HADITS YANG DISALAH PAHAMI-Pembahasan Hadits Pertama: tentang Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhori, Muslim, empat penulis kitab-kitab Sunan, para penulis koitab Musnad, dan kitab-kitab sunnah lainya,
عَنْ أَمِيْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ أَبِيْ حَفْصٍ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya : Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khattab radhiallahuanhu, dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallahu`alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatantergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan. (HR. Bukhari)
Hadits yang agung ini adalah salah satu dari tiga hadist yang menjadi dasar agama, bahkan hadist ini adalah pokok dari ketiga hadits tersebut.
- Hadits Pertama:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Artinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)
- Hadits Kedua:
عَنِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: (( إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ، وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ، لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيهِ، أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى، أَلاَ وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ )). رواه البخاري ومسلم، وهذا لفظ مسلم.
Artinya: “Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir Radhiyallahu anhuma berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya. Barangsiapa yang menghindari perkara syubhat (samar-samar), maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang jatuh ke dalam perkara yang samar-samar, maka ia telah jatuh ke dalam perkara yang haram. Seperti penggembala yang berada di dekat pagar larangan (milik orang) dan dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, bahwa setiap raja memiliki larangan (undangundang). Ingatlah bahwa larangan Allah adalah apa yang diharamkan-Nya. Ketahuilah, bahwa di dalam jasad manusia terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasadnya; dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah, bahwa segumpal daging itu adalah hati.” [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim, dan ini adalah lafazh Muslim]. MARAJI’UL HADITS (REFERENSI HADITS)
- Hadits ketiga
Yaitu hadits dari hasan bin Ali, Dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
(دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ)
Artinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukan kepadamu, terhadap apa yang tidak meragukan kepadamu” (Hasan HR. At-Tirmidzi dalam sunannya (2518)). Hadits ini shahih, memiliki kedudukan dan bahkan sangat jelas.
Meski demikian, hadits yang agung ini telah dipahami secara keliru, dan diletakan bukan pada tempatnya dengan berbagai bentuk. Jika hal itu menunjukan pada sesuatu, maka itu hanya menunjukan pada kebodohan dan kerusakan yang parah. Bagaimana bisa demikina?
Berikut kami sebutkan sebagian contoh memahami hadits ini dengan pemahaman yang keliru.
- Banyak di antara Muslim yang tidak mengetahui Islam kecuali hanya namanya saja, dan tidka mengetahui Al-Qur’an kecuali hanya sekadar tulisanya. Jika engkau mengajak atau menyuruh mereka kepada kebaikan, atau melarang mereka dari kemunkaran, maka ia akan mengatakan “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” Padahal mereka sama sekali tidak mengamalkan niat, dan tidak mengetahui keikhlasan niat. Kendati demikian, ia mengatakan “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” Atau ia berkata “Sesungguhnya yang terjadi tolak ukurnya adalah hati, dan aku berhati putih, sedangkan Rabbmu adalah Rabb yang memiliki seluruh hati!”
- Ada orang yang tidak sholat dan menganggap bahwa hatinya putih. Amal itu tergantung pada niatnya, lalu di manakah almalnya sehingga kita bisa memeriksa niatnya?
- Ada orang yang shalat tapi tidak melakukanya dengan baik, karena ia malu bertanya, atau enggan menutut ilmu, lalu ia melaksanakan shalat sekehendaknya saja dan mengatakan bahwa setiap amal tergantung niatnya.
Bagaimana mungkin kita menurunkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wassalam dari derajat yang tinggi turun untuk bergelimang dalam lumpur. Apa yang mereka katakan ini benar-benar terbalik, sama sekali tidak benar dan tidak dimasukan oleh Rasul, tetapi beliau bersabda:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Atrtinya: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” (HR. Bukkhari)
Innama adalah adat hasr wa Qashr (kata yang berfungsi untuk membatasi). Inna dari kata innama adalah huruf taukid (untuk menegaskan) dan nashab (mem-fathah-kan kata benda setelahnya), dan huruf ma mencega inna melakukan fungsinya (mem-fathah-kan kata benda setelahnya). Al-a’mal bi an-niyyat dua kata, mubtaba’ dan khabar. Jadi, perbuatan (al-a’mal) itu dikaitkan dengan niat, dan niat menyertai perbuatan. Perbuatan itu harus benar dan harus ikhlas.
Karena itu, kelanjutan hadits tersebut adalah, “Dan setiap orang hanyalah mendapatlan apa yang diniatkanya.” Ini sebagai penguat dari penafsir dari kalimat sebelumnya. Adapaun contoh, orang yang ikhlas adalah “Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasulnya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya”. Sedangkan orang yang tidak ikhlas, “Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikejarnya atau wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya karena apa yang diniatkanya itu.”
Orang yang pertama adalah orang yang benar dengan mengikhlaskan niatnya, maka amalnya diterima, karena keikhlasan adlah landasan perbuatanya. Sedangkan orang yang kedua, meskipun ia telah melakukan perbuatan yang benar tapi niatnya tidak ikhlas, maka perbuatanya ditolak. Lantas bagaimana halnya dengan orang yang tidak mengerjakan perbuatan apapun, kemudian ia berdalil dengan hadits ini, atau orang yang beramal tapi tidak ikhlas naiatnya, atau oramng yang ikhlas niatnya tapi tidak benar perbuatanya, maka hadits ini justru menjadi hujjah (bantahan) atas mereka, bukan sebaliknya yakni menjadi hujjah bagi mereka.
Hadits itu memfokuskan pada dua perkara, perbuatan itu harus benar, dan niat itu harus ikhlas. Dalil mengenai hal tersebut berasal dari Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Tentang keikhlasan niat Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۗ
Artinya: “Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Sedangkan yang berkaitan dengan perbuatan yang benar, Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِى أُصَلِّى
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 6008)
Demikianlah pula sabda beliau Shalallahu alaihi wasallam:
خُذُوا عَنِّى مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّى لاَ أَدْرِى لَعَلِّى أَنْ لاَ أَحُجَّ بَعْدَ حَجَّتِى هَذِهِ
Artinya: “ Ambillah dariku manasik-manasik kalian, karena sesungguhnya aku tidak mengetahui, mungkin saja aku tidak berhaji setelah hajiku ini”. (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil diatas, sejauh mana keabsahan shalat seorang yang niatnya agar terlihat orang banyak dan mereka mengatakan bahwa ia adalah orang yang rajin shalat atau orang yang bertaqwa? Dan sejauh mana keabsahan shalat seorang yang tidak mengetahui jumlah rekaat shalat, atau ia keliru dalam membaca al-fatihah?
Tidak sah shalatnya, meskipun niatnya ikhlas. Demikain pula tidak diterima shalat orang yang perama meski benar shalatanya. Itu terjadi karena niatnya rusak. Dan diqiyaskanlah seluruh ibadah dengan perkara itu. Dan masih banyak lagi contoh yang menunjukan bahwa memang harus berniat ikhlas dan melakukan perbuatan secara benar, sebagaimana firman Allah,
اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللّٰهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَۗ اَلَا لِلّٰهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ ۗوَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِه اَوْلِيَاۤءَۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ەۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ
Artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang murni (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), “Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” Sungguh, Allah akan memberi putusan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar.” (QS. Azzumar: 2-3)
“Ya Allah, bersihkanlah niat kami, dan perbaikilah amal kami, dengan karunia, nikmat dan anugerah-Mu, wahai Rabb semesta alam.”
Referensi : Dr. Sa’id bin Musfir al-Qahthani.2008.Hadits Shahih yang Disalahpahami
Dirangkum oleh : Hendri Yansa (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal-Hadits)
Baca juga artikel:
Leave a Reply