Abu Musa Al-Asy’ari Sang Penakluk dan Mujahid

abu musa al-asyari

Abu Musa Al-Asy’ari : Seorang yang Berperangai Rabbani, Ahli Ibadah, Penakluk, dan Mujahid – Bismillah, Sesungguhnya segala puji hanya bagi Allah Rabb semesta alam, Yang Mengutus para utusan dari kalangan dan untuk kalangan manusia, yaitu para Nabi yang mulia dimulai dari Nabi Adam alaihissalam hingga kepada Nabi akhir zaman Muhammad bin Abdillah shallallahu alaihi wasallam.

Shalawat dan salam semoga selalu Allah curahkan kepada Abil Qasim Muhammad shallallahu alaihi wasallam, juga kepada para sahabat beliau, para istri beliau, anak cucu beliau, tabi’in dan tabi’ut tabi’in, para ulama Rabbani, para fuqaha, para ulil amri, serta bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk beliau sampai hari kiamat.

Para pembaca kuncikebaikan.com yang budiman. Bertemu lagi pada artikel yang membahas sekilas perjalanan hidup para sahabat Nabi radhiyallahu anhum ajmain. Kali ini kita akan mencoba sedikit membahas biografi salah satu dari mereka, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Mari kita mulai.

Kabilah Asy’ari di negeri Yaman menyambut gembira keberadaan beberapa anak-anak mereka yang menginjak usia pemuda, anak-anak mereka yang menginjak usia pemuda, anak-anak tersebut melewati fase remaja, kebahagiaan menyelimuti seluruh kabilah, kaum laki-laki dan wanitanya, orang-orang dewasa dan anak-anaknya. Beberapa anak muda dari kabilah ini menghadap kepada pemuka kabilah, lalu pemuka kabilah menyeatkan surban pada kepada masing-masing dari mereka, kemudian pemuka kabilah mengucapkan kalimatnya di depan hadirin, dia mengungkapkan kebanggaannya kepada anak-anak muda kabilah yang sudah masuk usia pemuda, dia mengharapkan masa depan yang membahagiakan bagi mereka, dia mendorong mereka agar menjaga kemuliaan kabilah, menjadi anak-anak muda pemberani dalam membela kemulian kabilah, dia meminta mereka meneladani jejak bapak kabilah mereka, Munbit bin Ubad yang terkenal dengan gelar al-Asy’ar, karena ibunya melahirkannya dengan rambut kepala yang lebat yang akhirnya menjadi orang menjadi orang besar dan disegani masyarakat.

Setelah pemuka kabilah selesai mengucapkan kalimatnya, hadirin kembali kepada kesibukan mereka, yaitu bermain-main, mereka menghabiskan setengah malam mereka untuk itu. Di antara mereka ada Abdullah bin Qais bin Sulaim bin Hudhar bin Harb… bin al-Asy’ar… bin Ya’rib bin Qahtthan. Dia adalah seorang pemuda yang berperawakan pendek dan kurus, kumisnya sudah tumbuh, dan cambangnya menghiasi kedua pipinya. Dia tumbuh sebagai anak yatim dalam pengashan ibunya bersama dua orang kakaknya, yaitu Abu Burdah dan Abu Ruhm. Ibunya adalah Zhabyah bin Wahb, wanita ini masuk Islam dan wafat di Madinah.

Pemuda ini mengingkari keyakinan kabilahnya yang memuja-muja berhala yang diteggakkan oleh leluhur dan nenek moyang mereka. Dia mengingkari mereka atas pengagungan mereka terhadap Uzza, berhala yang berada di Nakhlah yang dipuja-puja bangsa Arab. Dia melihat bahwa berhala-berhala tersebut hanyalah batu-batu hina yang tidak berhak dihormati. Dia mulai mencelah kabilahnya atas keyakinan mereka dengan penuh keberanian, dan tidak mengindahkan hinaan mereka.

Allah Ta’ala berkehendak Abu Musa al-Asy’ari (Abdullah bin Qais) untuk masuk Islam, dia datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam di Makkah, lalu masuk Islam dan Islamnya bagus, lalu dia pulang ke kabilahnya sebelum akhirnya berhijrah bersama beberapa orang dari kabilahnya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Paman Abu Musa yang bernama Abu Amir al-Asy’ari juga ikut masuk Islam. Abu Amir inilah orang yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kirim memimpin pasukan di Lembah Authas, dia bertemu dengan Duraid bin ash-Shimmah dan berhasil mengalahkan orang-orangnya. Abu Musa berkisah, “Jabal melepaskan anak panah kepada Abu Amir dan mengenai lututnya yang membuat Abu Amir terjatuh. Maka aku berkata, ‘Paman, siapa yang telah memanahmu?’ Dia menunjuk kepada seseorang. Maka aku mengawasinya, lalu aku memburuhnya, dan manakala dia melihatku, dia lari tunggang langgang.maka aku meneriakinya, ‘Tidakkah kamu punya malu. Bukankah kamu orang Arab? Mengapa kamu tidak berhenti?’ Maka dia berhenti dan kami hadap-hadapan, kami saling tebas dua kali dan akuberhasil membunuhnya. Kemudia aku kembali kepada Abu Amir dan berkata kepadanya, ‘Allah telah membunuh orang yang memanahmu.’ Dia berkata, ‘Cabutlah anak panah ini.’ Maka aku mencabutnya, dan darahpun mengalir dari lukanya. Dia berkata kepadaku, ‘Keponakanku, pergilaah kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sampaikan salamku kepada beliau dan mintalah beliau memohon ampunan bagiku’ Kemudian Abu Amir gugur.”

Abu Musa berkata, “Manakala kami pulang, dan aku mengabari Nabi shallallahu alaihi wasallam, Nabi shallallahu alaihi wasallam berwudhu kemudian mengangkat kedua tangannya, beliau berdoa,

اللهم اغفرلعبيد أبي عامر

‘Ya Allah, ampunilah Ubaid Abu Amir.’

Hingga aku melihat putih ketiak beliau. Kemudian beliau berdoa,

اللهم اجعله يوم القيامة فوق كثيرمن خلقك

‘Ya Allah, jadikanlah dia berada dia atas banyak hambaMu pada hari kiamat.’

Maka aku berkata, ‘Untukku juga wahai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam’ maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berdoa,

اللهم اغفر لعبد الله بن قيس ذنبه وأدخله يوم القيامة مدخلا كريما

‘Ya Allah, ampunilah dosa Abdullah bin Qais dan masukkanlah dia pada hari kiamat di tempat masuk yang mulia’.  (HR. muslim)

 

JIHAD ABU MUSA رضي الله عنه DAN PERSAHABATANNYA DENGAN NABI صلى الله عليه وسلم

Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu anhu menyertai Rasulullah shalallallahu alaihi wasallam sesudah hijrahnya ke Madinah. Dia ikut bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam semua peristiwa penting dan peperangan sesudah Khaidar, dia tidak berpisah dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan keadaan tinggal dan safar, karena seringnya dia menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, sehingga dia bisa menyebutkan keutamaan ini bagi Abdullah bin Mas’ud, dia berkata, “Aku datang dari Yaman bersama saudaraku, kami tinggal beberapa waktu, kami tidak melihat Abdullah bin Mas’ud kecuali seorang laki-laki dari keluarga Nabi, karena kami melihatnya dan ibunya keluar masuk kepada Nabi.”

Abu Musa al-Asy’ari menjelaskan suatu hari dari hari-harinya yang di hari itu dia menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yakni setelah dia berwudhu di rumahnya lalu keluar, dia berkata, “Aku akan menyertai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Dan akan bersama beliau sepanjang hari ini. Aku datang ke masjid, aku bertanya kepada orang-orang tentang Nabi shalallallahu alaihi wasallam, mereka menjawab, ‘Beliau keluar dan pergi kea rah sini.’ Maka aku menelusuri jejak beliau, aku bertanya tentang beliau, hingga aku mengetahui beliau masuk sumur Aris, aku mengambil tempat duduk di pintu, pintunya adalah anyaman pelepah kurma, hingga Rasulullah menyelesaikan hajatnya, lalu be;iau berwudhu, lalu aku bangkit kepada beliau, ternyata beliau duduk di atas sumur Aris, beliau duduk di tengah dinding sumur, beliau membuka kedua betisnya dan menjulurkan keduanya ke sumur, aku mengucapkan salam kepada beliau kemudian aku kembali menuju pintu dan aku duduk di sana. Aku berkata, “Hari ini aku akan menjaga pintu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”

Abu Bakar datang, dia mendorong pintu. Aku bertanya, “Siapa?’ Dia menjawab, ‘Abu Bakar’ Aku menjawab, ‘Tunggu sebentar.’ Aku menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, aku berkata,’Wahai Rasulullah, Abu Bakar meminta izin.’ Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab,

ائذن له و بشره بالجنة

‘Izinkanlah dia dan sampaikanlah kabar gembira surga kepadanya’

Maka aku menemui Abu Bakar dan berkata kepadanya, ‘Masuklah dan Rasulullah menyampaikan kabar gembira surga bagimu.’ Maka Abu Bakar masuk dan duduk di sisi kanan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas dinding sumur dan menjulurkan kedua kakinya ke sumur persis seperti yang Nabi shallallahu alaihi wasallam lakukan, dia membuka kedua betisnya.

Kemudian aku kembali, ternyata ada seseorang mendorong pintu, aku bertanya, ‘Siapa?’ Dia menjawab, ‘Umar bin ak-Khaththab.’ Aku menjawab, ‘Tunggu sebentar.’ Aku menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengucapkan salam kepadanya, lalu aku berkata, ‘Umar bin al-Khaththab meminta izin.’ Nabi menjawab

ائذن له و بشره بالجنة

‘Izinkan dia dan sampaikanlah kabar gembira surga kepadanya’

Maka aku menemui Umar dan berkata kepadanya, ‘Masuklah dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan kabar gembira surga bagimu.’ Maka Umar masuk dan duduk di sisi kiri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas dinding sumur dan menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur.

Kemudian aku kembali duduk di pintu, lalu ada seseorang mendorong pintu, aku bertanya, ‘Siapa?’ Dia menjawab, ‘Utsman bin Affan’ Aku menjawab, ‘Tunggu sebentar.’ Aku menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memberitahu kedatangan Utsman kepada beliau, kemudian beliau menjawab,

ائذن له و بشره بالجنة على بلوى تصيبه

‘Izinkan dia dan sampaikanlah kabar gembira surga kepadanya, tetapi akan ada ujian ynag menimpanya.’

Maka aku menemui Utsman dan berkata kepadanya, ‘Masuklah dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan kabar gembira surga bagimu, tetapi aka nada ujian yang menimpamu.’ Maka Utsman masuk dan dia melihat tidak ada tempat duduk di dinding sumur, maka dia duduk di seberangnya menghadap Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.”[1]

Di antara potret perjuangan dan jihad Abu Musa bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah apa yang beliau ceritakan sendiri, “Kami berangkat bersama Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam sebuah peperangan, kami berenam mengendarai seekor unta secara bergiliran, akibatnya telapak kaki kami terkoyak, kakiku terkoyak dan kukuku terkelupas, maka kami membungkus telapak kaki kami dengan sobekan kain, maka perang tersebut disebut dengan Dzatur Riqa’, karena kami membalut telapak kaki kami dengan kain.”

Anaknya, Abu Burdah yang meriwayatkan hadits ini berkata, “Abu Musa menceritakan hal ini, namun dia menyesal, dia berkata, ‘Apa untungnya aku menceritakan hal ini?’ Sepertinya dia tidak ingin membuka amal perbuatannya.”[2] Abu Musa memimpin pasukan dan menaklukan wilayah-wilayah baru bagi Islam. Beliau menaklukan Ahwaz tahun 17 H dan Ashbahan tahun 23 H.[3]

 

IBADAH DAN SIFAT WARA’ ABU MUSA رضي الله عنه

Abu Musa terkenal dengan ibadahnya yang banyak, sifat wara’nya yang tinggi dan ketakutannya kepada Allah ta’ala. Beliau adalah seorang yang rajin puasa dan shalat malam, orang yang berperilaku Rabbani, rajin ibadah dan zuhud. Salah seorang sahabt yang mengagungkan ilmu, amal, jihad, dan kebersihan hati. Kursi kepemimpinan tidak membuatnya berubah dan godaan dunia tidak membuatnya berpaling.[4]

Abu Musa rajin melaksanakan shalat tahajud. Beliau menyisihkan waktu yang luas di malam hari untuk membaca Al-Quran dalam shalat malamnya. Beliau melakukannya dalam segala kondisi, saat mukim dan saat safar, saat damai dan saat perang. Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mendengar bacaan al-Quran Abu Musa dalam shalat malam tidak hanya sekali, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari Abu Musa sendiri bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepadanya,

لو رأيتني وأنا أستمع لقراءتك البارحة, لقد أوتيت مزمارا من مزاميرآل داود

“Seandainya saja kamu melihatku saat aku mendengar bacaan Al-Quranmu tadi malam, sungguh kamu telah diberi sebuh seruling dari seruling-seruling keluarga Daud.”[5]

Dalam shalat malamnya, Abu Musa menyatukan antara shalat, tilawah, doa, dan munajat di malam hari. Masruq berkata, “Kami berangkat bersama Abu Musa dalam sebuah peperangan, malam tiba, kami singgah di sebuah perkebunan yang terlantar, Abu Musa bangkit shalat, beliau membaca dan bacaannya sungguh indah. Dia berdoa, ‘Ya Allah, Engkau adalah Dzat Pemberi keamanan yang mencintai orang Mukmin, Engkau adalah Dzat yang Maha menjaga yang mencintai kerjagaan, Engkau adalah Pemberi keselamatan dan mencintai keselamatan.”[6]

Abu Musa selalu merasa diawasi oleh Allah ta’ala dan memiliki rasa takut yang besar kepada-Nya. Hal ini melahirkan rasa malu yang besar kepada-Nya, karena itu dia berusaha tidak membuka auratnya selama-lamanya meskipun saat mandi, di mana dia mandi di ruangan yang gelap sambil menepuk punggungnya, sebagaimana diriwayatkan oleh darinya bahwa, dia berkata, “Sesungguhnya aku mandi di ruangan gelap, aku menepuk punggungku karena malu kepada Rabbku.”[7]

Abu Musa adalah laki-laki yang berhati lembut, banyak menangis dan saat menangis air matanya seras menetes, dia berkhutbah di depan kaum Muslimin, mengingatkan mereka kepada Allah ta’ala, dia menangis, dan menyuruh orang-orang agar menangis.

 

WAFATNYA ABU MUSA رضالله عنه

Pada tahun 44 H, Abdullah bin Qais wafat, sesudah melewati kehidupan yang syarat dengan jihad, ibadah dan pengorbanan di jalan Allah. Semoga Allah meridhai Abu Musa Al-Asy’ari, seorang peankluk negeri, mujahid, ahli ibadah yang khusuk, orang yang memiliki rasa malu yang tinggi dan selalu kembali kepada Rabbnya.

 

Diringkas dari:

As-Suhaibani, Dr. Abdul Hamid. 2018: V. Para Sahabat Nabi Kisah Perjuangan, Pengorbanan, dan Keteladanan. Jakarta: Darul Haq. Hal:329-327.

Diringkas oleh:

Tamim Abu Zubair (Staff Ponpes Darul Quran wal Hadits, OKU Timur)

[1] HR. Al-Bukhari.

[2] HR. Al-Bukhari.

[3] Siyar A’lam an-Nubala’, 2/391.

[4] Ibid, 2/396.

[5] HR. Muslim.

[6] Siyar A’lam an-Nubala’, 2/393.

[7] Ath-Thabaqat al-Kubra, Ibnu Sa’ad, 4/113-114; Hilyatul Auliya’, 1/260; dan Siyar A’lam an-Nubala’, 2/401.

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.