Keutamaan Dan Ganjaran Berbakti Kepada Orang Tua – Segala puji hanya bagi Allah, Rabb alam semesta. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasulullah, Nabi yang termulia. Begitu pula kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat tiba. Amma ba’du.
Berbakti kepada orang tua memiliki keutamaan dan ganjaran yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Di antara fadhilah (keutamaan) berbakti kepada orang tua ialah:
Pertama: Berbakti kepada kedua orang tua adalah amal yang paling utama.
Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang disepakati oleh al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Abdirrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
سَأَلْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ؟ قال، اَلصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا، قال، قُلْتُ، ثُمّ أَيُّ؟ قال، بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ، قُلْتُ، ثُمّ أَيُّ؟ قَالَ، اَلْجِهَادُفِيْ سَبِيْلِ اللَّهِ
Artinya: ”Aku bertanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘ Amal apakah yang paling utama?’ Beliau pun menjawab: ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya lagi: ‘ Kemudian apa?’ Beliau menjawabnya: ‘Berbakti kepada orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Beliau menjawab: ‘Jihad fi sabilillah (di jalan Allah).'” (HR. Al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan at-Tirmidzi)
Di dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tiga amalan yang paling dicintai oleh Allah jalla wa’ala.
Pertama, shalat-dalam riwayat lain dengan redaksi: shalat di awal waktu.
Kedua, berbakti kepada orang tua, dan
Ketiga, jihad fi sabilillah.
Dengan demikian, jika ingin berbuat kebajikan harus didahulukan amal-amal yang paling utama, di antaranya birrul walidain (berbakti kepada kedua orang tua).
Kedua: Ridha Allah subhanahu wa ta’ala tergantung kepada keridhaan orang tua.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitabnya al-Adabul Mufrad, Ibnu hibban, al-Hakim, dan at-Tirmidzi, dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhu bahwa sesungguhnya Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رِضَا الرَّبِّ فِي الوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الوَالِدِ
Artinya: “Keridhaan Allah tergantung kepada keridhaan orang tua; dan murka Allah tergantung kepada murka orang tua.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Ketiga: Berbakti kepada kedua orang tua dapat menghilangkan kesulitan yang sedang dialami,
yaitu dengan cara ber-tawassul dengan amal shalih tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada suatu hari, ada tiga orang yang sedang berjalan, lalu mereka kehujanan. Mereka berteduh pada sebuah gua di kaki sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalamnya, tiba-tiba sebuah batu besar runtuh dan menutupi mulut gua. Sebagian mereka berkata kepada yang lain: ‘Ingatlah amal terbaik yang pernah kamu lakukan.’ Kemudian mereka memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan ber-tawassul melalui amal tersebut, dengan harapan agar Allah menghilangkan kesulitan tersebut.
Salah satu di antara mereka mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai kedua orang tua yang sudah lanjut usia sedangkan aku mempunyai istri dan anak-anak yang masih kecil. Aku menggembalakan kambing, ketika pulang ke rumah aku selalu memerah susu dan memberikannya kepada kedua orang tuaku sebelum kuberikan kepada orang lain. Pada suatu hari, aku harus berjalan jauh untuk mencari kayu bakar dan untuk mencari nafkah sehingga aku pulang sudah larut malam, dan aku dapati kedua orang tuaku sudah tertidur, kemudian aku tetap memerah susu sebagaimana biasanya. Susu tersebut tetap aku pegang, dan setelah itu aku pun mendatangi kedua orang tuaku, namun keduanya masih tertidur pulas. Anak-anakku merengek-rengek menangis untuk meminta susu ini dan aku tidak memberikannya. Aku tidak akan memberi kepada siapa pun sebelum susu yang aku perah ini kuberikan kepada kedua orang tuaku. Lalu aku tunggu sampai keduanya bangun. Pagi hari ketika orang tuaku bangun, aku berikan susu ini kepada keduanya. Setelah keduanya meminum susu tersebut, maka barulah kuberikan kepada anak-anakku. Ya Allah, seandainya perbuatan ini adalah perbuatan yang baik karena Engkau, ya Allah, bukakanlah.’ Tiba-tiba, batu yang menutupi pintu gua tersebut pun bergeser sedikit. Namun mereka belum juga bisa keluar dari gua itu.
Kemudian yang berikutnya menuturkan: ‘Ya Allah, sesungguhnya pamanku mempunyai seorang anak perempuan yang sangat aku cintai.’ Di dalam riwayat lain disebutkan: ‘Aku mencintainya seperti lazimnya kaum laki-laki mencintai kaum wanita. Lalu aku bermaksud mencampurinya tetapi ia selalu menolak. Setelah beberapa tahun berlalu, ia mendapatkan kesulitan yang memaksanya datang kepadaku. Kemudian aku memberikan kepadanya 125 dinar, dan setelah itu dia akan membiarkan diriku berbuat apa saja terhadapnya. Maka aku pun melakukan apa yang menjadi kehendakku, sehingga ketika aku hendak mencampurinya.’ Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Ketika aku telah duduk di antara kedua kakinya, wanita tersebut lantas berkata: ‘Bertakwalah kepada Allah, dan janganlah engkau memecahkan cincin itu kecuali dengan cara yang haq (benar)!’ Maka aku pun berpaling darinya, padahal ia adalah orang yang paling aku cintai. Aku pun meninggalkan emas yang telah aku berikan kepadanya. Ya Allah, jika aku melakukan hal tersebut karena hanya mengharapkan wajah-Mu, maka berikanlah jalan keluar bagi kami dari keadaan yang kami alami ini.’ Maka batu itu pun bergeser, namun mereka tetap belum dapat keluar dari tempat tersebut.
Kemudian orang ketiga mengucapkan: ‘Ya Allah, aku mempekerjakan beberapa orang pekerja dan aku telah memberikan upah mereka masing-masing kecuali satu orang saja yang tersisa, ia meninggalkan bagiannya dan pergi begitu saja. Kemudian aku mengembangkan upah orang itu hingga dari upah itu berkembang menjadi harta benda yang banyak.
Setelah sekian lama, orang itu mendatangiku kembali seraya mengatakan: ‘Wahai hamba Allah, berikan jatah upahku kepadaku!’ Maka aku mengatakan: ‘Semua yang engkau saksikan ini adalah dari upahmu, baik berupa unta, sapi, kambing, maupun budak-budak.’ Lalu ia berkata: ‘Wahai hamba Allah, engkau jangan mengolok- olok diriku!’ ‘Aku sama sekali tidak mengolok-olok dirimu,’ sahutku. Kemudian ia pun mengambil semua itu dan membawanya tanpa meninggalkan sisanya sedikit pun. Ya Allah, jika aku melakukan hal tersebut karena mengharapkan wajah-Mu, maka berikanlah jalan keluar kepada kami dari tempat ini.’
Maka batu besar itu pun akhirnya bergeser, sehingga mereka semua dapat keluar dengan berjalan kaki.”
Ini menunjukkan bahwa berbakti kepada kedua orang tua yang pernah kita lakukan, dapat digunakan untuk ber ta-wassul kepada Allah ketika kita mengalami kesulitan, insya Allah kesulitan itu akan hilang. Berbagai kesulitan yang dialami seseorang saat ini di antaranya dikarenakan perbuatan durhaka kepada kedua orang tuanya.
Andai kita mengetahui, betapa beratnya kedua orang tua kita yang telah bersusah payah untuk menghidupi dan mendidik kita, maka perbuatan ‘si Anak’ yang ‘begadang’ untuk memerah susu tersebut belum sebanding dengan jasa orang tuanya ketika mengurusnya di waktu kecil.
‘Si Anak’ melakukan pekerjaan tersebut setiap hari dengan tidak merasa bosan dan lelah atau yang lainnya. Bahkan ketika kedua orang tuanya sudah tidur, dia rela menunggu keduanya bangun di pagi hari meskipun anaknya menangis. Ini menunjukkan, kebutuhan kedua orang tua harus didahulukan daripada kebutuhan anak kita sendiri dalam rangka berbakti kepada orang tua. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa berbakti kepada orang tua harus didahulukan daripada berbuat baik kepada istri, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma ketika diperintahkan oleh bapaknya (Umar bin al-Khathab) untuk menceraikan istrinya, ia bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Ceraikan istrimu!”
Dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu yang lalu disebut bahwa berbakti kepada kedua orang tua harus didahulukan daripada jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala.
Begitu besarnya jasa kedua orang tua kita sehingga apa pun yang kita lakukan untuk berbakti kepada kedua orang tua tidak akan dapat membalas jasa keduanya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari disebutkan bahwasanya ketika Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma melihat seseorang menggendong ibunya untuk melaksanakan thawaf di Ka’bah dan ke mana saja ‘si Ibu’ menginginkan. Orang tersebut pun lalu bertanya: “Wahai Abdullah bin Umar, dengan perbuatanku ini, maka apakah aku sudah membalas jasa ibuku?”
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab: “Belum, sedikit pun engkau belum dapat membalas jasa ibumu.”
Orang tua kita mengurus kita mulai dari kandungan dengan beban yang dirasakannya sangat berat dan dengan bersusah payah. Demikian juga ketika melahirkan, ibu kita mempertaruhkan jiwanya antara hidup dan mati. Ketika kita dilahirkan, ibulah yang menyusui kita dan membersihkan kotoran kita. Semuanya dilakukan oleh ibu kita, bukan oleh orang lain. Ibu kita selalu menemani kita, saat terjaga maupun saat kita menangis, baik pada waktu pagi, siang, atau malam hari.
Bila kita sakit, tidak ada yang bersedih dan menangis kecuali ibu kita. Sementara bapak kita juga berusaha agar kita segera sembuh dengan membawanya ke dokter atau yang lain. Sehingga kalau ditawarkan antara hidup dan mati, ibu kita akan memilih mati agar kita Itulah jasa seorang ibu terhadap anaknya.
Keempat: Berbakti kepada kedua orang tua dapat rezeki dan memanjangkan umur.
Seperti terdapat dalam sebuah hadits yang disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِيْ رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَلَهُ فِيْ أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Barang siapa suka diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahim.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
لَا يَرُدُّ الْقَضَاءَ إِلَّا الدُّعَاءُ وَلَا يَزِيْدُ فِيْ الْعُمُرِ إِلَّا الْبِرُّ
Artinya: “Tidak ada yang dapat menolak qadha’ (takdir) kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur seseorang kecuali berbakti kepada kedua orang tua.” (HR. At-Tirmidzi, at-Thabrani)
Sungguh, al-Qur-an dan as-Sunnah menganjurkan kita supaya menyambung silaturahim, dan didahulukan adalah bersilaturahim kepada orang tua, sebelum kepada kerabat yang lainnya. Banyak di antara saudara kita yang justru sering ziarah (berkunjung) ke teman-temannya, tetapi kepada orang tuanya sendiri dia jarang sekali, bahkan tidak pernah. Padahal saat masih kecil dia selalu bersama ibu dan bapaknya. Tetapi setelah dewasa, seakan-akan dia tidak pernah berkumpul atau tidak kenal dengan kedua orang tuanya.
Sesulit apa pun kondisinya, harus tetap diusahakan untuk bersilaturahim kepada kedua orang tua. Karena dengan kepada kedua orang tua, insya Allah, akan dimudahkan rezeki dan dipanjangkan umur. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah bahwa dengan silaturahim, ajal dan umur seseorang diakhirkan.
Meskipun terdapat perbedaan di kalangan para ulama tentang masalah ini, namun pendapat yang lebih kuat berdasarkan nash dan zhahir hadits ini bahwa umurnya memang benar-benar akan dipanjangkan.
Kelima: Berbakti kepada kedua orang tua dapat memasukkan seorang anak ke dalam Surga.
Di dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam disebutkan bahwa anak yang durhaka tidak akan masuk Surga. Maka kebalikan dari hadits tersebut yaitu anak yang berbuat baik kepada kedua orang tua akan dimasukkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala ke dalam Jannah (Surga).
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Rasulullah bersabda: “Aku bermimpi masuk ke dalam Surga, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sedang membaca. Aku pun bertanya: ‘Siapa orang ini?’ (Malaikat) menjawab: ‘Haritsah bin an-Nu’man.'”
Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كَذلِكَ الْبِرُّ، كَذَلِكَ الْبِرُّ، وَكَانَ أَبَر أَبَرَّ النَّاسِ بِأُمِّهِ
Artinya: “Demikianlah perbuatan baik. Demikianlah perbuatan baik (kepada orang tua memasukkan seseorang ke dalam Surga). Ia (Haritsah bin an-Nu’man) adalah orang yan paling berbakti kepada ibunya.” (HR. Ahmad)
Keenam: Berbakti kepada kedua orang tua dapat menghapus dosa-dosa.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukan perbuatan dosa besar. Apakah masih ada taubat bagiku?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bertanya: “Apakah engkau masih memiliki ibu?” Ia menjawab: “Tidak (ia sudah wafat).” Lalu beliau bertanya lagi: “Apakah engkau mempunyai bibi (saudara ibu)?” Ia lantas menjawab: “Ada.” Beliau pun bersabda: “Berbuat baiklah kepadanya (bibimu).”
Ketujuh: Anak yang berbakti kepada kedua orang tua akan mendapat kedudukan yang mulia di dunia dan di akhirat,
seperti halnya kisah Uwais al-Qarni rahimahullah. Umar bin al-Khathab rahimahullah mengatakan: “Sungguh aku mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِنَّ خَيْرَ التَّابِعِينَ رَجُلُ يُقَالُ لَهُ أُوَيْسُ، وَلَهُ وَالِدَةٌ، وَكَانَ بِهِ بَيَاضُ، فَمُرُوهُ فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ
Artinya: “Sesungguhnya sebaik-baik Tabi’in adalah seorang laki-laki yang (biasa) dipanggil Uwais. Ia memiliki ibu dan dahulu ia memiliki penyakit belang pada tubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampunan untuk kalian.” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim. HR. Muslim dan Ahmad)
Dari Usair bin Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia menuturkan: “Adalah Umar bin al-Khathab apabila dia didatangi oleh rombongan dari Yaman, dia selalu menanyakan: ‘Apakah di antara kalian ada Uwais bin Amir?’ Hingga suatu saat ia bertemu dengan Uwais, ia pun bertanya: ‘Apakah engkau Uwais bin Amir?’ Uwais menjawab: “Iya.’ Umar kemudian bertanya lagi: ‘Apa engkau berasal dari Murad lalu Qaran?’ Uwais menjawab: ‘Iya, benar.’ Lalu Umar bertanya lagi: ‘Apa engkau pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali tinggal sekeping dirham saja di tubuhmu?’ Uwais menjawab: ‘Iya, benar.’ Umar bertanya lagi: ‘Apakah ibumu masih ada?’ Uwais menjawab: ‘Iya.’ Umar lantas berkata: “Sungguh, aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَأْتِي عَلَيْكُمْ أُوَيْسُ بْنُ عَامِرٍ مَعَ أَمْدَادِ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ مُرَادٍ، ثُمَّ مِنْ قَرَنِ، كَانَ بِهِ بَرَصُ فَبَرَأَ مِنْهُ إِلَّا مَوْضِعَ دِرْهَم لَهُ وَالِدَةٌ هُوَ بِهَا بَرٌّ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهلَأَبَرَّهُ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ يَسْتَغْفِرَ لَكَ فَافْعَلْ
Artinya: ‘Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan orang Yaman yang berasal dari Murad dan kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta lalu sembuh kecuali satu bagian sebesar uang dirham. Dia memiliki seorang ibu yang ia selalu berbakti kepadanya. Jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya Allah akan mengabulkan sumpahnya. Maka jika engkau dapat meminta doanya untuk memohonkan ampunan bagimu, lakukanlah!’ (HR. Muslim)
(Umar melanjutkan): ‘Oleh karena itu, wahai Uwais, mohonkanlah ampun untukku!’ kemudian Uwais pun memohonkan ampunan untuk Umar.
Lalu Umar bertanya kepadanya: ‘Engkau hendak pergi ke mana?’ Uwais menjawab: ‘Saya akan pergi ke Kufah.” Umar lalu berkata: ‘Perlukah aku buatkan surat khusus untuk pejabat di sana?’ Uwais menanggapi: ‘Saya lebih senang bersama rakyat jelata.'”
Usair bin Jabir melanjutkan: ‘Pada tahun berikutnya, seorang pejabat tinggi Kufah pergi berhaji, lalu ia bertemu Umar. Umar pun menanyakan kabar Uwais kepadanya. Pejabat itu menjawab: ‘Saya meninggalkannya berada di sebuah rumah tua dalam keadaan sangat sederhana.’ Lalu Umar berkata: ‘Sungguh aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Akan datang kepada kalian Uwais bin Amir bersama rombongan orang Yaman yang berasal dari Murad kemudian dari Qaran. Ia pernah terserang penyakit kusta, lalu sembuh kecuali tinggal sekeping uang dirham. Ibunya masih hidup dan ia selalu berbakti kepadanya. Kalau ia bersumpah atas nama Allah, niscaya akan dikabulkan. Maka apabila engkau bisa memintanya memohonkan ampun bagi kalian, lakukanlah!’
Setelah itu, dia (pejabat Kufah tersebut) menemui Uwais seraya berkata: ‘Mohonkanlah ampun untukku!’ Uwais menjawab: ‘Bukankah Anda baru saja kembali dari perjalanan suci (ibadah haji)? Maka (seharusnya engkau yang) memohonkan ampun untukku. Ia tetap berkata: ‘Mohonkanlah ampun untukku.’ Dan Uwais menjawab: ‘Bukankah Anda baru saja kembali dari perjalanan suci? Maka (seharusnya engkau yang) memohonkan ampun untukku.’ Uwais melanjutkan: ‘Atau apa Anda berjumpa dengan Umar?’ Ia menjawab: ‘Iya.’ Uwais pun memohonkan ampun untuknya. Setelah itu, Uwais al-Qarni menjadi terkenal dalam masyarakat, tetapi ia suka menghindar.”
Usair melanjutkan: “Pada suatu hari, saya memberi Uwais sehelai selendang, sehingga setiap kali orang yang melihatnya pasti akan menanyakan: ‘Dari mana Uwais memperoleh selendang itu?'”
Faedah Hadits:
- Ini merupakan mukjizat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau mengabarkan tentang masa yang akan datang.
- Keutamaan Uwais al-Qarni rahimahullah, dan beliau adalah sebaik-baik Tabi’in.
- Keutamaan berbakti kepada kedua orang tua.
- Orang yang berbakti kepada kedua orang tua akan dimuliakan di dunia dan di akhirat.
- Keutamaan menyembunyikan amal.
- Sikap tawadhu Umar dan Uwais al-Qarni
- Meskipun Uwais al-Qarni rahimahullah adalah seorang yang terhormat, namun ia memilih hidup sederhana.
- Uwais rahimahullah memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah ‘azza wajalla; apabila ia bersumpah atas nama Allah, maka Dia akan mengabulkan sumpahnya.
Wallahu a’lam
Referensi:
Oleh ustadz : Yazid bin Abdul Qadir Jawaz, Keutamaan dan ganjaran berbakti kepada kedua orang tua, Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jumadil Awwal 1441 H / Januari 2020 M
Diringkas oleh : Sherly Marsella, (Pengabdian Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)
BACA JUGA :
Leave a Reply