Anak adalah anugerah terindah dari Allah Ta’ala bagi orang tua. Ia adalah jantung hati dan belahan jiwanya. Orang tua akan rela bersusah-payah mencari rejeki demi kebahagiaan sang anak. Mereka juga akan siap bergadang malam manakala sang anak sakit untuk menjaga dan merawatnya, serta berdoa untuk kesembuhannya. Tidak ada keluh kesah terucap lantaran repotnya menjaga buah hati.
Alangkah bahagianya orang tua ketika mendapati anak mereka telah tumbuh dewasa menjadi anak yang shalih; berbakti pada mereka, serta menunaikan hak-hak mereka karena Allah Ta’ala. Terasa tiada sia-sia letih-lelah mereka dalam mendidiknya serta mencari rejeki dalam memenuhi kebutuhan anak dan keluarga. Hari–hari terasa begitu indah mereka lalui bersama anak yang shalih dan berbakti pada mereka.
Sebaliknya, betapa hati orang tua akan hancur berkeping-keping, perih bagaikan tersayat sembilu ketika ia dapati anaknya tumbuh dewasa menjadi anak yang durhaka, tak ada ketaatan darinya untuk Allah Ta’ala dan Rosul-Nya apalagi kepada orang tuanya. Kata-katanya kasar lagi kotor, tidak ada sedikitpun rasa hormat yang ia berikan kepada orangtuanya, wal ‘iyâdzu billâh.
Orang tua harus bijak dalam mencari sebab dari kesalahan ini. Tidak semua kesalahan dilimpahkan kepada sang anak semata. Bisa jadi sebab utama dari kedurhakaanya adalah orang tua itu sendiri yang tidak pernah mengajarkan bagaimana harus berbuat baik kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sehingga mereka pun mengabaikan hak orang tua terhadapnya.
Imam Ibnul Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah pernah berkata mengingatkan orang tua akan peranan penting keluarga dalam pendidikan anaknya. Beliau berkata: “Dan kebanyakan anak, kerusakan yang terjadi pada mereka disebabkan oleh orangtuanya, karena ketidakperhatian mereka terhadap anak-anaknya. Mereka tidak mengajarkan anak-anaknya tentang kewajiban-kewajiban dalam agama dan sunnah-sunnahnya. Sehingga merekapun menyia–nyiakan anaknya ketika masih kecil, sehingga anak itu tidak mampu memberikan manfaat untuk dirinya sendiri, tidak pula mampu memberikan manfaat kepada orang tuanya ketika telah tumbuh dewasa.
Sebagaimana pula sebagian orang tua sering kali mencaci maki anaknya karena kedurhakaanya, maka anak itupun menjawab: “Wahai ayahku sesungguhnya engkau dahulu telah berbuat durhaka kepadaku (dengan tidak mengajariku perkara agamaku – pent) ketika aku masih kecil, maka hari ini akupun durhaka kepadamu ketika aku telah dewasa. Engkau menyia-nyiakanku ketika aku masih kanak-kanak maka aku sia-siakan engkau ketika engkau telah tua renta.” [1]
Begitu juga Imam al-Ghozali pernah berkata: “Seorang anak apabila dibiarkan begitu saja (tidak dididik dengan benar) di masa-masa awal pertumbuhannya maka pada umumnya akan menjadi orang yang buruk perangainya, suka berbohong, sangat pendengki, suka mencuri, mengadu domba, dan suka memaksa jika meminta, menjadi orang yang banyak bicara tanpa ada manfaatnya, banyak tertawa dan bercanda (yang berlebihan). Dan seorang anak bisa dijaga dari sifat-sifat ini semua dengan pendidikan yang baik.” [2]
Dan sebaik- baik contoh bagi kita dalam segala urusan kita adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam , termasuk dalam mendidik anak. Allah Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah Ta’ala dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah Ta’ala. (QS. Al-Ahzâb:21 )
Kita lihat beberapa contoh metode Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik anak agar keshalihan yang kita harapkan dari anak kita bisa terwujud.
Memberikan Contoh dan Teladan yang Baik untuk Mereka
Perlu diketahui bahwa anak dilahirkan dalam keadaan bersih dan lurus. Apabila ia dijaga dan dididik dengan benar, maka akan terjaga pula kelurusan dan kebersihan jiwanya sehingga akan lahir darinya akhlak yang bersih lagi lurus, sejalan dengan syar’iat Islam. Tapi jika tidak ada contoh yang baik yang ditunjukan oleh orang tua berupa akhlak yang Islami maka sang anak juga akan meniru perilaku buruk orang tuanya, wal’iyadzu billah.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah seorang anakpun kecuali ia dilahirkan dalam keadaan bersih (beriman pada Allah Ta’ala), maka orang tualah yang menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi”[3].
Oleh karena itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam senantiasa memerintahkan orang tua agar memberikan contoh yang baik untuk anak-anaknya, karena seorang anak akan mengikuti apa yang ia lihat dari orang tuanya sehingga perbuatan itu akan menjadi kebiasaanya.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Abdulloh bin Amir dipanggil oleh ibunya, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam waktu itu sedang berada dirumahnya, maka ibunya berkata; kemarilah nanti kamu saya beri sesuatu.” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun bertanya padanya: “Apa yang hendak engkau berikan ?”, ibunya menjawab: “Aku akan beri ia kurma.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Jika saja engkau tidak memberinya sesuatu, maka hal itu akan dicatat sebagai suatu kebohongan”.(HR.ABu Dawud)[4]
Kadang orang tua secara tidak sadar telah mengajari anaknya untuk berbohong, sehingga anaknyapun menjadi suka berbohong. Ketika ada tamu misalnya atau ada yang menghubunginya lewat telepon sedang ia tidak suka untuk menjawab atau bertemu dengan tamu tersebut ia meminta anaknya untuk memberi tahu bahwa ayahnya tidak ada dirumah, atau sedang istirahat tidak bisa diganggu. Maka sang anakpun akan mengikuti perilaku orang tuanya dan belajar untuk berbohong sehingga hal itu akan menjadi kebiasaannya.
Dengan memberikan contoh yang baik maka orang tua berarti sedang mengajari anaknya untuk berbuat baik, karena seorang anak akan terus melihat perilaku orang tuanya kemudian akan berusaha menirunya.
Dalam riwayat Bukhori (hadits no. 812) disebutkan dari Abdulloh bin Abbas berkata: “Suatu malam aku tidur dirumah bibiku Maimunah (istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam), maka setelah berlalu sebagian malam beliau bangun dan berwudhu dari sisa daging yang menempel dengan wudhu yang ringan, kemudian berdiri untuk sholat. Maka akupun bangun dan berwudhu seperti wudhunya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan berdiri disebelah kiri beliau, kemudian beliau menarikku dan memindahku kesebelah kanan beliau, dan beliau sholat sebagaimana yang Allah Ta’ala kehendaki.”
Lihatlah bagaimana Ibnu Abbas radiyallahu’anhu mengambil pelajaran penting dari apa yang beliau lihat, beliau berwudhu seperti wudhu yang beliau lihat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, mendirikan sholat malam sebagaimana yang beliau lihat dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan hal itu menjadi kebisaan beliau setelah itu. Dan beginilah, contoh yang baik akan memberikan kesan yang kuat pada anak-anak kita.
Berbuat Adil Kepada Seluruh Anak Tanpa Membeda-bedakannya
Orang tua dituntut untuk berbuat adil kepada anak-anaknya, memperlakukan mereka dengan perlakuan yang sama tanpa membeda-bedakan. Karena dengan perlakuan yang sama akan meninggalkan bekas yang baik pada anak-anak mereka, untuk berbuat baik pada orang tua mereka.
Cukup bagi kita untuk mengetahui bahwa seorang anak akan merasa iri dan dengki serta keras hati saat orang tuanya lebih memperhatikan salah seorang anaknya, sehingga orang tua akan kesulitan untuk menasehatinya. Kita bisa melihat hal itu pada kisah Nabi Yusuf dan sudara-saudaranya.
Allah Ta’ala berfirman mengisahkan tentang mereka yang artinya: “(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata.” (QS. Yusuf: 8)
Maka hasilnya merekapun berusaha untuk mencelakai yusuf, dan melupakan hak saudaranya. Mereka berkata: “Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik”. Seorang diantara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat”. (QS. Yusuf: 9-10).
Oleh Karena itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada kita akan pentingnya bagi orang tua untuk berbuat adil pada anak-anaknya. Imam Bukhori dan Muslim membawakan riwayat dari An-Nu’man bin Basyir bahwa ayahnya mengajaknya untuk mengahadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, kemudian berkata: “Sesungguhnya aku telah memberi putraku ini seorang budak milikku. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah seluruh putramu engkau beri juga ?” Ayahku menjawab: “Tidak.” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalau begitu jangan kau jadikan aku saksi atas perbuatan zholimmu ini”. Kemudian beliau menambahkan: “Tidakkah engkau senang jika seluruh anakmu berbuat baik padamu?” Ayahku menjawab: “Tentu,” maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kembali bersabda: “Kalau begitu jangan kau lakukan itu.” Dalam riwayat Muslim dikatakan: “Apakah engkau melakukan ini pada seluruh anakmu?” Ayahku menjawab: “Tidak,” maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اتَّقُوْا اللهَ وَ اعْدِلُوْا فِيْ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah engkau pada Allah Ta’ala dan berbuatlah adil pada anak-anakmu ”. maka ayahku pun mengambil kembali sedekoh itu (dariku).” [5]
Imam Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwasanya seorang laki-laki duduk dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam kemudian datang putranya maka iapun menciumnya lalu mendudukannya di pangkuannya, kemudian datang putrinya dan mengambilnya lalu mendudukannya disisinya, ( melihat hal itu ) Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Engkau tidak berbuat adil terhadap keduanya ”[6].
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur orang tersebut karena tidak memperlakukan putrinya seperti apa yang ia lakukan pada putranya, yaitu menciumnya dan menaruhnya dipangkuannya. Perlakuan membedakan seperti ini bisa menimbulkan perasaan iri dan dengki pada diri putrinya terhadap saudaranya sehingga ia berakhlak buruk dan durhaka pada orang tuanya kelak ketika ia telah dewasa.
Mendoakan Anak dengan Kebaikan.
Tidak asing bagi kita akan keajaiban doa dan betapa hebat pengaruh yang ditimbulkannya, terlebih doa yang dipanjatkan orang tua untuk anak-anaknya. Maka hendaknya orang tua betul-betul memperhatikan waktu-waktu yang mustajab agar ia bisa mendoakaan kebaikan dunia dan akhirat untuk putra-putrinya.
Sebaliknya, kita sebagai orang tua dilarang untuk mendoakan keburukan untuk anak kita. Seburuk apapun akhlak anak kita, maka jangan sampai terucap dari mulut kita doa yang buruk untuk mereka. Karena doa yang buruk tidak akan membantu anak untuk menjadi baik, justru bisa menambah perkaranya jadi lebih parah. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kamu mendoakan keburukan untuk dirimu, jangan kamu berdoa keburukan untuk anakmu, jangan kamu berdoa keburukan untuk pembantumu, jangan kamu berdoa keburukan untuk hartamu. Jangan sampai kalian berdoa (keburukan) dan menepati suatu waktu yang Allah Ta’ala turunkan pemberian waktu itu sehingga akan terkabulkanlah doamu.” [7]
Imam Ghozali menyebutkan bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Abdulloh bin Mubarok mengadukan tentang kedurhakaan anaknya terhadapnya. Maka Abdulloh bin Mubarok berkata: “Apakah engkau mendoakan keburukan untuknya (karena kedurhakaannya padamu) ?,” laki-laki itu menjawab: “Ya.” Maka beliau berkata pada laki-laki tersebut: “Engkau telah merusaknya ( dengan doamu itu).”
Dari pada kita menambah keburukan anak kita, maka seharusnya kita rubah doa yang buruk itu dengan doa yang baik. Abdulloh bin Abbas pernah berkata: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendekapku dan mendekatkanku ke dada beliau, kemudian beliau berdoa:
الَلَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التّأْوِيْلِ.
“ Ya Allah Ta’ala jadikanlah ia orang yang faham terhadap agama ini, dan ajarkanlah ia tafsir “(HR Bukhari) [8].
Maka dengan keberkahan doa ini beliau (Ibnu ‘Abbas) tumbuh menjadi seorang yang alim, menjadi tempat rujukan untuk bertanya tentang perkara agama ini, dan beliau terkenal dengan julukan Turjumânul Qur’ân.
Banyak sekali contoh dalam hal ini, namun kita cukupkan dengan menyebutkan contoh diatas.
Meninggalkan Banyak Mencela dan Mencerca anak.
Bila kita memperhatikan kehidupan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka akan kita dapati bahwa beliau tidak pernah mencela atau mencerca perbuatan seseorang, terlebih terhadap anak-anak. Sahabat Anas radiyallahu’anhu yang membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun berturut-turut pernah menceritakan tentang bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendidiknya, beliau berkata: “ Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah berkata sama sekali kepadaku ‘Ah!!!,’ tidak pula terhadap apa yang aku lakukania “Kenapa engkau lakukan ini!!!”, atau terhadap apa yang tidak aku lakukan : “Kenapa engkau tidak melakukan ini!!!”. [9]
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sahabat Anas radiyallahu’anhu berkata: “Aku membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun, tidaklah beliau memerintahkanku sesuatu, lalu akupun terlambat melakukannya atau lupa melakukannya kemudian beliau memarahiku. Dan apabila ada salah satu keluarga beliau memarahiku maka beliau akan berkata kepadanya: “Biarkanlah dia, karena jika hal itu sudah ditakdirkan untuk terjadi pasti akan terjadi”.[10]
Adab agung yang ada pada diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini telah terekam dengan baik oleh sahabat Anas yang waktu itu masih kecil, sehingga hal itu meninggalkan bekas yang mendalam pada diri sahabat Anas dan menjadi modal besar bagi beliau dalam mendidik putra–putri beliau.
Dalam sebuah atsar juga disebutkan bahwa seorang laki-laki telah mencela anaknya karena perbuatannya, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, atau Abu Bakar, atau Umar berkata kepadanya:
إِنَّمَا ابْنُكَ سَهْمٌ مِنْ كِنَانَتِكَ.
“Sesungguhnya anakmu itu ibarat salah satu anak panah dari keranjang anak panahmu”.(Kanzul ‘Ummal, no. 45915) [11]
Maksudnya anak itu adalah hasil dari didikan orangtuanya. Maka ketika ia mencela anaknya karena perbuatannya, sejatinya ia sedang mencela dirinya sendiri. Bersegeralah untuk mendidik dan memperbaikinya karena itu lebih bermanfaat buat mereka.
Syaikh Syamsuddin Al- Inbabi rahimahullahu mengatakan dalam risalah beliau yang berjudul Riyadatush Shibyân wa Ta’limihim mengatakan: “Janganlah mencela anak setiap waktu, karena hal itu akan menjadikan anak tersebut mudah untuk mencela dan melakukan perbuatan yang buruk.” [12]
Inilah beberapa metode yang bersumber dari perilaku Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam mendidik, dan semoga dapat membantu kita dalam mendidik putra–putri kita, sehingga akan terlahir kelak generasi robbani. Wallah a’lam bish showab.
[1] Tuhfatu al-Maudud bi ahkaami al-Maulud, hal. 139
[2] Ihya’ ‘Ulumuddin dengan takhrijnya, juz: 8, hal.1469.
[3] HR. Bukhori, no. 1385, dan Muslim, no. 2658 .
[4] HR. Abu Dawud, no. 4339, dinyatakan hasan oleh Syaikh Albani dalam Shôhîhul Jâmi’, no. 1319 .
[5] HR. Bukhori no. 2456 dan Muslim, no. 1623, 5/66 .
[6] HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman, no. 8327, dan dishohihkan oleh Syaikh Albany dalam Silsilah Ash-Shohîhah, no. 2994 .
[7] HR. Abu Dawud, no. 1532. Di shohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohîhul Jâ’mi’, no.7267.
[8] HR. Bukhori, no. 140; Muslim no. 2477; dan Ahmad, no. 2397 .
[9] HR. Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod, no. 284, dan dishohihkan oleh Syaikh Albani dalam Shohihul Adabil Mufrod, no. 227 / 221.
[10] HR. Ahmad dalam Al-Musnad, no. 13443. Dan dishohihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth.
[11] Diriwayatkan oleh Abdur-Razzaq, no. 16627, dan dalam Kanzul ‘Ummal, no. 45915.
[12] Manhaju at-Tarbiyah an-Nabawiyyah li ath-Thifli, hal. 108
Sumber: Majalah Lentera Qolbu tahun ke-4 edisi ke-8
Sumber gambar:
Leave a Reply