SURAT TERBUKA UNTUK PARA SUAMI (BAGIAN 4)

surat terbuka untuk para suami-bagian 4

Surat Terbuka Untuk Para Suami – bismillah, alhamdulillah washshalatu washshalamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. berikut merupakan pembahasan lanjutan dari artikel sebelumnya yang bisa disimak disini: Surat Terbuka Untuk Para Suami (Bagian 3).


Kewajiban Memberi Nafkah

memberi nafkah kepada istri adalah tanggung jawab utamamu sebagai seorang suami. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ

Artinya: “Laki-laki (suami) Itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena meraka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 34)

Rasulullah pernah ditanya oleh Mu’awiyah bin Haidhah: “Wahai Rasulullah, apa sajakah hak istri atas kami?” Beliau menjawab: “Engkau memberinya makan bila engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, tidak memukul wajah, dan Tidak menjelek-jelekkan, serta Tidak memisahkannya atau mengacuhkannya selain di dalam rumah.”[1]

Oleh karena Itu, jadilah seorang suami yang memiliki hati yang lunak dan sifat pemurah. Penuhilah keinginan istri dan anak-anakmu selama masih dalam batas kewajaran. Sesungguhnya memberi nafkah kepada keluarga memiliki keutamaan yang besar. Dan apabila engkau melakukannya ikhlas semata-mata mengharap keridhaan Allah, maka tersedia pahala yang tak terkira. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Satu dinar yang engkau infaqkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau infaqkan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau infaqkan untuk fakir miskin, dan satu dinar yang engkau infaqkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu infaqkan untuk keluargamu.”[2]

Dalam hadits yang lain beliau bersabda:

“Sesungguhnya, tidaklah engkau memberi nafkah dengan mengharapkan pahala dari Allah subhanahu wata’ala, melainkan engkau mendapatkan pahalanya, hingga makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”[3]

Jauhi sifat kikir dan pemborosan

Jauhkanlah dirimu dari sifat kikir. Karena, sifat seperti Itu dibenci manusia dan hinda di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Terlebih Lagi kikir dalam urusan nafkah kepada keluarga. Itu perbuatan dosa. Lalu, bagaimana pendapatmu jika suami dengan sengaja mengabaikan pemberian nafkah kepada keluarganya, dan menganggapnya sebagai sesuatu yang Tidak perlu? Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam :

(( كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ. ))

“Cukuplah seseorang berdosa bila ia enggan mengeluarkan hartanya untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya.”[4]

Kekikiranmu akan membuat istri tertekan dan teraniaya. Dan Bisa mendorongnya melakukan hal yan gtidak engkau inginkan; seperti mengambil hartamu secara diam-diam. Atau tindakan-tindakan lain yang dapat mengundang kemarahan dan mengganggu kehidupan rumah tangga kalian.

Sebaliknya, jauhi pula sifat boros dan melampaui batas, sebab sifat demikian bisa mendatangkan kemudharatan. Ketahuilah, boros itu adalah sifat yang dibenci Allah subhanahu wata’ala dan disukai syaitan.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوٓا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِ ۖ وَكَانَ ٱلشَّيْطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورًا,وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا

“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros Itu adalah saudara syaitan dan syaitan itu sangat ingkar kepada Rabbnya.” (QS. Al-Isra’ [117]: 26-27).

Kewajiban Mendidik Istri

Suami adalah Pimpinan. Ia bertanggung jawab menyelamatkan diri dan keluarganya dari kesengsaraan hidup di dunia maupun di akhirat.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ

Artinya: “Wahai orang-orang yang Beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang Bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. at-Tahrîm [66]: 6)

Terkait tafsir di atas, Ali bin Abi Thalib berkata: “Yaitu ajarkanlah nilai-nilai kebaikan kepada diri dan keluargamu.”[5]

Penjagaan ini tidak mungkin dilakukan kecuali dengan pengajaran dan nasihat. Karena Itu, Islam memerintahkan kepada suami untuk memberikan pengajaran dan nasihat kepada istri. Sehingga dengan pengajaran dan nasihat tersebut diharapkan rumah tangga mereka akan terhindar dari gelapnya kebodohan.

Dan sebaliknya, kedua Hal tersebut diharapkan rumah tangga mereka menjadi terang benderang oleh rumah tangga mereka menjadi terang benderang oleh cahaya ilmu dan akhlak yang Mulia sesuai ajaran yang disyariatkan Allah.

Ingatlah, keluargamu yang paling dekat denganmu adalah istrimu. Dalam hal ini, Rasulullah adalah teladan utamamu.

Saat berada di rumah, beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian; pertama untuk Allah, kedua untuk keluarga, dan ketiga untuk umat.

Waktu bersama keluarga beliau manfaatkan dengan cara memberikan hiburan, perlakuan baik, pemenuhan kebutuhan, memberi perhatian, serta membina dan memberikan pengajaran kepada istri-istri beliau dengan pelajaran yang mereka butuhkan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sangat memperhatikan Pendidikan istri-istrinya. Beliau juga mengajari mereka membaca dan menulis agar mudah menerima ilmu dan memahaminya. Karena itulah beliau melarang siapa pun yang menghalangikaum wanita untuk datang ke masjid apabila mereka menghendakinya, dengan syarat mereka dapat menjaga etika dan adab Islam.

Demikian juga pengajaran beliau kepada kaum wanita tentang shalat, bersuci, zakat, haji, akhlak, doa, dzikir dan lain sebagainya.

Beliau juga sering memerintahkan para sahabat agar memberikan pengajaran dan nasihat kepada istri mereka, dengan ungkapan:

(( أَلَا لِيُبَلِّغ الشَّا هِدُ مِنْكُمْ الْغَائِبَ. ))

Artinya: “Hendaklah yang hadir di antara Kalian menyampaikan (ini) kepada mereka yang tidak hadir.”[6]

Yaitu menyampaikan Ilmu pengetahuan yang mereka dapat dari Rasulullah.

Para sahabat adalah orang yang paling antusias melaksanakan pesan Nabi tersebut. Mereka sangat memperhatikan pengajaran istri-istrinya.

Mereka juga mengajarkan apa yang telah didapatkannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik berupa ayat-ayat Al-Qur’an atau hadits-hadits Nabi.

1.    Jadilah teladan yang terbaik

Jadilah suami sekaligus teladan bagi istri dalam kebaikan. Jadilah orang pertama yang melakukan apa yang engkau nasihatkan kepadanya, sehingga pengajaranmu benar-benar meresap di hatinya. Bahkan, contoh nyata pengaruhnya lebih besar daripada nasihat dengan kata-kata.

Di antara perangai yang dibenci manusia adalah pandai mengajari orang lain tetapi melupakan diri sendiri. Dan ini pula sifat yang dibenci Allah subhanahu wata’ala. Dia berfirman:

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ, كَبُرَ مَقْتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُوا۟ مَا لَا تَفْعَلُونَ

Artinya: “Wahai orang-orang yang Beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah Jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. Ash-Shâf]: 2-3)

Sampaikanlah nasihat dan pengajaran dengan kata-kata yang lemah lembut. Tunjukkan bahwa engkau mencintainya dan menghendaki kebaikan baginya. Dan iringilah nasihat itu dengan bukti dan contoh yang nyata.

2.    Bekerja sama dalam ketaatan

Bentuk kerjasama yang dimaksud adalah menghidupkan amar ma’ruf nahi mungkar. Apabila suami mendapati penyimpangan pada diri istrinya, ia segera meluruskan dan memperingatkannya.

Demikian pula ketika istri mendapati penyimpangan pada diri suaminya. Jadilah seorang kesatria yang Senang menerima nasihat, lapang dada menerima kritikan, dan bersegera memperbaiki kesalahan. Buanglah jauh-jauh sifat egois dan jadilah teladan terbaik bagi istri dan keluargamu.

Para suami yang shalih, jadikanlah istrimu sebagai mitra setia untuk saling tolong menolong dan nasihat-menasihati dalam menegakkan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala. Sabutlah seruan Rabbmu:

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْبِرِّ وَٱلتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلْإِثْمِ وَٱلْعُدْوَٰنِ

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Mâ-idah [5]: 2)

Ajaklah istrimu melaksanakan ketaatan maupun ibadah bersama-sama. Baik ibadah khusus seperti shalat, dzikir, puasa, membaca al-Qur’an dan semisalnya. Ataupun ibadah yang bersifat umum seperti mendidik, berdakwah, membantu orang lain, dan semisalnya. Sesungguhnya Itu mendatangkan pahala yang besar dan memberikan dampak positif dalam kehidupan, dunia maupun akhirat.

Alangkah indah saat-saat seperti itu, wahai saudaraku. Sepasang suami istri bangun di malam hari untuk mengerjakan shalat, saling memperdengarkan bacaan al-Qur’an, menyantap sahur dan berbuka bersama. Bagaimana mungkin sepasang suami istri yang seperti ini keadaannya bertikai karena masalah sepele, sedangkan perhatian mereka terfokus kepada perkara yang lebih utama.

3.    Istri shalihah mencintai Ilmu

Ingatlah bahwa salah satu tanda istri yang shalihah adalah penuh perhatian dan Cinta kepada Ilmu. Jika sifat tersebut belum ada pada istrimu maka dorong lah ia ke arah itu. Jika sudah ada, berilah kelonggaran baginya untuk menuntutnya. Memang, pada ilmu terdapat kenikmatan dan kebodohan bersemayam segudang penderitaan.

Untuk memenuhi anjuran ini usahakanlah agar di rumahmu ada perpustakaan, meskipun sederhana.  Miliki sarana pengetahuan yang bervariasi, seperti buku, radio, tape recorder, ataupun CD-CD yang bermanfaat.

ingatlah, semakin bertambah ketaqwaan dan keshalihan istrimu maka engkaulah orang pertama yang akan menikmatinya.

Sunggu mengherankan Jika ada suami yang merasa takut apabila istrinya lebih berilmu daripada dirinya. Ada juga suami yang giat berdakwah dan menyebarkan ilmu di tengah masyarakat, sementara ia biarkan istrinya hidup dalam kebodohan. Ia merana dan merugi karena tidak berkembang pengetahuannya.

Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kita seperti itu? Sekali-kali tidak, bahkan beliau sosok suami yang memberikan perhatian penuh kepada keluarganya. Beliau membagi waktunya, sebagian untuk Rabbnya, sebagian untuk keluarganya, dan sebagian lagi untuk umatnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( فَاِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا وَلِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا. ))

Artinya: “Sesungguhnya istrimu punya hak atasmu, tamumu punya hak atasmu, dan jasadmu juga punya hak atasmu.”[7]

Ambillah petunjuk Nabi ini, karena beliaulah sebaik-baik teladan bagimu. Hati-hatilah terhadap tipu daya syaitan, berikanlah kepada setiap orang haknya masing-masing. Dengan demikian jadilah engkau sebaik-baik suami.

4.    Hukuman yang diperbolehkan

Para suami yang shalih, ingatlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:

“Perlakukanlah Kaum wanita dengan sebaik-baiknya. Karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Sedangkan tulang rusuk yang paling Bengkok adalah yang paling atas. Apabila engkau luruskan ia patah, sedangkan apabila engkau biarkan, ia tetap bengkok. Oleh karena Itu, perlakukanlah kaum wanita dengan baik.”[8]

Hadits ini sekali-kali bukan bermaksud merendahkan derajat kaum wanita. Ini hanyalah gambaran konkret dan realistis dari watak seorang wanita.

Maka, hendaknya engkau lebih mengedepankan kelemahlembutan dalam membina dan mendidik istrimu. Apalagi jika ia memiliki latar belakang masa Lalu yang jauh dari didikan agama.

Tuntunlah ia secara bertahap untuk meningkatkan pemahaman agamanya, berusahalah memprosesnya menjadi lebih baik dengan penuh kesabaran dan Dengan cara yang bijak.

Apabila segara cara telah dilakukan, dari yang lembut hingga yang sedikit kasar, namun perangai negatif tetap saja tidak berubah, silakan engkau mengambil tindakan sanksi. Dengan Catatan engkau harus memperhatikan batasan-batasan syariat sehingga sanksi yang dijatuhkan itu masih dalam kerangka kasih sayang.

Bentuk sanksi adalah pemisahan tempat tidur dan pukulan yang tidak menyakitkan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَٱلَّـٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya, sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.” (QS. An-Nisâ’ [4]: 34)

Maksud memisahkan tempat tidur adalah meninggalkan jima’.

Agar sanksi ini dapat berpengaruh secara efektif dalam pemecahan persoalan, janganlah istri dipisahkan secara total Dengan memindahkan Kamar tidur atau suami meninggalkan kamarnya. Tetaplah tidur berdua dalam satu tempat tidur, hanya tidak berdekatan dan tekad yang Kuat untuk meredam keinginan menikmati hubungan intim. Dengan cara seperti ini, istri diharapkan bisa melakukan instropeksi diri hingga akhirnya meluruskan sikapnya yang keliru.

Suami yang tidak dibenarkan memutuskan komunikasi dengan cara tutup mulut, sebab itu adalah perilaku anak kecil dan dikhawatirkan akan menambah panasnya api pertengkaran. Adapun pukulan yang dimaksud adalah pukulan yang tidak sampai menyakitkan. Yaitu pukulan yang tidak keras dan tidak sampai menyakitkan. Yaitu pukulan yang tidak keras dan tidak sampai menyebabkan luka. Karena pukulan tersebut lebih dimaksudkan untuk menyakiti (menyentuh) jiwanya, bukan fisiknya. Bukan pula sebagai pelampiasan kejengkelan secara kejam.

Saat memukul, hindarilah wajah, karena memukul wajah berarti merendahkan martabat dan menjatuhkan harga diri. Hindarilah memukul bagian sensitif, lemah, dan mudah sakit. Jangan pula memukul dengan alat yang menghinakan seperti sandal atau menyepak dengan kaki, sebab itu adalah perilaku yang tidak pantas.

Singkatnya, tujuan memukul istri adalah untuk memperbaikinya, bukan membalas dendam atau bertindak semena-mena, dengan syarat-syarat berikut:

  1. Pemukulan dilakukan sebagai upaya yang terakhir, ketika upaya-upaya lainnya tidak membawa hasil.
  2. Tujuannya adalah memperbaiki, bukan membalas dendam dan menegaskan keperkasaan.
  3. Pemukulan harus dilakukan diam-diam agar tidak diketahui orang lain untuk menjaga perasaannya.
  4. Tidak menyebabkan cedera, tidak melukai kulit, tidak menyebabkan tulang patah dan tidak menyebabkan luka pada daging.
  5. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan.
  6. Menghindari memukul wajah.
  7. Pemukulan cukup dilakukan dengan menekan dada atau menepuk punggung, atau semisalnya. Bukan dengan cara meluapkannya seperti seekor singa buas, memukul apa saja yang bisa diraih tangan dan kakinya. Karena pemukulan ini sendiri pada dasarnya disyariatkan untuk mendidik, bukan menyiksa.

Perlu diingat, pemukulan bukanlah satu-satunya alternatif yang harus dilakukan oleh suami. Karena kehalusan, kesabaran, dan kelembutan merupakan cara seorang muslim untuk memperbaiki dan meluruskan perilaku.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( إِنَّ الله رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ, وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَالَايُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ. ))

Artinya: “Sesungguhnya Allah Mahalembut yang menyukai dan meridhai kelembutan. Dan Dia memberikan pertolongan kepada orang yang lemah-lembut yang tidak diberikannya kepada orang yang bersikap kasar.”[9]

Demikianlah etika Islam yang harus dipegang teguh oleh seorang Muslim dalam menghadapi berbagai persoalan. Ia memiliki kesabaran dan kepalangan dada dalam menyikapi, hingga bagaimana cara memberikan sanksi bila hal itu harus dilakukan.

Sungguh, penerapan bimbingan Islam ini akan menyumbat luka sebelum terlanjur menganga, menutup aurat sebelum terlanjur tersingkap, dan akhirnya menjaga bangunan rumah tangga dari keruntuhan dan kehancuran.

Adapun suami yang tidak mau mengikuti bimbingan ini, dikhawatirkan akan menjadi orang yang mudah marah hanya karena sebab yang sepele. Mudah memberikan sanksi, mendiamkan atau bahkan memisahkan tanpa sebab yang jelas, juga perilaku buruk lainnya. Seolah-olah ia merobohkan bangunan rumah tangga itu dengan tangannya sendiri, na’udzubillahi miin dzalik.

Ketahuilah, bahwa sebaik-baik suami adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau tidak pernah sekalipun memukl istri dan tidka pernah pula membalas perlakuan buruk yang berhubungan dengan pribadinya, selama menjalani hidup berumah tangga bersama istri-istrinya.

Aisya radhiallahu ‘anha menuturkan: “Rasulullah tidak pernah sekalipun memukul dengan tangan kanannya, baik istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Beliau tidak pernah membalas perlakuan buruk terhadap dirinya kecuali apabila hal itu berkaitan dengan hal-hal yang diharamkan oleh Allah; maka ia membalasnya karena Allah.”[10]

Beliaulah teladan kita, hadirkanlah selalu sosoknya dan ikuti jejaknya untuk membangun rumah tangga bahagia.

 

Insya Allah bersambung ke bagian berikutnya …

 

REFERENSI:

diringkas dari buku: Surat Terbuka untuk Para Suami

Penulis: Abu Ihsan al-Atsari & Ummu Ihsan Choiriyah

Peringkas: Abu Muhammad Fauzan (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur

[1] Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud (no. 1859).

[2] Hadits riwayat Muslim (no. 2358)

[3] Muttafaq ‘alaih.

[4] Hadits riwayat Muslim (no. 2359).

[5] Atsar ini diriwayatkan al-Hakim dalam al-Mustadrak (II/494), ia menshahihkannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi.

[6] Hadits riwayat Ahmad.

[7] Hadits riwayat Muslim (no. 2787) dari Abullah bin Amru

[8] Muttafaq ‘alaih.

[9] Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabir. Silakan lihat as-Silsilah ash-Shahihah (II/364, no. 1770) dan Shahih at-Targhib wa at-Targhib (III/16 no. 2668).

[10] Hadits riwayat Muslim.

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.