Mencetak Generasi Rabbani

MENCETAK GENERASI RABBANI

MENCETAK GENERASI RABBANI

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. Segala puji hanya layak dipersembahkan untuk Allah, Rabb semesta alam. Karena seluruh nikmat yang ada hanyalah berasal dari-Nya semata. Sholawat serta salam senantiasa kita sampaikan kepada Nabi agung kita, Nabi yang terakhir, Muhammad, serta kepada keluarganya dan juga orang-orang yang mengikuti jejak beliau dengan benar hingga hari akhir.

Amma ba’du.

Bicara soal anak, kita mempunyai keinginan yang sama. Sewaktu anak itu lahir, tentunya kita ingin ia tumbuh sehat dan lucu. Demi mewujudkan asa tersebut, kita tidak segan mengeluarkan biaya besar untuk memberinya gizi yang cukup, agar ia bisa tumbuh besar seperti yang kita harapkan.

Setelah anak dewasa, kita ingin ia tumbuh cerdas hingga mampu mengukir segudang prestasi. Demi mewujudkan harapan ini, dengan rela kita menguras otak serta mengerahkan segala upaya guna menatanya menjadi insan yang berotak cemerlang, dan memberinya berbagai fasilitas agar menjadi sosok yang berprestasi.

Namun perlu diingat, sebenarnya semua pencapaian itu belum cukup. Karena, seandainya sekarang kita mendapati anak kita sudah seperti yang kita harapkan, ia tumbuh sehat dan lucu, juga cerdas dan mampu mengukir segudang prestasi, akankah semua prestasi tersebut bermanfaaat untuk kita di dunia dan akhirat?, tentunya kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.

Betapa sering telinga ini mendengar orang tua yang dibuat pusing tujuh keliling dan panik bukan kepalang karna anaknya yang semasa kecilnya tumbuh dengan sehat dan lucu, namun ketika dewasa justru menjadi biang masalah. Betapa banyak orang tua yang dibuat geram oleh kedurhakaan anaknya yang berprestasi luar biasa.

Di penghujung usia, saat tubuhnya sudah renta, si anak tidak segan-segan membentaknya bagai membentak seekor binatang yang hina. Atau bahkan, anak itu rela menitipkan tubuh yang renta itu di panti jompo, tanpa perasaan bersalah ataupun berdosa. Wal’iyyadzu billah.

Ini  baru di dunia, lantas apa yang terbayang di benak anda terkait urusan akhirat?, akankah anak kita memberi manfaat setelah kita meninggalkan dunia yang fana ini?, yakni ketika Allah mengirimkan malaikat maut untuk mencabut nyawa kita, dan orang- orang pun mengantarkan kita ke liang kubur.

Pada hari itu semua prestasi anak yang sangat menakjubkan tak akan membahagiakan lagi jika tak diringi dengan keimanan. Bahkan kita tidak bisa berharap banyak dari doa yang mereka panjatkan. Sebab mereka berdoa bukan untuk orang tua mereka, dan mereka bukanlah anak yang sholih yang berbakti. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:

(أوْ وَلَدٍ صَلِح يدعُو لِهُ)

Artinya: “Dan anak sholih yang mendoakan kedua orang tuanya.” (Muttafaqun Alaih)

ANAK ADALAH NIKMAT ILAHI

Kata hikmah berbunyi: “ Siapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, ia terancam kehilangannya, dan siapa yang mensyukuri nikmat Allah, maka ia telah mengikat nya dengan sampul yang kuat.”

Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu Wata’ala:

وإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئن شَكَرْتُمْ  لَأَزِيْدَنَّكمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابِيْ لَشَدِيْدٌ

Artinya: “Dan ( ingatlah) ketika Rabb mumemaklumkan; sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya akan aku tambahkan nikmat ku, akan tetapi jika kamu mengingkarinya, maka sesungguhnya azabku sangatlah berat.” (QS. Ibrohim[14]: 7)

Diantara nikmat Allah yang agung dalam kehidupan ini adalah dikaruniai anak, si buah hati kepada suami istri. Anak merupakan karunia serta kado istimewa pemberian Allah. Terlebuh lagi seseorang dikaruniai seorang anak ya ng sholih, mereka diibaratkan kekayaan yang tak ternilai harganya, mereka adalah kebahagiaan rumah tangga, pelipur lara, dan penolong orang tua.

Namun demikian banyak orang tua yang tidak merasakan hadirnya seorag anak itu sebagai karunia dan sebuah kebahagiaan. Akibatnya, keluh kesah kerap terjadi pada sebagian orang tua, belum lagi diringi rasa kesal dan belum puas dengan luapan isi hati.

Apabila itu yang terjadi, marilah kita sama-sama melihat kondisi di luar sana. Ternyata begitu banyak pasangan yang lelah berharap meminta momongan, tetapi Allah belum berkenan memberinya kepada mereka. Padahal semua saran sudah dilakukan, pun doa- doa sudah dipanjatkan siang dan malam.

Di tempat lainnya, banyak pula orang tua yang kehilangan anak yang teramat ia kasihi, ia meninggal dunia. Dan ada pula anak yang awalnya sempurna, tiba-tiba cacat karna suatu bencana. Atau anaknya yang awalnya sehat bugar, tiba- tiba jatuh sakit dan tak berdaya karna sakitya yang kronis.

Dari sanalah dapat kita pahami, bahwasanya anak itu adalah sebuah anugrah ilahi yang sangat berharga. Syukuri nikmat ini, semoga syukur itu dapat mempertebal kesabaran kita dalm mengasuh dan mendidik mereka, dan semakin memperbesar harapan kita agar mereka tumbuh menjadi anak yang shalih.

Inilah harapan kita yang selalu kita panjatkan dalam doa pada setiap kesempatan, di sela- sela ibadah yang kita kerjakan, yakni permohonan kepada- Nya: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, pasangan kami, dan keturunan kami penyejuk hati ami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang- orang yang bertaqwa”(QS. Al- Furqon [25]: 74)

ANAK ADALAH PERHIASAN SEKALIGUS UJIAN

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:

المَالُ وَالبَنُوْنَ زِيْنَةُ الحَيَاةِ الّدُنياَ

Artinya: “Harta dan anak- anak adalah perhiasan kehidupan dunia…” (QS. Al- Kahfi[18]: 46)

Tepat sekali jika anda mengatakan bahwa anak adalah perhiasan kehidupan di dunia. Betapa jiwa merasa bahagia dan tentram menatap anak- anak, dan hati pun merasa senang tatkala bercanda dan bermain bersama mereka.

Namun waspadalah, karena di samping sebagi anugerah, anak juga sebagai fitnah (cobaan atau ujian keimanan). Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam surat at- Taghobun yang artinya: “Sesungguhnya hartamu dan anak- anak mu hanyalah cobaan bagimu, dan di sisi Allah pahal yang besar.”(QS. at Taghobun[64]: 15)

Maka, setelah kita memahami hal tersebut, jangan sampai kita terpedaya dengan kehadirean buah hati, sehingga menjadi lalai dalam berbuat ketaatan kepada Rabb semesta alam.

Anak, kehadirannya kadang menjadikan seorang hamba bersikap angkuh sehingga tidak mensyukuri nikmat Allah, ia menjadi sombong serta berbangga diri dengan anaknya, merasa bahwa derajatnya lebih tinggi daripada orang lain. Ia telah takabbur, merendahkan orang lain, dan berbuat aniaya. Padahal sifat tersebut hanya akan mengantarkannya ke dalam jurang neraka.

Anak kerap kali mendorong ayah nya untuk menghalakan yang haram, alasannya adalah demi masa depan anaknya. Ia berusaha mengumpulkan uang dengan berbagai cara, sekalipun harus menzholimi yang lemah, memusuhi orang lain, juga memutus silaturrahim antar kerabat dan teman.

Bahkan terkadang seorang anak itu dapat menjadikan orang tuanya kikir dan penakut. Saat ingin bersedekah, syaithan pun mempengaruhinya; “ anakmu tadi meminta ini dan itu.”, maka demi anaknya, ia pun mengurungkan infaknya di jalan Allah. Padahal, yang diminta anaknya bukanlah kebutuhan primer.

Ketika harus mengucapkan kalimat yang haq, maka ia harus berpikir dua kali dulu. Hal tersebut tidak lain hanyalah karena ketakutannya terhadap petaka yang akan menimpa dirinya dan anak kesayangannya. Maka ia memilih diam daripada menyampaikan hal tersebut.

Ketika anak jatuh sakit, rasa iba mendorong orang tua untuk berbuat bodoh, melanggar syari’at agama dengan ucapan maupun perbutannya, menggugat taqdir Allah, dan tidak menerima ketetapan Allah. Hingga ia membawa anaknya berobat ke dukun, padahal Nabi ﷺ melarang hal tersebut. Yang lebih para lagi jika sang anak menyuruh orang tuanya pada kesesatan dan kekafiran, alih- alih kepada petunjuk yang benar. Allahu musta’an.

Lalu bagaimana kita dapat terhindar dari fitnah tersebut?

Jawabannya sederhana saja, yakni jadikanlah cinta pertama kita untuk Allah. Lantas ajadikan manusia yang paling kita cintai adalah Rasulullah. Kemudian bertawakalah kepada Allah ﷻ dalam mengurus dan mendidik mereka.

Rasulullah mengabarkan bahwa di antara perkara yang dapat menghapus keburukan akibat godaan anak adalah mengerjakan sholat, puasa, bersedekah, dan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Sumber:

Mencetak generasi rabbani , penulis Abu Ihsan Al Atsari dan Ummu Ihsan , Cetakan pertama, Agustus  2017, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i

Diringkas oleh: Fadhilah Azka Anisa (pengabdian  Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)

Artikel  September 2022

Baca juga artikel:

Cara Meraih Cinta Allah

Apakah Kita Termasuk Golongan Itu?

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.