AWAL MULA IKATAN PERNIKAHAN
(Bagian 1)
Segala puji hanya milik Allah. Kami memuji, meminta pertolongan, dan memohon ampunan kepada-Nya. Kami juga berlindung kepada Allah dari kejahatan dan buruknya amal pebuatan kami. Siapa saja yang Allah beri petunjuk niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa saja yang Allah sesatkan niscaya tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan sebenarnya) melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya.
يا أيها الذين امنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (QS. Ali ‘Imran : 102)
- Pernikahan adalah Anugerah
Dalam kitab-Nya, Allah menyebut karunia yang Ia berikan kepada kita, bahwa Ia menciptakan kita, kaum lelaki dan perempuan dari satu jiwa. “Satu Jiwa” yang dimaksud adalah Adam. Karunia di balik penciptaan ini adalah jenis laki-laki bukanlah makhluk tersendiri. Demikian pula jenis perempuan, asal usul penciptaan mereka bukan terpisah dengan laki-laki. Andai kaum wanita diciptakan dari asal usul yang berbeda dari kaum lelaki, misalkan Allah menciptakan kaum lelaki dari unsur lain bukannya tanah, atau dari tanah namun secara tersendiri, tentu akan muncul pertentangan dan perbedaan yang hanya Allah saja yang tahu. Akan tetapi, faktanya Hawa diciptakan seperti disebutkan dalam hadits shahih yaitu dari tulang rusuk Adam ‘alaihissalam.
Artnya, pada asalnya, wanita adalah bagian dari laki-laki. Itulah sebab mengapa lelaki menyayangi wanita dan begitu pula sebaliknya. Keduanya memiliki kesamaan. Sebagai wujud rahmat-Nya, Allah menjadikan perkembangbiakan manusia dari hasil hubungan antara laki-laki dan perempuan; hubungan badan, kedekatan, dan kenikmatan sempurna, agar sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam berikut terwujud, “Wanita adalah saudara kandung lelaki.” Dengan demikian, laki-laki dan perempuan bagaikan dua sisi mata uang, atau dua bagian dari sesuatu
Sebuah keluarga di tengah masyarakat islam bermula dari pernikahan yang disyariatkan Allah dengan prinsip; istri menjadi sumber kebahagiaan bagi suami, suami menjadi sumber kebahagiaan istri, dan keduanya sama-sama menjadi sumber kebahagiaan bagi anak-anak. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُالْحَيَواةِ الدُّنْيَا…46
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (QS. Al-Kahfi : 46)
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَآءِوَالْبَنِينَ…14
Artinya: “Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, dan anak-anak.” (QS. Ali-‘Imran : 14)
- Hikmah Pernikahan dalam Islam
Pernikahan di syariatkan Allah demi keberlangsungan keturunan dan khalifah di bumi, seperti yang Allah Subhanahu Wata’ala firmankan :
وَإِذْقَالَ زَبُّكَ لِلْمَلَئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيفَةً…30
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS. Al- Baqarah : 30)
Khalifah yang dimaksud di dalam ayat ini adalah manusia yang saling menggantikan peran satu sama lain dalam memakmurkan dan menghuni bumi.
Allah mensyariatkan pernikahan, menjelaskan tujuan-tujuan pernikahan, menentukan cara-caranya, mengaturnya dengan kaidah-kaidah yang mengarah pada penjagaan jiwa, kehormatan, nasab, keberlangsungan keturunan, membina rumah-tangga di mana suami dan istri menemuan kepuasan kebutuhan jasmani, jiwa, sosial, dan rohani.
Dalam syariat Allah, pernikahan tegak di atas prinsip keadilan dalam pemenuhan hak dan kewajiban, juga di atas tujuan-tujuan luhur, meraih ketenangan dalam hubungan sosial suami dan istri. Oleh sebab itu, pernikahan menjadi sumber pengembangan kesehatan jasmani dan rohani, dan benteng pelindung dari segala penyimpangan dan penyakit.
Ada banyak hadits yang mendorong praktik pernikahan sekaligus menjelaskan bahwa pernikahan dapat membantu mewujudkan ketaatan kepada Allah dan menggapai ridha-Nya, salah satunya hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ’anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
يَامَعْشَرَ الشَبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا صَوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَا ءٌ.
Artinya: ‘Wahai para pemuda! Siapa di antara kalian mampu menanggung beban pernikahan maka menikahlah, karena (menikah itu) lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan siapa tidak mampu, hendaklah ia berpuasa karena (puasa) menjadi penawar (syahwat) baginya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa pernikahan membantu pelakunya menjaga diri, menjaga anggota tubuh dari zina mata dan zina kemaluan.
- Tujuan dan Sasaran Pernikahan
Tujuan pernikahan berkaitan erat dengan nilai-nilai dan keyakinan masyarakat. inilah perkara yang membedakan antara tujuan pernikahan di tengah masyarakat islam dan masyarakat non islam. Sebab, tujuan pernikahan di dalam islam adalah sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan memakmurkan bumi. Tujuan ini bersifat konstan dan tidak berubah meskipun situasi-situasi yang terjadi di masyarakat mengalami perubahan. Sementara itu, di tengah masyarakat non islam, pernikahan tidak memiliki tujuan utama. Pernikahan hanya memiliki tujuan-tujuan duniawi yang selalu mengalami perubahan berdasarkan keadaan suatu masyarakat dari waktu ke waktu, berdasarkan undang-undang yang ditetapkan oleh masyarakat untuk mengatur pernikahan, juga berdasarkan individu-individu dan masyarakat, norma, serta tradisi yang berlaku pada waktu dan tempat tersebut.
Keterkaitan antara tujuan-tujuan pernikahan dalam islam dan tujuan agama menjadikan pernikahan sebagai tujuan insani yang bersifat stabil, selaras dengan undang-undang positif pernikahan yang menjunjung tinggi pernikahan dan menjadikannya sebagai pernikahan insani. Sebaliknya, ia tidak selaras dengan undang-undang positif yang meruntuhkan pernikahan dan menjadikannya sebagai pernikahan hewani.
- Tujuan Utama Pernikahan
Dalam perspektif islam, pernikahan memiliki tujuan utama merealisasikan penyatuan insani antara laki-laki dan perempuan dalam meneruskan (peran) khalifah, keturunan anak cucu Adam di bumi, mencetak generasi-generasi yang merealisasikan risalah untuk tetap eksis beribadah kepada Allah dan memakmurkan bumi. Ghayah, tujuan utama ini menjadikan pernikahan sebagai cara, bukan tujuan, mengikatkannya dengan keyakinan masyarakat, menjadikannya sebagai tatanan agama, nukan sebagai persoalan pribadi yang tunduk pada kemauan setiap individu. Juga bukan persoalan sipil yang diatur dengan undang-undang sipil.
- Hadaf atau Tujuan Pernikahan
Kendatipun hadaf atau tujuan pernikahan bersifat religi, pernikahan tidak akan terwujud tanpa melalui tujuan-tujuan duniawi yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, jiwa, dan sosial suami-istri sesuai manhaj yang ditetapkan Allah untuk mewujudkan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat, keberlangsungan, kekokohan, dan kekuatan masyarakat.
Tujuan pernikahan dalam islam terbagi menjadi dua :
- Tujuan yang bersifat universal
Tujuan-tujuan universal pernikahan terbagi menjadi tujuan-tujuan individu yang memenuhi kebutuhan laki-laki dan perempuan dan tujuan-tujuan sosial yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Tujuan-tujuan ini secara ringkas mencakup hal-hal berikut :
Pertama, kenikmatan seksual.
Pernikahan memenuhi kebutuhan seksual bagi laki-laki dan perempuan. Allah Ta’ala berfirman :
نِسَآ ؤُكُمْ حَرْثٌ لَّكُمْ فَأْتُواْ حَرْثَكُمْ أنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُواْ لِأَنفُسِكُمْ…223
Artinya: “Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai.” (Qs. Al-Baqarah : 223)
Pernikahan syar’i adalah satu-satunya cara untuk memenuhi kebutuhan ini, cara untuk mendapatkan kepuasan jasmani dan juga rohani. Suami boleh bersenang-senang dengan istrinya, dan juga sebaliknya. Pemenuhan kebutuhan seksual melalui pernikahan memberikan kenikmatan dan kebahagiaan bagi suami dan istri. Sementara pemenuhan kebutuhan seksual melalui jalur di luar nikah justru akan menimbulkan kesengsaraan, penyakit, dan penyimpangan.
Kedua, kenikmatan psikologis
Pernikahan memnuhi kebutuhan psikologis dan jasmani. Salah satu yang paling penting adalah kebutuhan perasaan sebagai seorang ibu dan ayah akan terpenuhi dengan memiliki keturunan secara syar’i dan mendidik anak-anak. Dengan demikian, kebutuhan akan perasaan sebagai seorang ibu bagi wanita dan perasaan sebagai seorang ayah bagi laki-laki termasuk salah satu kebutuhan fitrah yang tidak kalah pentingnya dari kebutuhan seksual. Allah Ta’ala berfirman :
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَوةِالدُّنْيَا…46
Artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia.” (Qs. Al-Kahfi : 46)
Serangkaian penelitian menunjukkan bahwa keinginan suami dan istri untuk memiliki keturunan merupakan keinginan bersifat alami bagi laki-laki dan perempuan. Hal ini juga menunjukkan kematangan kepribadian mereka berdua dan keduanya tumbuh berkembang di dalam rumah yang baik dan tenang. Dan juga menunjukkan keinginan mereka berdua untuk tetap meneruskan ikatan pernikahan dan membina keluarga.
Sementara itu, pasangan suami-istri yang tidak ingin memiliki anak padahal mampu, itu menunjukkan bahwa keduanya menyimpang dari sisi kesehatan jiwa. Dalam semua penelitian yang dilakukan di Amerika terhadap suami dan istri yang menolak memiliki anak, menunjukkan bahwa wanita yang menolak memiliki anak adalah wanita yang tidak normal, tumbuh berkembang di tengah keluarga tanpa adanya kasih sayang, dididik untuk mandiri, egois, dan individualis, sehingga si wanita menolak memiliki anak ataupun membina rumah tangga.
Dari hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa lelaki yang menolak memiliki anak adalah lelaki egois, tidak matang secara emosional, memiliki kecenderungan marah terhadap kehidupan, lemah iman, dan tidak memiliki kemampuan untuk memberi, karena memiliki keturunan merupakan tujuan utama pernikahan di sebagian besar masyarakat.
Siapapun yang menolak memiliki keturunan padahal ia mampu, berarti ia orang yang tidak normal karena menolak fitrah manusia. Dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa memiliki anak itu menyenangkan bagi ibu dan ayah, semakin memperkuat ikatan kekeluargaan di antara mereka, memperkuat hubungan pernikahan, merealisasikan rasa aman dan tenteram bagi mereka.
Ketiga, rasa aman dan tenteram
Rasa aman dan tenteram akan terwujud di tengah interaksi antar suami dan istri yang dibangun atas pondasi cinta, kasih sayang, dan kerjasama antara suami dan istri dalam membina kehidupan, dan berbagi nasib dalam mencapai kesempurnaan insani. Allah Ta’ala berfirman :
هُوَالَّذِى خَلَقَكُم مِّن نَّفْسِ وَحِدَةٍوَجَعَلَ مِنْهَازَوْجَهَالِيَسْكُنَ إِلَيْهَا…189
Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.” (Qs. Al-A’raf : 189)
Keempat, memberi makna-makna baru bagi kehidupan
Pernikahan dapat mengingatkan nilai kehidupan bagi laki-laki dan perempuan. Pernikahan juga mendorong keduanya untuk bekerja keras, meningkatkan obsesi untuk bekerja dan berprestasi. Menyatukan tujuan-tujuan mereka berdua dalam keluarga. Menjadikan peran mereka berdua saling melengkapi dan memperkuat.
Selain itu, ada pula spirit disana, dimana suami bekerja keras demi istri dan anak-anak. Dan di sisi lain, istri juga bekerja keras demi suami dan anak-anak. Sehingga keberhasilan masing-masing dari keduanya menjadi keberhasilan bersama, dan kegagalan masing-masing dari keduanya juga menjadi kegagalan bersama.
Kelima, membentuk keluarga
Tujuan lain dari pernikahan adalah untuk membentuk keluarga, tempat suami dan istri menghabiskan sebagian besar kehidupan, menjalankan aktivitas dan memenuhi segala kebutuhan. Keluarga merupakan batu pertama bagi masyarakat yang menentukan baik dan buruknya masyarakat itu sendiri. Dan kebaikan keluarga bergantung pada kebahagiaan suami dan istri. Karena keluarga merupakan satuan sosial yang penting bagi kebaikan individu dan keselamatan masyarakat.
Keenam, keberlangsungan keturunan
Sang Pencipta mengaitkan keberlangsungan golongan manusia di muka bumi dengan pernikahan. Keberlangsungan golongan manusia merupakan salah satu tujuan Sang Pencipta, seperti yang Ia firmankan tentang diri-Nya :
الَّذِى أَحْسَنَ كُلَّ شَىْءٍخَلَقَهُ, وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنسَنِ مِن طِينٍ 7
ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ, مِن سُلَلَةٍ مِّن مَّآءٍمَّهِينٍ 8
Artinya: “Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani).” (Qs. As-Sajdah : 7-8)
Keturunan yang patut memakmurkan, menempati, dan menjadi khalifah di bumi adalah keturunan yang berasal dari pernikahan (syar’i), bukan dari perzinaan. Sebab, keturunan yang lurus adalah keturunan lahir melalui pernikahan. Yaitu keturunan yang bertumpu pada pendidikan, generasi yang mampu mengemban risalah kehidupan, generasi yang mampu membina dan mengembangkan masyarakat, dan memakmurkan bumi. Sementara keturunan yang lahir melalui perzinaan adalah perubahan wujud yang mengotori wajah kehidupan, dan menebarkan kebencian di dalamnya.
Ketujuh, menjaga akhlak
Tujuan lain dari pernikahan adalah menjaga masyarakat dari kerusakan dan melindungi pada pemuda dari penyimpangan. Sebab, pernikahan itu melindungi (masyarakat) dari tindakan keji, menjaga akhlak dan nasab. Allah Ta’ala berfirman :
وَأُحِلَّ لَكُم مَّاوَرَآءَذَلِكُمْ أَن تَبْتَخُوا ْبِأَمْوَلِكُم مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ… 24
Artinya: “Dan dihalalkan bagimu selain (perempuan-perempuan) yang demikian itu jika kamu berusaha dengan hartamu untuk menikahinya bukan untuk berzina.” (Qs. An-Nisa’ : 24)
Maksudnya, kalian mengusahakan pernikahan yang Allah halalkan, bukan perzinaan yang Allah haramkan. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam memerintahkan para pemuda untuk menikah, bagi yang mampu.
- Tujuan Pernikahan dari Sisi Agama
Islam menganggap pernikahan sebagai salah satu tujuan utama. Selain itu, Islam mengaitkan pernikahan dengan pahala dunia dan akhirat. Dan Islam mendorong kaum muslimin agar menikah demi memelihara kesehatan rohani, jasmani, dan keselamatan masyarakat.
Dengan demikian, pernikahan syar’i adalah salah satu amalan ta’abbudi, peribadahan yang mendatangkan pahala bagi suami dan istri. Dengan menikah, agama mereka berdua menjadi sempurna. Tanpa menikah padahal mampu maka ibadah mereka berdua tetap kurang. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
إِذَا تَزَوَجَ العَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفَ دِيْنِهِ فَلْيَتَّقِ اللَّهُ فِي النِصْفِ الآخَرِ
Artinya: “Apabila seorang hamba menikah, ia telah menggenapkan separuh agamanya. Maka, hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya.” (HR. Al-Baihaqi)
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Dalam kemaluan seseorang di antara kalian ada sedekah.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah! Apakah seseorang di antara kami ketika melampiaskan syahwatnya, ia mendapatkan pahala?” Beliau menjawab, “Katakan kepadaku jika ia melampiaskannya secara haram, apakah ia mendapat dosa?” Mereka menjawab, “Ya.” Beliau meneruskan, “Demikian halnya jika ia melampiaskannya secara halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim dan An-Nasa’i)
Selain itu, Allah menjanjikan pahala besar di akhirat bagi suami-istri jika keduanya memiliki keturunan anak saleh yang mendoakan keduanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal ; sedekah yang pahalanya terus mengalir, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Pahala (yang terus mengalir) ini mendorong seorang hamba untuk menikah, memiliki keturunan, membentuk keluarga, dan berjerih-payah untuk mendidik anak saleh.
- Urgensi Pernikahan
Pernikahan syar’i adalah sarana bagi orang baligh dan berakal untuk membina keluarga tempat ia menjalani kehidupan dan bekerja untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam keluarga pula ia akan menemukan seseorang yang menjaga dan memerhatikannya. Seseorang yang memberikan makna bagi kehidupannya. Seseorang yang memberikan nilai kemanusiaan bagi segala amal perbuatannya di dalam kehidupan. Seseorang memberikan posisi sosial bagi eksistensinya di dunia. Semua itu tidak bisa diraih oleh mereka yang tidak menikah. Dengan kata lain, pernikahan yang sukses adalah wujud dari kesenangan dunia yang terbaik.
Islam dan ilmu psikologi juga memperingatkan dampak negatif dari membujang padahal mampu menikah. Sebab, dengan pernikahan, jiwa akan menjadi baik, masyarakat menjadi kuat, dunia menjadi makmur, dan kehidupan terus berlanjut. Sebaliknya, tanpa pernikahan, jiwa akan menjadi lemah, masyarakat mengalami kerusakan, dunia sepi, dan kehidupan terhenti. Untuk itu, Allah menyebut akad nikah sebagai mitsaqan ghalidha, perjanjian yang kuat. Allah Ta’ala berfirman :
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ, وَقَدْ أَفْضَ بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضِ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَقًاغَلِيظًا 21
Artinya; “Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami-istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.” (Qs. An-Nisa’ : 21)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menganggap orang yang tidak menikah padahal mampu sebagai orang yang menyimpang dari sunnah islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda :
مَنْ كَانَ مُوْسِرًالِأَنْ يَنْكِحَ وَلَمْ يَنْكِح فَلَيْسَ مِنِّي.
Artinya: “Siapa yang mampu menikah namun tidak menikah, ia bukan golonganku.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)
Beliau juga Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda :
النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّى. وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّى مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ.
Artinya: “Nikah itu sunnahku. Siapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka ia bukan golonganku. Menikahlah, karena aku membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan seluruh umat pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam juga mengisyaratkan pentingnya menikah dalam meningkatkan kesehatan jiwa dan menganggapnya sebagai pilar kedua atau ketiga setelah iman dan kesehatan jasmani untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan jiwa.
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Salam bersabda, “(Ada) empat hal. Siapa diberi (keempat hal tersebut), ia telah diberi kebaikan dunia dan akhirat; hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir, jasmani yang bersabar menghadapi ujian, dan istri yang tidak mencari dosa terkait dirinya dan hartanya (suami).” (HR. Ath-Thabrani)
Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam juga bersabda, “Tidaklah seorang mukmin mendapatkan manfaat yang lebih baik setelah bertakwa kepada Allah Ta’ala melebihi istri salehah. Jika (suami) memerintahnya, ia taat padanya. Jika (suami) memandangnya, ia membuatnya senang. Jika (suami) bersumpah padanya, ia memenuhi sumpahnya. Jika (suami) pergi meninggalkannya, ia menjaga diri dan hartanya.” (HR. Ibmu Majah)
Sejumlah teori dalam ilmu psikologi menyepakati bahwa kebahagiaan suami-istri merupakan hal terbaik di dunia. Ia juga merupakan pondasi keluarga yang baik yang akan menyempurnakan sisi kemanusiaan seorang laki-laki dan perempuan dalam menjalankan misi dalam kehidupan.
Bersambung …
Referensi
Abdurrahman, Ahmad. M. (2018). Aku terima nikahnya: bekal pengantin menuju keluarga sakinah, mawaddah & rahmah. Jakarta Timur: Istanbul.
Diringkas dari buku : Aku Terima Nikahnya: bekal pengantin menuju keluarga sakinah,
Mawaddah & Rahmah
Penulis : Ahmad Muhammad Abdurrahim
Diringkas oleh : Dwi Hidayatun (Pengajar Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur)
Baca juga artikel:
Leave a Reply