Masih membahas seputar pernikahan, materi ini tentu tidak hanya ditujukan kepada para lelaki yang sudah menikah saja, tetapi akan menjadi pelajaran yang sangat penting bermanfaat juga bagi para lelaki yang belum menikah, agar mereka bisa lebih terarah dalam mengaruhi bahtera rumah tangga ketika sudah sampai saatnya menikah itu terjadi padanya, insyaAllah. berikut merupakan lanjutan dari artikel sebelumnya yang bisa dibaca disini Andai Aku Tidak Menikah Dengannya (Bagian 1).
Malam Penguburan Cinta
Kapankah terjadinya malam itu? Apakah benar hal itu terjadi di muka bumi yang dibina dengan rahmat oleh Sang Pencipta? Apa tidak ada tindakan kriminal yang lebih bejat daripada mengubur cinta di suatu malam yang seharusnya bertabur cinta dan kasih sayang? Siapakah gerangan pelakunya, yang pantas untuk hukum dengan diharamkan menerima cinta dan kasih sayang selama hayat dikandung badan?
Akhi, tindakan kriminal ini terjadi pada orang-orang yang telah menjalin hubungan cinta sebelum menikah. Mereka yang berpacaran dan telah melakukan perbuatan-perbuatan nista sebelum akad nikah diucapkan. Orang-orang Barat memiliki falsafat: “Malam pernikahan adalah malam penguburan cinta.”
Ini sangat berbeda dengan pandangan Islam. Orang-orang kafir berpandangan demikian karena telah menghancurkan benteng suci sebelum malam pernikahan. Berbagai rayuan dan godaan syaitan telah ditebar, tapi pujian dan sanjungan telah dikobarkan sehingga yang tersisa pada malam itu hanyalah abu dan api dalam sekam, itulah hakikat pergaulan bebas.
Sehingga pernikahan buat mereka hanya sekedar melegalkan hubungan yang selama ini sudah dijalin selama bertahun-tahun bahkan ada yang berpacaran selama 6 tahun atau lebih. Telah berduaan dengan pacarnya bertahun-tahun, makan bersama, bertamasya bersama, bahkan tidur bersama. Ketika itu, maka malam pernikahan bukanlah sesuatau yang spesial bagi mereka karena semuanya sudah pernah dicoba bahkan semuanya sudah selesai. Malam itu adalah mimpi buruk yang ingin segera mereka usir dari kehidupan mereka.
“Malam Pernikahan Adalah Malam Penyemian Cinta”
Malam itu benih cinta mulai ditanam dan disiram. Hari-harinya penuh dengan siraman air kasih sayang yang membuat benih itu tumbuh dan berkembang. rayuan dan godaan serta kata-kata cinta mulai ditebarkan, karena sebelumnya kata-kata itu tabu buat mereka berdua.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
” لم يرللمتحابين مثل النكاح”
“Tidak pernah didapati bunga-bunga cinta antara dua orang yang memadu cinta sebagaimana pada dua orang yang telah menikah.”[1]
Bila kau mencari cinta yang sejati, kasih sayang yang suci, kemesraan yang Hakiki, asmara yang tiada henti, pacaran yang diridhoi, adanya hanya dalam ikatan janji dengan kalimat ilahi Robbi, di depan sang Wali tanpa harus sembunyi-sembunyi, rasakan setelahnya gejolak hati, yang dipenuhi dengan keridhaan kepada Robbi, dan api asmara yang tak tertandingi, tanyakanlah kepada yang memiliki bukti.
Bulan madu
Istilah bulan madu yang dalam bahasa Inggrisnya “honeymoon” kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dengan “Syahrul Asal” adalah Sebuah frase yang baru-baru saja menjadi marak di kalangan kaum muslimin, melalui berbagai media seperti film dan sinetron yang digandrungi oleh sebagian besar masyarakat. istilah itu tidak terdeteksi dalam kamus kamus Islam dan kitab-kitab ulama terdahulu yang membahas masalah pernikahan, bahkan mungkin kakek nenek kita juga belum mengenal istilah ini pada masa bujangan mereka. istilah ini telah menyesatkan banyak orang, menjadikan ikatan pernikahan hanya ikatan nafsu dan cinta khayalan dalam fase 1 bulan saja.
Lalu dimulailah fase pengikisan cinta, gesekan-gesekan perasaan, buyarnya angan-angan bersama dengan tenggelamnya Purnama. Kedua mempelai mulai berpikir mencari ikatan baru yang lebih segar, lebih hangat, karena 1 bulan itu telah berlalu dan setelah mencari dan mencari, istilah bulan madu benar adanya berasal dari peradaban asing yang jauh dari bimbingan wahyu sang pencipta. istilah ini pun mengandung penyesatan lain, jamu Wahyu kan bahwa di tanah ada bulan madu dan sebaliknya ada pula bulan empedu. Seakan kebahagiaan pernikahan hanya 1 bulan, tidak sepanjang hidup.
Istilah itu juga mengisyaratkan bahwa ikatan dua sejoli itu tidak lain hanya ikatan jasmani dan setelah dua belah pihak merasakan kepuasan, mereka Berdua akan cooling down. Seakan itu adalah waktu perkawinan seperti perkawinannya hewan-hewan yang terjadi dalam satu bulan dalam setahun, kemudian setelah itu mereka saling berpisah untuk melanjutkan kehidupannya masing-masing.
Tidak dipungkiri bahwa Islam memiliki pandangan istimewa untuk pengantin baru, sebagaimana sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Anas radhiallahu ‘anhu berkata:
“Menurut sunnah, apabila seseorang kawin lagi dengan seorang gadis hendaknya ia berdiam dengannya tujuh hari, kemudian membagi giliran; dan apabila ia kawin lagi dengan seorang janda hendaknya ia berdiam dengannya tiga hari, kemudian membagi giliran.”[2]
Namun ini, adalah untuk mereka yang berpoligami, karena dia harus berbuat adil, adapun bagi yang jimat (siji dirumat/satu dijaga) alias hanya memiliki satu istri maka semoga panjang hidupnya adalah bulan madu, walau kadang kala ada musing-musim tertentu lebah menghasilkan madu minimal, tetapi tetap madu dan bukan empedu.
Bahteraku Hampir Pecah
Sebagian bahtera yang telah dibina bersama, ditata dan disusun agar menjadi indah, ternyata bahtera itu keropos dan lapuk, hanya tinggal menanti hari datangnya badai yang menerpa atau karang yang memecahkan dan menenggelamkannya atau ombak besar yang mengkaramkannya. Bermula dengan permasalahan yang silih berganti, kegundahan yang tiada henti, keharmonisan yang telah mati, cinta yang hilang dari hati, kasih sayang yang telah berganti, derita yang pedih dan nyeri, kadang seorang istri berpikir untuk pergi, untuk meloncar dari bahteramu dan berenang ketepi, sehingga sebagian istri berkata walau dalam hati.
Andai Aku Tidak Menikah Dengannya
Dan itu mungkin saja terjadi, tetapi perlu diingat, bahwa berandai-andai untuk masa yang telah terjadi tidaklah dibenarkan, karena itu membuka pintu syaitan. Tetapi katakanlah untuk yang telah terjadi, “Qoddarullahi wa maa Sya’aFa’al”.
Tetapi meski badai menghadang, bila sang Nahkoda memiliki kepiawaian mengemudi kapal -dengan izin Allah- ia akan dapatkan pikiran yang dingin untuk melampaui dengan izin Sang Pencipta.
Aku Ingin Berbisik
Kepada semua pria yang mengaku sebagai pria sejati, kepada para peminang bidadari, kepada semua yang berjiwa besar kalangan lelaki, hanya untuk kaum lelaki, aku hanya ingin bicara dari hati ke hati, tanpa harus diketahui para istri, ini pembicaraan yang rahasia sekali, bacalah dengan seksama dan teliti, renungkan walau ia mengiris seperti belati, tapi ini harus dibincangkan, demi kebahagiaan yang hakiki, bukan hanya nafsu yang semu atau kesombongan diri. Namun ini hakiki, agar tidak ada lagi yang menjadi korban kejahatan lelaki yang tak berakhlak dan berbudi, tidak memiliki simpati apalagi sedikit berempati.
Suami Adalah Nahkoda
Atas ketentuan ilahi kau secara resmi diangkat menjadi nahkoda yang harus bertanggung jawab dalam memegang kendali dan mengemudi.
ٱلرِّجَالُ قَوَّٲمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعضَهُم عَلَىٰ بَعضٍ۬ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِن أَموَٲلِهِمۡۚ
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”[3]
Ayat di atas sering dibacakan oleh suami-suami yang bernotabene mengaji -kalau suami yang tidak mengaji, biasanya akan marah-marah dan mengumpat- demi untuk menundukkan istri yang kadangkala kurang berbakti, atau menentang perintah suami, atau tidak mau memperbaiki diri.
Ayat di atas adalah benar-benar kalam Ilahi yang harus diyakini dan diresapi di dalam hati, namun terkadang para suami kurang bijak membacakannya, sehingga ada yang menyulut api emosi di dalam rumah, dan membuatnya makin berkobar.
Dalam ayat di atas ada dua kriteria yang dengannya seorang lelaki diangkat menjadi pemimpin, yang pertama: oleh karena itu Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan. Yang kedua: karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.
Bila salah satu diantaranya tidak terpenuhi, kadang kala menimbulkan kepincangan dalam rumah tangga, misalnya dalam kasus sang istri yang memberikan nafkah kepada suami dan mencukupi keperluan rumah tangga, maka biasanya si istri merasa lebih tinggi daripada suami. Maka hal ini biasa menjadi acuan untuk beberapa problematika yang timbul dai dalam rumah tangga.
Dan yang perlu di camkan dari benak lelaki, bahwa sebagai qawwam (pemimpin) ada tiga kriteria yang harus dipenuhi, agar kepemimpinannya diakui oleh rakyat dan masyarakat:
- Perhatian dan dukungan
- Perlindungan
- Perbaikan dan pengarahan
(Aysarut Tafasir, Abu Bakar AlJazairi)
Maka tidaklah disebut pemimpin yang baik yang hanya meminta agar rakyat melaksanakan kewajiban-kewajibannya, sedangkan mereka tidak mendapatkan hak-haknya seperti perhatian, perlindungan dan perbaikan dari pemimpinnya. Begitu pula suami, dia harus memberikan apa yang seharusnya diperoleh istrinya, sehingga istri akan dengan senang hati dan penuh keikhlasan melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada sang pemimpin yang dirindu hati.
Janji Teguh Nan Sakral
Perkawinan atau pernikahan bukan hanya sekedar ikatan di atas buku hijau dengan stempel KUA.
Ia bukan hanya ucapan ijab dan qobul antara wali dan mempelai pria plus mahar dan dua saksi. Namun pernikahan adalah mahkota kehormatan yang terjalin di atas perjanjian yang sangat kuat, Allah menyebutnya dengan kalimat “Miitsaaqan Ghalidhan”.
Penamaan seperti ini telah Allah sebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak tiga kali untuk tiga perjanjian yang berbeda, namun semuanya adalah perjanjian-perjanjian yang agung dan luhur.
Yang pertama: perjanjian Allah dengan para utusannya agar mereka menyeru umat manusia kepada tauhid. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِذ أَخَذنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّـنَ مِيثَـٰقَهُم وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ۬ وَإِبرَٲهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبنِ مَريَمَۖ وَأَخَذنَا مِنهُم مِّيثَـٰقًا غَلِيظً۬ا (٧)
“Dan [ingatlah] ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan dari kamu [sendiri], dari Nuh, Ibrahim, Musa dan ’Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.” (QS Al-Ahzab: 7)
Yang kedua: perjanjian Allah dengan Bani Israil agar mereka patuh kepada Allah dan menjalankan hukum-hukum taurat. Allah berfirman:
وَرَفَعنَا فَوقَهُمُ ٱلطُّورَ بِمِيثَـٰقِهِم وَقُلنَا لَهُمُ ٱدخُلُواْ ٱلبَابَ سُجَّدً۬ا وَقُلنَا لَهُم لَا تَعدُواْ فِى ٱلسَّبتِ وَأَخَذنَا مِنُهم مِّيثَـٰقًا غَلِيظًا (١٥٤)
Dan telah Kami angkat ke atas [kepala] mereka bukit Thursina untuk [menerima] perjanjian [yang telah Kami ambil dari] mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud” [5], dan Kami perintahkan [pula], kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenai hari Sabtu” [6] dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh. (QS Annisa: 154)
Yang Ketiga: perjanjian yang diambil oleh para perempuan dari suami-suami mereka. Allah jalla jalaluhu berfirman:
وَأَخَذنَ مِنكم مِّيثَـٰقًا غَلِيظًا
“Dan mereka [isteri-isterimu] telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS Annisa: 21)
Akhi, coba renungkanlah betapa agungnya pernikahan. Bagaimana mungkin tidak disebut berpindahnya kepemilikan itu sebagai perjanjian yang teguh dan kuat ketika urusannya adalah berpindahnya surga seseorang kepada orang lain yang tidak pernah punya andil dalam merawat dan membesarkannya.
Bersambung ke bagian selanjutnya, insyaaAllah.
Diringkas dari buku: Andai Aku Tidak Menikah Dengannya
Penulis: Ustadz Dr. Syafiq bin Riza Basalamah
Diringkas Oleh: Fauzan Alexander (Staf Ponpes Darul-Quran Wal-Hadits OKU Timur)
[1] HR. Ibnu Majah no:1847, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohih Ibnu Majah no: 1497
[2] HR. Bukhari No.5213 dan Muslim No.1461
[3] QS. An-Nisa 34.
Baca juga:
- Andai Aku Tidak Menikah Dengannya (Bagian 3)
- Perintah Pertama dalam Islam
- kumpulan berbagai ceramah singkat dan kajian Islam
Leave a Reply