Oleh : Brilly El-Rasheed
Ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, selain dituntut untuk optimal, juga dituntut untuk secepat mungkin. Bukan dalam artian cepat selesai, namun cepat di sini berarti ketika ada seruan untuk ibadah atau ada kesempatan untuk ibadah, maka seketika itu seorang hamba diperintahkan untuk segera melaksanakannya, atau memanfaatkan kesempatan yang ada.
Karena tidak satupun makhluk yang dapat mengetahui apa yang akan terjadi. Bisa jadi kesempatan yang pernah tersedia, tidak akan kembali. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengingatkan untuk memanfaatkan kesempatan yang tersedia sebaik mungkin,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ وَشَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ
“Manfaatkan lima hal sebelum kedatangan lima hal; masa mudamu sebelum masa rentamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa faqirmu, waktu luangmu sebelum waktu sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” [Shahih Al-Jami’ no. 1077]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menghasung para pengikut beliau untuk bergegas beramal shalih sebelum datangnya fitnah qiyamah yang bisa menjadikan seorang muslim murtad, sadar atau tidak. Beliau berkata,
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنْ الدُّنْيَا
“Segeralah kamu berbuat kebaikan sebelum terjadinya berbagai fitnah, bagaikan malam yang gelap. Yang pada saat itu seseorang yang beriman pada pagi hari akan dapat menjadi kafir pada sore harinya. Dan orang yang beriman pada sore hari dapat menjadi kafir pada pagi harinya. Selain itu, ia juga menjual agamanya dengan harta benda dunia.” [Mukhtashar Shahih Muslim no. 2047]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam mengajak umat beliau untuk banyak melantunkan dzikir tahlil. Selain sebagai latihan ketika kelak maut menjemput, yang mana ketika itu tidak semua manusia bisa mengucapkan tahlil dengan mudah, padahal tahlil adalah sarana husnul khatimah dan kunci surga. Beliau berkata,
أَكْثِرُوْا مِنْ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَبْلَ أَنْ يُحَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهَا
“Perbanyaklah mengucapkan syahadah (persaksian) La Ilaha Illallah (tiada tuhan yang benar kecuali Allah) sebelum diri kalian dihalangi darinya.” [Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1529]
Tatkala melaksanakan shalat, di samping dituntut untuk segera menunaikan shalat ketika datang waktunya, juga dituntut khusyu’, dengan cara ingat mati, kalau-kalau shalat yang hendak dikerjakannya itu adalah shalat yang terakhir. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam berkata,
صَلِّ صَلاَةَ مُوَدِّعٍ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ كُنْتَ لاَ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ وَأَيِسْ مِمَّا فِيْ أَيْدِي النَّاسَ تَعِشُ غَنِيًا وَإِيَّاكَ وَمَا يُعْتَذَرُ مِنْهُ
“Shalatlah (seperti) shalatnya orang yang hendak mati. (Rasakanlah) seakan engkau melihat Allah, jika engkau tidak bisa (merasa) melihat-Nya, sesungguhnya Allah melihatmu. Putus asalah terhadap apa yang ada di tangan manusia, engkau akan hidup kaya. Hati-hatilah terhadap apa yang berpeluang engkau nantinya meminta maaf darinya.” [Al-Mu’jam Al-Ausath Ath-Thabrani. Ash-Shahihah no. 1914]
اُذْكُرِ الْمَوْتَ فِيْ صَلاَتِكَ فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا ذَكَرَ الْمَوْتَ فِيْ صَلاَتِهِ لَحَرِيٌّ أَنْ يُحْسِنَ صَلاَتَهُ وَصَلِّ صَلاَةَ رَجُلٍ لاَ يَظُنُّ أَنَّهُ يُصَلِّيَ صَلاَةً غَيْرَهَا وَإِيَّاكَ وَكُلَّ أَمْرٍ يُعْتَذَرُ مِنْهُ
“Ingatlah kematian dalam shalatmu, karena kalau seseorang mengingat kematian dalam shalatnya, dia akan berusaha untuk mengoptimalkan shalatnya. Dan shalatlah seperti shalatnya orang yang tidak yakin dia bisa shalat lagi (karena meninggal). Dan jauhilah segala yang menjadikanmu nantinya meminta maaf darinya.” [Musnad Al-Firdaus Ad-Dailami. Ash-Shahihah no. 1421]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menganjurkan kita untuk bergegas melaksanakan shalat ketika telah tiba waktunya. Jangan sampai menunda shalat kemudian baru melaksanakannya ketika waktunya hampir habis. Beliau berkata,
تِلْكَ صَلَاةُ الْمُنَافِقِ يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَتْ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لَا يَذْكُرُ اللَّهَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلًا
“Itulah shalat orang munafiq, Itulah shalat orang munafiq, Itulah shalat orang munafiq. Ia duduk-duduk mengamati matahari. Kalau sudah hampir terbenam, ia shalat empat raka’at dengan terburu-buru dan tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” [Mukhtashar Shahih Muslim no. 216]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam berkata tentang awal dan akhir waktu kelima shalat maktubah,
إِنَّ لِلصَّلَاةِ أَوَّلًا وَآخِرًا وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلَاةِ الظُّهْرِ حِينَ تَزُولُ الشَّمْسُ وَآخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلَاةِ الْعَصْرِ حِينَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِينَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِينَ يَغِيبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ يَنْتَصِفُ اللَّيْلُ وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِينَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu mempunyai waktu awal dan waktu akhir. Sesungguhnya awal waktu shalat Zhuhur adalah ketika matahari tergelincir, sedangkan akhir waktunya ketika masuk waktu ‘Ashar. Sesungguhnya awal waktu shalat ‘Ashar adalah ketika waktunya masuk, sedangkan akhir waktunya adalah ketika matahari menguning. Sesungguhnya awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam, sedangkan akhir waktunya adalah ketika mega merah hilang. Awal waktu-waktu Isya adalah ketika mega merah hilang, sedangkan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu Subuh adalah ketika terbit Fajar, sedangkan akhir waktunya adalah ketika matahari terbit.” [Shahih: Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 151. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 1696]
Kendati Allah telah menyediakan (menetapkan) ada awal dan ada akhir waktu masing-masing shalat maktubah, Allah senang sekali jika hamba-Nya mau melaksanakan shalat di awal waktunya.
عَنْ عَمَّتِهِ أُمِّ فَرْوَةَ قَالَتْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِأَوَّلِ وَقْتِهَا
Ummu Farwah radhiallahu anha melaporkan, pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam, “Amal manakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab, “Shalat pada awal waktunya.” [Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 170]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam sendiri telah memberikan teladan bagaimana pelaksanaan shalat yang sempurna, yang diinginkan Allah Ta’ala.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةً لِوَقْتِهَا الْآخِرِ مَرَّتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ
‘Aisyah radhiallahu anha melaporkan, “Rasulullah tidak pernah mengerjakan shalat pada akhir waktunya, (kecuali) dua kali, hingga Allah mencabut nyawa beliau.” [Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 174]
Setelah meriwayatkan hadits ini, At-Tirmidzi rahimahullah mengutip pernyataan Asy-Syafi’i rahimahullah melalui Abu Walid Al-Makki,
وَالْوَقْتُ اْلأَوَّلُ مِنَ الصَّلاَةِ أَفْضَلٌ. وَمِمَّا يَدُلُّ عَلَى فَضْلِ أَوَّلِ الْوَقْتِ عَلَى آخِرَهُ: اِخْتِيَارُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرٍ، فَلَمْ يَكُوْنُوْا يَخْتَارُوْنَ إِلاَّ مَا هُوَ أَفْضَلُ وَلَمْ يَكُوْنُوْا يَدَعُوْنَ الْفَضْلَ، وَكَانُوْا يُصَلُّوْنَ فِيْ أَوَّلِ الْوَقْتِ
“Waktu awal shalat adalah waktu yang paling utama. Di antara bukti keutamaan awal waktu shalat atas akhir waktu shalat adalah Nabi memilihnya, begitu juga Abu Bakar dan ‘Umar. Mereka tidak memilih kecuali sesuatu yang lebih utama dan mereka tidak akan meninggalkan keutamaan. Mereka senantiasa shalat di awal waktunya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam menyeru kita untuk bergegas melaksanakan haji ketika semua syarat telah terpenuhi. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam melarang menunda-nunda pelaksanaan haji. Beliau berkata,
مَنْ أَرَادَ الْحَجَّ فَلْيَتَعَجَّلْ فَإِنَّهُ قَدْ يَمْرَضُ الْمَرِيضُ وَتَضِلُّ الضَّالَّةُ وَتَعْرِضُ الْحَاجَةُ
“Barangsiapa yang ingin menunaikan haji, maka segeralah (melaksanakannya) karena kadang seseorang sakit, binatang yang dikendarainya hilang, dan (atau) ada hajat yang tidak bisa ditinggalkan.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2331; Sunan Ibnu Majah 2/962 no. 2883]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam juga berkata memperjelas soal haji apa yang harus disegerakan,
تَعَجَّلُوْا إِلَى الْحَجِّ يَعْنِيْ الْفَرِيْضَةُ
“Bergegaslah untuk menunaikan haji, yakni yang wajib…” [Hasan lighairihi: Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1111]
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam meriwayatkan firman Allah Ta’ala,
إِنَّ عَبْدًا صَحَحْتُ لَهُ جِسْمَهُ وَوَسَّعْتُ عَلَيْهِ فِيْ الْمَعِيْشَةِ تَمْضِيْ عَلَيْهِ خَمْسَةُ أَعْوَامٍ لاَ يَفِدُ إِلَيَّ لَمَحْرُوْمٌ
“Sesungguhnya (jika) ada hamba yang telah Aku berikan kesehatan pada jasadnya, Aku lapangkan kehidupannya, lalu lima tahun berlalu padanya, tapi ia tidak juga bertamu kepada-Ku (berhaji ke Baitullah) maka ia benar-benar menjadi orang yang terhalang (dari kebaikan).” [Shahih lighairih: Shahih Ibnu Hibban. Shahih Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1166]
Rahasia mengapa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memerintahkan untuk secepatnya mengerjakan haji jika sudah siap semua persyaratannya adalah karena Ka’bah kelak suatu hari akan dihancurkan oleh sekelompok orang bodoh lagi jahat. Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menyebutkan,
اِسْتَمْتِعُوْا بِهَذَا الْبَيْتِ فَقَدْ هُدِمَ مَرَّتَيْنِ وَيُرْفَعُ فِيْ الثَّالِثَةِ
“Nikmatilah Baitullah ini. Sesungguhnya ia telah dihancurkan dua kali dan ia diangkat pada kali yang ketiga.” [Shahih: Musnad Al-Bazzar; Mu’jam Al-Kabir Ath-Thabrani; Shahih Ibnu Khuzaiman; Shahih Ibnu Hibban. Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 1110]
Dalam Al-Qur`an, Allah juga telah menyeru hamba-hamba-Nya untuk segera dan senantiasa bertaubat, meminta ampunan Allah, dan bergegas beramal untuk menuju surga. Allah Ta’ala berfirman,
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Bersegeralah kalian kepada ampunan Rabb kalian dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Qur`an surah Ali ‘Imran ayat no. 133]
Begitu pula dalam hal shadaqah, baik yang wajib, yaitu zakat fithri dan zakat mal, maupun yang nafilah (sunnah, tidak wajib), kita diperintahkan untuk bersegera menunaikannya, karena harta yang ada pada kita bisa saja diambil oleh Allah, yang akhirnya tidak ada lagi kesempatan bershadaqah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ فَقَالَ أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى وَلَا تُمْهِلَ حَتَّى إِذَا بَلَغَتْ الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلَانٍ كَذَا وَلِفُلَانٍ كَذَا أَلَا وَقَدْ كَانَ لِفُلَانٍ
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Seorang lelaki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam , dan bertanya, “Wahai Rasulullah shadaqah apa yang paling baik?” Beliau menjawab, “Kamu bershadaqah ketika kamu sehat lagi kikir (berambisi), kamu khawatir menjadi miskin dan ingin kaya. Janganlah kamu menunda-nunda shadaqah hingga ajalmu telah sampai di tenggorokan, saat itu kamu akan berkata, “Berikanlah kepada si fulan begini dan kepada si fulan begitu.” Padahal memang sudah pasti hartanya ketika itu diwarisi si fulan.” [Shahih Al-Bukhari no. 2689; Shahih Muslim no. 2336]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam memberikan sedikit rahasia, mengapa harus segera menunaikan hak harta yaitu shadaqah, yaitu karena akan ada saatnya harta melimpah ruah dan semua manusia kaya raya, sehingga tak satupun orang membutuhkan harta orang lain. Beliau berkata,
وَلَئِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ لَتَرَيَنَّ الرَّجُلَ يُخْرِجُ مِلْءَ كَفِّهِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ يَطْلُبُ مَنْ يَقْبَلُهُ مِنْهُ فَلَا يَجِدُ أَحَدًا يَقْبَلُهُ مِنْهُ
“Seandainya kamu berumur panjang, kamu pasti akan melihat seseorang keluar dengan membawa emas atau perak sepenuh telapak tangannya mencari orang yang mau menerima (shadaqah) nya namun dia tidak mendapatkan seorangpun yang mau menerimanya.” [Shahih Al-Bukhari 2/402]
Beliau juga berkata, “(Segera) bershadaqahlah kalian, karena sesungguhnya akan datang kepada kalian suatu zaman di mana seorang laki-laki berjalan dengan membawa shadaqah, namun dia tidak menjumpai seorangpun yang mau menerimanya. Lalu ada seseorang berkata, “Andai engkau membawa shadaqah itu kemarin, saya akan menerimanya. Kalau hari ini, saya sudah tidak membutuhkannya lagi.”.” [Shahih Al-Bukhari 1/357; Shahih Muslim 3/84]
Beliau berkata pula,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ…حَتَّى يُهِمَّ رَبَّ الْمَالِ مَنْ يَقْبَلُ صَدَقَتَهُ وَحَتَّى يَعْرِضَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ الَّذِي يَعْرِضُهُ عَلَيْهِ لَا أَرَبَ لِي بِهِ
“Tidaklah qiyamah terjadi, hingga pemilik harta berharap ada yang mau menerima shadaqahnya, dan hingga ia menunjukkannya kepada yang lain, orang yang ditunjukkan menolak, “Aku tidak butuh lagi.”.” [Shahih Al-Bukhari]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan untuk segera menghadiri pelaksanaan shalat jum’at sekaligus khuthbahya ketika adzan jum’at telah berkumandang,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang beriman, apabila kalian diseru untuk menunaikan shalat jum’at, maka bergegaslah kalian menuju dzikrullah (mengingat Allah yaitu khuthbah jum’at), dan tinggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.” [Al-Qur`an surah Al-Jumu’ah no. 9]
Begitu pula dalam hal puasa. Orang yang berpuasa dianjurkan untuk mempercepat berbuka jika memang telah masuk waktu berbuka. Tidak boleh menunda berbuka walaupun merasa masih kuat. ‘Amr bin Maimun Al-Audi radhiallahu anhu meriwayatkan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْجَلَ النَّاسِ إِفْطًارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُوْرًا
“Para shahabat Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam adalah orang yang paling cepat berbukanya dan paling lambat sahurnya.” [Sunan Al-Baihaqi 4/238. Ibnu Hajar menshahihkan sanadnya]
Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Cepat-cepat berbuka puasa (dianjurkan) bila telah terbenam matahari, bukan karena adzan. Namun di waktu sekarang (banyak) manusia menyesuaikan adzan dengan jam-jam mereka. Maka bila matahari telah terbenam boleh bagi kalian berbuka walaupun muadzdzin belum mengumandangkan adzan.” [Asy-Syarh Al-Mumti’]
Buka puasa dilakukan dalam keadaan ia mengetahui dengan yakin bahwa matahari telah terbenam. Hal ini bisa dilakukan dengan melihat di lautan dan semisalnya. Kalau sekedar menduga dengan adanya gelap malam dan semisalnya, maka bukan dalil atas terbenamnya matahari.
Mempercepat buka puasa adalah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam. Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu meriwayatkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
لاَ تَزَالُ أُمَّتِيْ عَلَى سُنَّتِيْ مَا لَمْ تَنْتَظِرْ بِفِطْرِهَا النُّجُوْمَ
“Senantiasa umatku berada di atas Sunnahku selama mereka tidak menunggu (munculnya) bintang ketika hendak berbuka.” [Al-Mustadrak Al-Hakim 1/599; Shahih Ibnu Hibban 8/3510 dengan sanad yang shahih]
Mempercepat berbuka puasa akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya. Seperti yang diriwayatkan Sahl bin Sa’ad bahwa Rasulullah bersabda,
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الفِّطْرَ
“Senantiasa manusia berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.” [Shahih Al-Bukhari 2/1856; Shahih Muslim, 2/1098]
Mempercepat berbuka puasa, di samping itu, adalah dalam rangka menyelisihi Yahudi dan Nashrani. Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Senantiasa agama ini nampak jelas (menang/jaya) selama manusia mempercepat buka puasa karena Yahudi dan Nashara mengakhirkannya.” [Sunan Abu Dawud 2/2353; Sunan Ibnu Majah 1/1698; Sunan Al-Kubra An-Nasai 2/253; Shahih Ibnu Hibban 8/3503. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]
Selain itu, mempercepat buka puasa termasuk akhlak kenabian. Sebagaimana dikatakan ‘Aisyah radhiallahu anha,
ثَلاَثٌ مِنْ أَخْلاَقِ النُّبُوَّةِ: تَعْجِيْلُ اْلإِفْطَارِ وَالتَّأْخِيْرُ السُّحُوْرِ وَوَضْعُ الْيَمِيْنِ عَلَى الشِّمَالِ فِي الصَّلاَةِ
“Tiga hal dari akhlak kenabian; mempercepat berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” [Sunan Ad-Daruquthni 1/284; Sunan Al-Baihaqi, 2/29]
Maka dari itu, kesempatan sekecil apapun, mari kita upayakan memanfaatkannya untuk ibadah kepada Allah. Sudah saatnya kita tidak lagi menunda-nunda rencana (niatan) yang baik atau menunda-nunda kebaikan yang bisa kita kerjakan. Tapi satu hal yang harus dipegang teguh, bahwa kita dituntut untuk optimal dalam mempersembahkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sumber : Majalah Lentera Qolbu Tahun ke-2 Edisi ke-6
Leave a Reply