Wanita Bekerja Di Luar Rumah?

wanita bekerja diluar rumah

Wanita Bekerja Di Luar Rumah? – Sebagai seorang Muslimah, ia memiliki kehormatan dan kemuliaan dalam pandangan syariat. Karena begitu berharganya seorang Wanita Muslimah, Allah Subhanahu wata’ala telah menjaga mereka dengan syariat-Nya yang mulia. Di antara bentuk penjagaan dari Allah untuk Wanita Muslimah adalah dengan menjadikan tempat pekerjaan asal mereka adalah berada di dalam rumah-rumah mereka. Sebab itu akan lebih bisa melindungi Wanita Muslimah dari gangguan dan fitnah bila mereka berada di luar rumah.

Namun demikian, sedikit demi sedikit kaum Wanita Muslimah mulai terbujuk untuk meninggalkan rumah-rumah mereka demi mencari rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala[1]. Berbagai alasan dan latar belakang dikemukakan untuk mendasari keluarnya mereka dari rumah-rumah mereka. Ada yang dibenarkan oleh syariat, ada pula yang mencari-cari pembenaran dengan berbagai alasan.

Karena itulah, sebagai Wanita Muslimah hendaknya mereka mengetahui terlebih dahulu tentang syarat-syarat apa saja yang menjadikan mereka boleh keluar rumah untuk mencari rezeki dari Allah Subhanahu wata’ala . karena pada asalnya, kebutuhan hidup seorang Wanita itu adalah ditanggung oleh kaum lelaku hingga meninggal dunia. Baik lelaki itu adalah ayahnya, suami, kakak, atau yang lainnya. Dalam Al-Qur’an disebutkan:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ

Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum Wanita, oleh karena Allah telah melebihkan Sebagian mereka (laki-laki) atas Sebagian yang lain (Wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan Sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa’: 34)

Pahami dulu maksud bekerja “di luar rumah” bagi Wanita

Saudariku kaum Muslimah, sebelum memahami syarat-syarat apa saja yang membolehkanmu untuk meninggalkan rumah dalam rangka mencari rezeki Allah Subhanahu wata’ala , hendaklah engkau ketahui tentang makna dibolehkannya bekerja “di rumah”.

Menurut Riwayat yang menunjukkan pekerjaan para shahabiyah ada yang di luar rumah, mereka tidaklah bekerja di luar rumah yang bermakna “di luar kota” atau terlebih lagi “di luar negeri”. Mereka hanya berjual beli di pasar Madinah dan mengurusi kebun kurma mereka di sekitar rumah yang masih berada di kota Madinah itu sendiri. Mari simak salah satu Riwayat yang menunjukkan hal itu :

Jabir Rodhiallahu ‘anhu , “Bibiku habis diceraikan (oleh suaminya), lalu beliau ingin keluar ke kebun untuk mengambil kurmanya, lantas ada seorang yang memerahinya karena ia keluar rumah (saat ia habis diceraikan). Maka Bibiku mendatangi Nabi Sholallahu ‘alaihi wassallam dan megadukannya. Rasullullah Sholallahu ‘alaihi wassallam pu mengatakan, “tentu saja (boleh). Ambillah kurmamu, barangkali engkau akan bisa bersedekah untuk berbuat baik (dengan kurma itu).” (HR. Muslim : 1483).

Hal ini juga yang telah difatwakan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan ulama yang lain. Yaitu, bahwa bila Wanita akan bekerja di luar rumahnya dalam Batasan safar, makai a harus ditemani oleh mahram yang akan bisa melindunginya. Wallahu a’lam[2]

Syarat-syarat Wanita bekerja di luar rumah

Syarat pertama : jika seorang Wanita hendak bekerja atau berkarir, hal yang pertama kali harus ia lakukan adalah meminta izin dari walinya, baik wali itu suaminya sendiri, ayah, kakak, atau wali yang lainnya. Maka bila seorang Wanita tidak mendapatkan izin dari walinya untuk bekerja di luar rumah, ia pun tidak diperbolehkan untuk berkarir di luar rumahnya. Karena pada asalnya, Wanita adalah tanggungan kaum pria, baik itu suami, atau wali yang lainnya, sebagaimana telah jelas tertuang dalam ayat 34 dari surat an-Nisa’ di atas.

Kecuali bila memang keadaan Wanita tersebut sangat membutuhkan sebuah pekerjaan untuk mencukupi kebutuhannya, lantaran tidak ada orang lain yang bersedia menanggung kebutuhannya sehingga dia sebagai tulang punggung dirinya dan keluarga. Jika keadaannya seperti ini, maka si Wanita tidak perlu izin.

Syarat Kedua : Pekerjaan yang sedang digeluti atau dijalani oleh seorang Muslimah tidak boleh melalaikan dirinya dari pernikahan yang telah diperintahkan oleh agama, maupun sampai membuatnya lambat menikah dengan alasan mengejar karir.

Syarat ketiga : jangan sampai pekerjaan yang sedang atau akan digeluti menghalangi seorang Wanita untuk melahirkan keturunan, atau memperbanyak keturunan. Karena pada asalnya, Islam menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan yang shalih dan shalihah.

Syarat keempat : Pekerjaannya di luar rumah tidak bertabrakkan dengan pekerjaan asalnya, yaitu sebagai manager rumah tangga di rumah suamiya. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasullullah Sholallahu ‘alaihi wasallam sendiri,

وَالمَرْ أَهُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْؤُولَةٌ عَنْهُمْ

Artinya: “….. dan seorang Wanita adalah pengatur (manager) terhadap urusan orang-orang yang ada di rumah suami dan anak (suami) nya. Dan dia akan dimintai tangung jawab terhadap urusannya.” (HR. al-Bukhari: 7138)

Syarat kelima : Pekerjaan yang diterima oleh Wanita Muslimah ialah pekerjaan yang halal dan dibolehkan oleh syariat. Pekerjaan itu semisal berdagang, mengajar, dalam dunia Kesehatan yang khusus menangani kaum Wanita dan anak-anak misalnya, atau berdakwah di jalan Allah, dan sebagainya.

Adapun pekerjaan yang tidak diperbolehkan oleh syariat, maka seorang Wanita Muslimah sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengambilnya. Semisal, bekerja di tempat yang mengelola riba, tempat pembuatan khamer, bekerja sebagai penari, dalam bidang music, dan yang selainnya.

Syarat keenam : Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang Muslimah hendaknya sejalan dengan fitrahnya sebagai Wanita yang bertabiat lemah lembut. Jangan sampai ia menerima pekerjaan yang bertolak belakang dengan sifat-sifat kewanitaannya dan tidak sejalan dengan kondisi fisiknya. Pekerjaan itu bisa berupa, bekerja sebagai kuli bangunan, membersihkan jalanan, kuli dalam proyek pelebaran jalan, tukang becak, atau pekerjaan-pekerjaan berat lainnya yang bisa memberatkan dirinya. Maka ia tidak boleh memilih pekerjaan itu sebagai dunia karirnya. Karena jika seorang Wanita memilih pekerjaan yang semisal ini, makai a dinilai tengah melawan kodrat dan tabiatnya sebagai seorang Wanita yang berfitrah lemah lembut dan halus.

Syarat ketujuh : Bila Muslimah telah mendapatkan izin bekerja dari wali atau suaminya pada pekerjaan yang dibolehkan, maka hal penting yang harus ia perhatikan adalah, tidak keluar ke tempat kerja kecuali dengan menggunakan pakaian yang sesuai syar’i. pakaian ini mempunyai beberapa kriteria yang wajib terpenuhi, dan itu adalah:

  1. Hendaknya pakaian yang ia kenakan menutupi semua badannya. Sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan kaum mukminat untuk memakai jilbab yang menutupi seluruh badannya. Bagaimana yang tercantum dalam firman-Nya :

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا}

Artinya: “hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin: “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Ahzab: 59)

  1. Pakaian itu bukanlah sebagai hiasan yang mencolok sehingga akan menjadi perhatian dari pandangan lawan jenisnya. Dan bila pakaian yang ia kenakan adalah model seperti ini (perhiasan yang mencolok), makai a telah terjatuh dalam larangan tabarruj. Yaitu keluar rumah dengan mengunakan perhiasan atau dandanan yang mencolok.
  2. Pakaian yang digunakan oleh Muslimah tersebut hendaknya tebal dan tidak tembus pandang. Karena tujuan untuk menutup aurat adalah supaya tidak dapat telihat, karena itulah, pakaian yang terbuat dari bahan yang tembus pandang tidaklah diperbolehkan. Dan seorang Wanita yang berani keluar rumahnya dengan pakaian tembus pandang seperti ini, makai a telah terjatuh dalam laknat Rasullullah Sholallahu ‘alaihi wassallam . tidak hanya itu saja, beliau Sholallahu ‘alaihi wassallam juga telah menyebut Wanita semacam ini sebagai, ‘orang-orang yang berpakaian namun telanjang’. (HR. Muslim: 3/1680)
  3. Pakaian yang dikenakan oleh Muslimah haruslah bersifat longgar, sehingga tidak bisa menggambarkan bentuk lekuk tubuhnya, karena pada asalnya, tujuan dari berpakaian adalah untuk menghilangkan fitnah. Dan itu tidak akan terjadi kecuali dengan pakaian yang tebal dan longgar, yang tidak bisa menggambarkan bentuk tubuhnya kepada yang memandang.
  4. Tidak dibubuhi minyak wangi. Karena Nabi Sholallahu ‘alaihi wassallam pernah bersabda, “siapa saja Wanita yang memakai minyak wangi lantas keluar kepada sebuah kaum yang mereka bisa mencium wanginya, maka dia (seperti) seorang penzina.” (HR. Ahmad 4/413, Abu Dawud: 4173 dan yang lainnya)
  5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki. Semisal dengan menggunakan celana Panjang atau pakaian lain yang menjadi ciri lelaki.
  6. Tidak menyerupai pakaian Wanita kafir atau fisik. Karena siapa yang meniru ciri sebuah kaum, ia termasuk bagian dari mereka.
  7. Bukan termasuk pakaian syuhrah. Yaitu pakaian yang menjadikannya bahan perhatian yang berbeda dari pakain Wanita shalihah selainnya, dan status asal pakaian itu bukanlah perintah syariat.

Syarat yang kedelapan : Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang Muslimah haruslah terbebas dari ikhtilath atau bercampurnya antara laki-laki dan Wanita di tempat kerja.

Syarat kesembilan: Hendaknya Wanita bekerja di luar rumah karena memang sangat membutuhkan pekerjaan itu atau tenaganya itu tidak bisa digantikan oleh tenaga laki-laki. Semisal dalam dunia medis yang menangani persalinan atau Kesehatan Wanita.

Jika syarat-syarat di atas dapat dipenuhi, dan dengan selalu mengedepankan taqwa kepada Allah, barulah Muslimah diperbolehkan bekerja di luar rumahnya. Jika tidak bisa memenuhi syarat-syarat di atas, maka pada asalnya tempat seorang Muslimah adalah di dalam rumahnya. Wallahu a’lam

 

Sumber : Majalah Almawaddah Volume 80 Shafar 1436 H

Diringkas oleh : Abu Ghifar Supriadi (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur)

[1] Disyariatkan dari Huquq al-Mar’ah fi Dhau’I as-Sunnah an-Nabawiyyah, DR. Nawal Binti Abdul Aziz al-‘Id dan bahan lainnya.

[2] Fatwa dari Mauqi’ Ibnu “Utsaimin, no: 106815 (Maktabah Syamilah)

 

BACA JUGA :

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.