tekanan darah tinggi, turunnya kekebalan tubuh, depresi bahkan serangan jantung. Wal ‘iyadzu billah.

Kemarahan Akan Membuat Setan Mendekat Dan Malaikat Wali Kita Menjauh

Orang-orang yang beriman, bagi mereka wali-wali dari jenis malaikat. Pada hakikatnya, dialah makhluk yang paling bermanfaat dan peduli dengan memberikan nasehat kepada seorang mukmin. Makhluk yang mendatangkan kebahagiaan ketika dekat dengannya, dia adalah malaikat yang ditugaskan menjaga dirinya.

Ketika seorang mukmin dikuasai amarah, malaikat ini akan menjauh dan setan pun akan mendekatinya. Sedangkan setan adalah musuh dan makhluk yang paling besar tipu dayanya, serta paling berbahaya baginya.

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa ada seorang lelaki yang mencaci Abu Bakr radhiallahu ‘anhu sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di dekatnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam takjub dan tersenyum tatkala lelaki itu melontarkan cacian yang lebih banyak lagi Abu Bakar membalas sebagian dari caciannya itu. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun marah dan beranjak pergi. Abu Bakar pun menyusul beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, ketika ia mencaciku engkau tetap duduk di sampingku, dan tatkala aku membalas sebagian ucapannya, engkau terlihat marah dan beranjak pergi?” maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab,

إِنَّهُ كَانَ مَعَكَ مَلَكٌ يَرُدُّ عَنْكَ فَلَمَّا رَدَدْتَ عَلَيْهِ بَعْضَ قَوْلِهِ وَقَعَ الشَّيْطَانُ فَلَمْ أَكُنْ لِأَقْعُدَ مَعَ الشَّيْطَانِ

Artinya: “Tadinya ada malaikat yang bersamamu dan membelamu, akan tetapi tatkala kamu membalas sebagian caciannya, setan pun datang. Sedangkan aku tidak ingin duduk bersama setan.”[3]

Kemarahan Dapat Mendatangkan Malapetaka di Dunia

Betapa banyak orang yang tertimpa bala dan musibah akibat amarah yang tidak terkendali. Sebab ketika marah, seseorang akan mengucapkan kata-kata ketika marah, seseorang akan mengucapkan kata-kata yang penuh sentimen atau doa-doa keburukan bagi diri sendiri dan juga anaknya. Bahkan tak mustahil akan diiringi dengan berbagai bentuk kezaliman yang membawa keburukan dan mala petaka. Semua itu pasti akan membawa penyesalan. Karena itulah dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang kuat adalah yang bisa mengendalikan diri di saat marah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Artinya: “Orang kuat bukanlah orang yang kuat dalam bergulat. Sesungguhnya orang kuat adalah yang dapat menguasai dirinya ketika marah.”[4]

Demikian pula dalam mendidik anak, apabila kita selaku orang tua dapat mengendalikan amarah dan cerdas dalam mengelola emosi niscaya berbagai bentuk keburukan dapat kita hindari. Coba ingat apa yang terjadi ketika kita marah-marah? Anak akan bermuka masam, hubungan menjadi kaku, perasaan kita terluka bercampur khawatir dan pastinya suasana akan berubah menjadi tidak mengenakkan.

Kemarahan Dapat Mendatangkan Malapetaka di Akhirat

Bukan hanya petaka di dunia, ternyata kemarahan juga dapat mendatangkan petaka di akhirat. Sebab ketika seseorang dikuasai amarah, kerap kali ia terjatuh pada perbuatan dosa. Baik dosa lisan ataupun perbuatan. Betapa mengerikan kisah yang dipaparkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits, beliau bersabda: “Dahulu kala di kalangan Bani Israil ada dua orang lelaki. Yang satu rajin beribadah sementara yang satu lagi berbuat aniaya atas diri sendiri (suka berbuat dosa). Kedua lelaki ini bersaudara. Yang rajin ibadah senantiasa melihat saudaranya berbuat dosa. Maka ia pun berkata, “Hai saudaraku berhentilah!” saudaranya itu berkata, “Biarkanlah aku bersama Rabbku, apakah engkau diutus untuk mengawasi diriku?” sampai suatu hari ia melihat saudaranya berbuat dosa yang ia anggap besar. Lalu ia pun berkata kepadanya, “Celaka engkau, berhentilah!” saudaranya itu berkata, “Biarkanlah aku bersama Rabbku, apakah engkau diutus untuk mengawasi diriku?” Maka ia pun berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu.” Atau “Demi Allah, Allah tidak akan memasukkanmu ke dalam surga selama-lamanya.”

Ia mengucapkan salah satu dari kedua kalimat tersebut. Maka Allah mengirim malaikat kepada keduanya untuk mencabut nyawa mereka. Maka keduanya pun bertemu lagi di akhirat. Allah berkata kepada lelaki yang berbuat dosa, “Pergi dan masuklah ke dalam surga dengan rahmat-Ku.” Dan Allah berkata kepada yang satu lagi, “Apakah engkau sudah tahu tentang keputusan-Ku? Apakah engkau punya kuasa atas apa yang ada di tangan-Ku seretlah ia ke neraka.”

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah mengucapkan satu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.[5]

Demikianlah yang terjadi ketika amarah menguasai hati. Diperparah lagi dengan kejahilan dan jauhnya seseorang dari ilmu. Maka semestinya kita berhati-hati dan menahan diri. Sebab malapetaka manakah yang lebih besar dari musibah akhirat seperti ini.

Jadikan Kemarahan Ibarat Garam Bagi Masakan!

Sebenarnya, orang tua mana pun tidak ada yang punya keinginan untuk marah. Apalagi marah kepada anak-anak yang begitu mereka sayangi. Tapi kita sadar, manusia adalah makhluk yang lemah. Dan yang paling lemah dari manusia adalah hatinya. Allah subhanahu wata’ala telah menegaskan:

يُرِيدُ اللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنسَانُ ضَعِيفًا ﴿٢٨﴾‏

Artinya: “Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS. An-Nisa’:28)

 

Karena itu wajar jika tidak ada satu pun di antara kita yang tidak pernah marah kepada anak, walau akhirnya kita sadar dan menyesal. Itulah tabiat manusia yang selalu melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُلُّ ابْنُ اَدَمَ خَطَّاءٌ فَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ

Artinya: “Setiap anak Adam pasti berbuat salah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang segera bertaubat.”[6]

Namun tentunya, Allah subhanahu wata’ala memberikan kepada manusia qudrah (kemampuan) dan iradah (kehendak). Karenanya, sebagai orang tua kita harus benar-benar mengerahkan segenap kemampuan untuk mengelola emosi kita sebaik mungkin. Hingga kalaupun pernah marah, jadikan kemarahan itu ibarat garam bagi masakan. Kadarnya cukup sedikit saja, yang menjadikan hidup lebih berwarna dan bercita rasa.

Maka ketika marah, sikap pertama yang harus kita ambil adalah menyadari kondisi kita saat itu. Sadari bahwa kita sedang marah. Sadari kita sedang berada dalam kondisi tidak baik. Sadari setan sedang mengintai kita.

Ibarat orang yang sedang sakit, hal pertama yang sangat penting adalah ia menyadari kondisi dirinya yang sedang sakit. Selanjutnya ia harus memiliki keinginan kuat untuk bisa sembuh hingga mendorongnya melakukan usaha maksimal.

Ketika marah, sehatinya hati kita sedang sakit.. sadari itu!

Kita harus segera mengobatinya. Tapi mengobati hati yang sakit kadang lebih sulit daripada mengobati rasa sakit pada badan. Satu-satunya cara ketika itu adalah ‘serahkan hatimu kepada Allah’.

Sebab, hati manusia ada di antara jari-jemari Allah subhanahu wata’ala. Dia membolak-balikkan hati itu sesuai dengan kehendak-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بيْنَ إِصْبَعَيْنِ مِن أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ، كَقَلْبٍ وَاحِدٍ، يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ

Artinya: “Sesungguhnya semua hati anak Adam berada di antara dua jari dari jari-jari ar-Rahman sebagaimana satu hati saja, Allah membolak-balikkannya sekehendak-Nya.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa:

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُاُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Artinya: “Ya Allah, Engkau adalah pembolak-balik hati, arahkanlah hati kami untuk selalu menaati-Mu.”[7]

Maka hadapkan hatimu kepada Allah, lantas mintalah perlindungan kepada-Nya dengan penuh kejujuran, ketulusan dan kesungguhan. Yakni meminta perlindungan dari gangguan setan yang terkutuk dengan membaca ta’awwudz. Inilah yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika menyaksikan seorang yang sedang marah, beliau bersabda:

إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ ما يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوْذُ بِللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ

Artinya: “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat jika ia ucapkan, niscaya akan hilang kemarahannya, andai kata ia mengucapkan: a’udzubillahi minasy syaithanirrajim (aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”[8]

Saat kita menyadari kita sedang marah, maka berusahalah untuk menahan lisan sebisa mungkin. Jangan perturutkan lisan mengumbar kata. Sebab dalam kondisi marah, kebanyakan ucapan kita akan disetir oleh setan. Tidak mengherankan di saat marah bisa jadi seseorang akan mengucapkan kata-kata yang kasar dan berbau sentimen, bahkan doa-doa keburukan. Ucapan-ucapan yang akan membawa penyesalan mendalam.

 

Bersambung ke bagian berikutnya, insyaallah.

 

Referensi:

diringkas dari buku: Mendidik Anak Tanpa Amarah

Penulis: Ummu Ihsan Choiriyah & Abu Ihsan al Atsary

Penerbit: Pustaka Al Khoir

Diringkas Oleh: Abu Muhammad Fauzan (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

[1] Muttafaqun ‘alaihi

[2] Hadits riwayat al-Bukhari (6116)

[3] Hadits riwayat Ahmad (9624) dan sanadnya dinyatakan bagus oleh al-Albani dalam Silsilah Ahaadits Shahihah (2231) dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu.

[4] Muttafaqun ‘alaihi

[5] Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-jami’ (4455).

[6] Hadits riwayat Ahmad (13049) dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib (3139) dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu.

[7] Hadits riwayat Muslim (6921) dari Abdullah bin ‘Amru radhiallahu ‘anhu.

[8] Hadits riwayat Al Bukhari (6115,6048) dan Muslim (2610) dari Sulaiman bin Shurad.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.