Begini Seharusnya Menjadi Guru (Part 3)

begini seharusnya menjadi guru

Begini Seharusnya Menjadi Guru (Part 3) – Alhamdulillah sebelumnya telah selesai diringkas karakter-karakter yang harus dimiliki seorang pengajar sampai 10 karakter, Insyaallah akan dilanjutkan pembahasan selanjutnya

11. Berkonsultasi Dengan Orang Lain

Guru kadang dihadapkan pada masalah-masalah berpolemik dan perkara-perkara rumit yang membingungkannya dan tidak menemukan penyelesaian dan solusinya. Dan kadang kala guru mengalami kesulitan  dalam memahami sebuah permasalahan tertentu, disisi lain  adakalanya anak didiknya bermasalah di sekolah. Disini guru menempuh jalan, berusaha keras mencari penyelesaiannya atau meminta alasan , dan ini bagus bagi guru, karena dia  tidak menjawabnya tanpa dasar ilmu, walaupun hal ini akan meninggalkan masalah bagi siswa. Dia akan mencari jalan keluarnya, baik itu melalui penelitian dan pencarian serta berkonsultasi.

Allh Ta’ala berfirman,

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Artinya: “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran : 159)

Ibnu sa’di Rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Yakni pada perkara-perkara yang membutuhkan musyawarah, penelitian, dan pemikiran. Di dalam bermusyawarah atau berkonsultasi terhadap banyak faedah dan maslahat, baik dari sisi Agama ataupun dunia yang tidak bisa dihitung. Diantaranya, pikiran menjadi tenang karena digunakan sebagaimana mestinya, sehingga di dalam hal itu terkandung nilai plus bagi akal. Di antaranya  apa yang dihasilkan oleh konsultasi berupa pendapat yang tepat. Dimana orang yang berkonsultasi hampir-hampir tidak salah dalam tindakannya, sekalipun dia salah atau apa yang diinginkannya tidak sempurna, dia tidak dicerca. Jika Allah saja berfirman kepada rasul-Nya shallallahu’alaihi wasallam padahal beliau adalah manusia yang paling sempurna akalnya, paling luas pengetahuannya, dan paling cemerlang pendapatnya.

Selayaknya bagi setiap guru untuk bertanya dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu darinya dalam perkara yang membingungkan, supaya dengan begitu, dia dapat mencapai kebenaran dan hendaklah dia menjauhi sifat tinggi hati, sombong dan besar diri sehingga tidak mau bertanya kepada orang lain dan meminta pendapatnya, serta bermusyawarah dengannya.

BAGIAN KEDUA : TUGAS DAN KEWAJIBAN GURU

  1. MENANAMKAN AKIDAH YANG BENAR DAN MEMANTAPKAN KUALITAS IMAN SISWA PADA SAAT PROSES BELAJAR MENGAJAR.

Sedikit sekali guru yang memahami metode ini, yaitu memantapkan kualitas akidah pada diri siswa saat mereka mengajar materi-materi pembelajaran alam, geografi, astronomi, dan yang semisalnya. Sebelumnya kita membawakan khabar dari guru pertama shallallahu’alaihi wasallam, mari perhatikan dan renungkan  Kalam Allah Azza wajalla. Allah Ta’ala berfirman:

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ ۚ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَىٰ ۚ إِنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Artinya: “Dan diantara tanda-tandaNya ialah bahwa kamu melihat bumi kering dan gersang, maka apabila Kami turunkan air dri atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Raab yang menghidupkannya, pastilah dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushilalat: 39).

Sekiranya kalau para guru mampu mengkorelasikan antara fenomena alam dengan perkara akidah sebagaimana dijelaskan dalam ayat tadi, dimana Allah menjelaskan kondisi tanah tandus yang tidak mendapat hujan, berupa kekeringan  dan tumbuh-tumbuhan yang mati, dan pengaruh air terhadapnya jika telah datang dan mengguyurnya, sehingga mulai terlihat kehidupan diatasnya. Kemudian Allah azza wajalla menjelaskan kepada kita hamba-hamba-Nya  bahwa penghidupan yang disaksikan oleh hamba sama kondisinya pada Hari kiamat, yaitu menghidupkan orang-orang yang mati, sebagaimana dalam penafsiran tadi, sebagaimana firman-Nya, “maka sebagaimana Dia menghidupkan bumi setelah kematiannya, demikian juga Dia mampu menghidupkan orang-orang yang mati.”

Ini juga merupakan bantahan terhadap orang-orang yang mengingkari kebenaran Hari Kebangkitan. Sama seperti itu jika guru hendak berbicara tentang gunung, sangat baik apabila dia menyebutkan fungsinya dan hikmah dari penciptaannya, yaitu mengukuhkan bumi dan mencegahnya dari keguncangan, kemudian menyebutkan firman-Nya,

أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ مِهَادًا وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا

Artinya: “Bukankahkah telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan? Dan gunung-gunung sebagai pasak?” (QS. An-Naba’: 6-7)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah menjelaskan, “Ucapannya ‘maka dia menjadikan unta-unta tersebut berkudis’ dibangun di atas keyakinan mereka akan adanya penyakit menular, yakni menjadi sebab terjadinya kudis pada unta-unta tersebut. Ini adalah mitos orang-orang jahil; mereka berkeyakinan bahwa orang yang sakit jika masuk pada kumpulan orang-orang sehat, dia akan menjadikan mereka sakit. Maka Allah menampikan hal itu dan membantahnya. Manakala sang badui membawakan syubhat tersebut terhadap, Nabi shallallahu’alaihiwasallam mematahkannya dengan ucapan beliau, “Maka siapakah yang menulari yang pertama kali?” ini adalah jawaban yang sangat mengena dan sangat indah.

Intinya, dari mana kudis yang datang kepada unta yang menurut mereka membawa penyakit menular itu? Jika dikatakan dari unta yang lain, maka konsekuensi jawabannya berantai atau adanya sebab yang lain dan harus diterangkan. Bila jawabannya “yang menularkan pada unta pertama ia jugalah yang menularkan pada unta kedua”, maka tercapailah apa yang diinginkan, yaitu bahwa yang melakukannya pada ke semuanya itu adalah sang Khaliq Yana Maha Kuasa atas segala sesuatu; dialah Allah subhanahu wata’ala.

  1. MEMBERIKAN NASIHAT KEPADA ANAK DIDIK

Seorang guru keliru bila ia mengira bahwa hubungannya dengan siswa hanya sebatas menyampaikan materi saja, padahal sebenarnya ada perkara lain yang tidak kalah penting dari itu, yaitu memberikan nasehat dan arahan kepada siswa. Guru adalah pemberi arahan, pendidik, penasihat dan bapak.

Seandainya kita adakan perbandingan antara jumlah waktu yang dihabiskan siswa Bersama gurunya, yaitu mencapai lima atau enam jam setiap hari, tentunya akan kita temukan lebih banyak dari jumlah jam yang dihabiskannya Bersama orangtuanya dan ini sudah diketahui semua pihak. Jika perkaranya seperti itu, berarti guru dapat melihat hal-hal dan tingkah laku yang muncul dari siswa yang kadang-kadang samara tau bahkan benar-benar tidak diketahui orang tuanya. Oleh karena itu  sepantasnya wahai guru agar Anda mencurahkan segala kemampuan Anda untuk memperbaiki yang salah, meluruskan yang bengkok, membersihkan akhlak dan membenarkan pemikiran. Dan ke semuanya itu bermuara pada pemberian nasihat. Dan nasihat adalah istilah yang digunakan untuk ungkapan menginginkan Kebaikan bagi orang yang dinasihati.

Ibnu Rajab Rahimahullah berkata, “Di antara bentuk memberikan nasihat  untuk mereka adalah menepis gangguan dan kejelekan dari mereka, mengutamakan orang fakir mereka, mengajari orang jahil mereka, menuntun orang yang menyimpang di antara mereka dari kebenaran, baik dalam ucapan maupun perbuatan; bersikap santun Ketika mengembalikan mereka kepada kebenaran dan lemah lembut dengan mereka dalam hal beramar ma’ruf nahi mungkar, serta gemar menghilangkan kerusakan yang ada pada mereka.

Kemudian seharusnya guru memberikan nasihat kepada siswanya secara empat mata, jika berkaitan dengan masalah pribadi tertentu, karena hal itu lebih mengena dan lebih cepat direspons. Adapun jika dilakukan di muka umum, ini merupakan penghinaan yang berbaju nasihat! Ibnu Rajab berkata, “Para as-Salaf ash-shalih jika hendak menasihati seseorang, mereka menasihatinya empat mata, sampai-sampai Sebagian mereka mengatakan, ‘Barang siapa menasihati saudaranya secara empat mata maka itulah nasihat dan barang siapa menasihatinya di hadapan umum, maka sebenarnya dia menjelekkannya.

Diantara nasihat yang harus disampaikan setiap guru kepada para anak didiknya adalah memeriksa buku tugas sekolah dengan penuh Amanah dan semangat ikhlasserta memperhatikan kesalahan-kesalahan ejaan, penulisan, dan yang senisnya.

  1. LEMBUT KEPADA ANAK DIDIK DAN MENGAJARNYA DENGAN METODE YANG BAGUS

Maksud lembut disini adalah lembut dengan perkataan dan perbuatan  serta mengambil yang paling mudah dan ringan, yaitu konotasi kasar. Jiwa manusia condong dan senang kepada sikap lembut, santun dan kata-kata baik dan sebaliknya lari dari sifat keras dan kasar. Oleh sebab itu, seharusnya para guru dan murabbi memahami sisi ini dan mempraktikkannya kepada para anak didik dan siswanya.

Berlaku kasar terhadap siswa dapat membahayakan mereka. Misalnya melampaui batas dalam ta’lim, itu membahayakan anak didik, terlebih pada usia dini, karena dia masih memiliki kemampuan yang buruk. Barang siapa yang terdidik dalam lingkungan keras dan anarkis, baik pelajar, budak atau pembantu, ia akan dibayang-bayangi oleh perasaan terpaksa, tidak bergairah dan menghilangkan vitalitasnya, mengajarkan sifat malas, mendorongnya berdusta dan bersikap jelek yaitu berpura-pura tampil berbeda dengan apa yang ada di dalam hatinya lantaran takut terhadap Tindakan-tindakan kasar yang menimpanya serta mengajarinya berbuat makar dan tipu daya.

  1. TIDAK MENYEBUTKAN NAMA SECARA LANGSUNG KETIKA MEMBERIKAN TEGURAN

Seringkali Ketika memberikan teguran, akan menyisakan bias di jiwa orang yang ditegur dan bias ini akan semakin besar berlipat-lipat. Nabi shallallahu’alaihi wasallam memiliki metode tersendiri di dalam menanggulangi kesalahan mencolok yang muncul dari sahabat-sahabatnya, dimana beliau mengecam kesalahan-kesalahan  da mencelanya, akan tetapi tidak mengecam pelaku kesalahan tersebut, karena tujuan dari kecaman beliau shallallahu’alaihi wasallam terhadap kesalahan-kesalahan  adalalah bukan untuk menelanjangi pelaku kesalahan, melainkan untuk memperingatkan manusia agar tidak jatuh ke dalam kesalahan yang sama serta celaan terhadap kesalahan itu sendiri.

Akan tetapi, manakala tujuannya adalah memperingatkan orang dari perbuatan tercela tersebut dan menjelaskan bahaya dan akibat buruk sehingga orang lain tidak terjatuh kedalamnya, beliau shallallahu’alaihi wasallam mencela perbuatan tersebut tanpa menyebutkan pelakunya, karena tidak ada maslahat yang bisa diharapkan dari menyebut nama pelaku.

Guru juga demikian, seharusnya metode mereka dalam membenahi kesalahan-kesalahan yang terjadi dari siswa menggunakan metode mengecam kesalahan dan mencelanya serta menjelaskan akibat buruknya dan memperingatkan manusia tanpa menyebutkan nama langsung.

 

Kesimpulan :

  1. Musyawarah membantu guru terhadap masalah dan problematika yang dihadapi.
  2. Meminta pendapat kepada orang lain bukan merupakan bukti rendahnya kedudukan ataupun ilmu, bahkan ia merupakan bukti keunggulan dan kemantapan akal.
  3. Musyawarah dapat mendekatkan diri kepada kebenaran, sedangkan meninggalkannya dapat menjauhkan dari kebenaran.
  4. Menanamkan akidah melalui ilmu-ilmu lain selain ilmu syar’I adalah sarana yang sangat bermanfaat untuk mengokohkan ikatan Muslim dengan Agamanya pada setiap lini kehidupan
  5. Cara ini secara umum dapat menguatkan kualitas iman siswa sehingga melahirkan generasi yang kuat akidahnya dan erat hubungannya dengan Rabbnya.
  6. Nasihat dan pengarahan tidak kalah penting dari ta’lim maka berikanlah perhatian yang menjadi haknya.
  7. Nasihat adalah tuntutan syar’I sebelum menjadi tuntutan Pendidikan dan pengajaran.
  8. Mengarahkan siswa dengan arahan yang benar, menuntun kepada apa yang berguna baginya, meluruskannya jika dia menyimpang dari jalannya dan perkara-perkara lainnya; itu merupakan tugas dan kewajiban guru.
  9. Memberikan nasehat secara empat mata adalah factor diterima dan cepatnya direspon suatu nasihat.
  10. Sikap lembut kepada siswa akan semakin dituntut manakala dia jahil
  11. Memprosentasikan kesalahan yang terjadi dari siswa
  12. Memperbaiki kesalahan yang tejadidari siwa yang jahil
  13. Menjelaskan kesalah bukan bermaksud bukan bemaksud menjelekkan pelaku kesalahan tersebut melainkan sebagai peringatan danng penjelasan terhadap kelakuan dan ucapan buruk agar orang tidak terjemus ke dalamnya
  14. Tidak menyebutkan nama secara langsung Ketika menjelaskan kesalahan, walaupun pelaku kesalahan tersebut diketahui oleh Sebagian orang.
  15. Jika orang yang melakukan kesalahan sengaja dan mengetahuinya, maka guru berhak untuk berijtihad dalam menciptakan cara yang paling tepat dalam menangani dan meluruskan pelaku kesalahan.
  16. Kepiawaian guru terletak pada bagaimana dia membenahi kesalahannya tanpa menyebutkan langsung orangnya.

 

Referensi:

Diringkas dari buku: BEGINI SEHARUSNYA MENJADI GURU (Darul Haq)

Penulis: Fu’ad Bin Abdul Aziz Asy- Syalhub

Peringkas: Evi Utami Ummu Afifah (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.