Seorang laki-laki di bolehkan memakai cincin yang terbuat dari perak, bahkan di perkuat dengan dalil-dalil yang shahih dari Nabi, dan juga pengamalan para sahabat.
Diantara dalilnya adalah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memakai cincin perak. Dan Nabi memakai cincin perak tersebut tujuannya adalah untuk Stempel, dalam pembuatan surat untuk Kerajaan Romawi dan selainnya.
Dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu berkata:
لَمَّا أَرَادَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الرُّومِ قِيلَ لَهُ: إِنَّهُمْ لَنْ يَقْرَءُوا كِتَابَكَ إِذَا لَمْ يَكُنْ مَخْتُومًا , فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ , وَنَقَشَهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ
Artinya:
“Tatkala Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam hendak menulis surat kepada Romawi, maka dikatakan kepada beliau; Sesungguhnya mereka (Kaum Romawi) tidak akan membaca tulisanmu jika tidak di stempel, Maka Nabipun memakai cincin dari perak yang terpahat Muhammad Rasulullah” (HR Bukhari (5875))
Pada awal mulanya, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah memakai cincin emas, yang beliau jadikan sebagai stempel, akan tetapi setelah itu beliau melarangnya, beliau tidak memakainya dan menggantinya dengan cincin perak.
Ibnu Umar Radhiyallahu Anhuma berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ , وَجَعَلَ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ فَاتَّخَذَ النَّاسُ فَرَمَى بِهِ , وَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ أَوْ فِضَّةٍ
Artinya:
“Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam memakai cincin dari emas, beliau menjadikan mata cincinnya bagian dalam kearah telapak tangan, maka orang-orangpun (dari para sahabat) ikut memakai cincin dari emas, Lalu nabi membuang cincin tersebut dan memakai cincin dari perak.” (HR Bukhari (5865))
Begitu pula diantara sahabat Nabi ada juga yang memakai cincin perak, Hanya saja Nabi melarang keras terhadap seorang laki-laki yang memakai cincin emas.
Sehingga memakai cincin emas bagi laki-laki hukumnya haram.
Sebagaimana dalam Hadits Dari Abdullah bin Amr bin Ash:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، ” أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى فِي يَدِ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِهِ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَذَهَبَ فَأَلْقَاهُ، ثُمَّ جَاءَ وَقَدِ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ فَسَكَتَ عَنْهُ “
Artinya:
Dari Amr bin Syu’aib, Dari Bapaknya, Dari Kakeknya (Abdullah bin Amr bin Ash): Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pernah melihat di tangan seorang laki-laki sebuah cincin emas, maka Nabipun berpaling, lalu lai-laki tersebut membuang cincinnya itu, kemudian di lain waktu laki-laki itu memakai cincin perak, lalu nabi mendiamkannya. (itu sebagai isyarat bahwa membolehkannya)” (Hasan, HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (8/345))
Bahkan tidak hanya cincin emas yang di haramkan bagi laki-laki, sampai-sampai perhiasan emas (bagi laki-laki) juga diharamkan, seperti kalung emas, gelang emas, dan anting-anting emas.
Sebagaimana dalam hadits Ali bin Abi Thalib: “Bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengambil kain sutra, lalu meletakkannya ditangan kanan beliau, dan mengambil emas lalu diletakkannya di tangan kiri beliau, lalu beliau berkata:
” إِنَّ هَذَيْنِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي “
Artinya:
“Kedua perkara (benda) ini haram bagi kaum laki-laki dari umatku.” (HR Abu Dawud (4057), Shahih)
Dan Seluruh Ulama’ Madzhab sepakat tentang kebolehannya menggunakan cincin perak untuk laki-laki. Hanya saja mereka berselisih pendapat dalam masalah pemakaiannya:
- Menurut Madzhab Hanafiyyah
ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلرَّجُل التَّخَتُّمُ بِالْفِضَّةِ، لِمَا رُوِيَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ، وَكَانَ فِي يَدِهِ، ثُمَّ كَانَ فِي يَدِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ثُمَّ كَانَ فِي يَدِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، ثُمَّ كَانَ فِي يَدِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، حَتَّى وَقَعَ فِي بِئْرِ أَرِيسٍ. نَقْشُهُ: مُحَمَّدٌ رَسُول اللَّهِ. وَقَالُوا: إِنَّ التَّخَتُّمَ سُنَّةٌ لِمَنْ يَحْتَاجُ إِلَيْهِ، كَالسُّلْطَانِ وَالْقَاضِي وَمَنْ فِي مَعْنَاهُمَا، وَتَرْكُهُ لِغَيْرِ السُّلْطَانِ وَالْقَاضِي وَذِي حَاجَةٍ إِلَيْهِ أَفْضَل.
Terjemahannya:
Menurut Madzhab Hanafiyyah, boleh seorang laki-laki memakai cincin dengan bahan perak, sebagaimana diriwayatkan (secara shahih): Bahwasanya Nabi memakai cincin dari perak, cincin tersebut berada di tangan Nabi, lalu setelah itu berpindah ke tangan Abu Bakar, kemudian berpindah ke tangan Umar, setelah itu berpindah ke tangan Utsman, hingga akhirnya cincin tersebut jatuh di sumur Ariis, cincin tersebut terpahatkan Muhammad Rasulullah.” (HR Bukhari (5873)). Mereka (Ulama’ Hanafiyyah) berkata: Sesungguhnya Cincin perak bagi laki-laki di sunnahkan bagi yang sangat membutuhkan, seperti dikalangan pemimpin (Sulthon), Qodhi (hakim), dan lebih utama untuk tidak memakainya bagi orang-orang yang bukan sultan, qodhi, dan bukan orang yang sangat butuhkannya. (Raddul Mahtar Alad-Duril Mukhtar (5/229))
Hal tersebut dikarenakan cincin perak yang ada di tangan Rasulullah, Abu Bakar, Umar dan Utsman senantiasa dipakai sebagai stempel, yang berukir Muhammad Rasulullah, dan sangat dibutuhkan dalam kekuasaan (sultan).
- Menurut Madzhab Malikiyyah
وَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لاَ بَأْسَ بِالْخَاتَمِ مِنَ الْفِضَّةِ، فَيَجُوزُ اتِّخَاذُهُ، بَل يُنْدَبُ بِشَرْطِ قَصْدِ
الاِقْتِدَاءِ بِرَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلاَ يَجُوزُ لُبْسُهُ عُجْبًا.
Terjemahannya:
Menurut Madzhab Hanafiyyah, boleh seorang laki-laki mengambil cincin perak, boleh memakainya, bahkan di anjurkan, asalkan syaratnya (berniat) mengikuti petunjuk nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dan tidak boleh memakainya dalam rangka untuk Ujub (bangga diri). (Kifayatuth Tholib Ar-Robbani wa Wa Hasyiyatul Adawi (2/358))
- Menurut Madzhab Syafi’iyyah
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: يَحِل لِلرَّجُل الْخَاتَمُ مِنَ الْفِضَّةِ، سَوَاءٌ مَنْ لَهُ وِلاَيَةٌ وَغَيْرُهُ، فَيَجُوزُ لِكُلٍّ لُبْسُهُ، بَل يُسَنُّ.
Terjemahannya:
Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah berkata: boleh seorang laki-laki mengambil cincin perak, baik ia memiliki wilayah kekuasaan (sultan), dan juga selain sultan (manusia secara umum), boleh memakainya, bahkan disunnahkan. (Al-Majmu’ (4/464), (Qalyubi Wa-Amirah (2/24))
- Menurut Madzhab Hanabilah
وَقَال الْحَنَابِلَةُ: يُبَاحُ لِلذَّكَرِ الْخَاتَمُ مِنَ الْفِضَّةِ؛ لأِنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرِقٍ،
قَال أَحْمَدُ فِي خَاتَمِ الْفِضَّةِ لِلرَّجُل: لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ، وَاحْتَجَّ بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا كَانَ لَهُ خَاتَمٌ، وَظَاهِرُ مَا نُقِل عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ لاَ فَضْل فِيهِ. وَجَزَمَ بِهِ فِي التَّلْخِيصِ وَغَيْرِهِ، وَقِيل: يُسْتَحَبُّ، قَدَّمَهُ فِي الرِّعَايَةِ. وَقِيل: يُكْرَهُ لِقَصْدِ الزِّينَةِ. جَزَمَ بِهِ ابْنُ تَمِيمٍ. وَأَمَّا تَخَتُّمُ الصَّبِيِّ بِالْفِضَّةِ فَجَائِزٌ عِنْدَ الْفُقَهَاءِ.
Terjemahannya:
Para Ulama’ Hanabilah mengatakan: Boleh seorang laki-laki mengambil cincin perak, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memakai cincin dari perak. Imam Ahmad Rahimahullah pernah berkata mengenai cincin perak untuk laki-laki: “Tidak mengapa (bagi Laki-laki)” Dan beliau berhujjah bahwa Ibnu Umar juga memakai cincin. Dan dzohir apa yang di nukil dari perkataan imam Ahmad bahwasanya tidak ada kelebihan pada pemakaian cincin tersebut (bagi sultan maupun tidak). Dan ini di pertegas dalam kitab At-Talkhis dan selainnya. di katakan dari imam Ahmad juga: (bahkan bisa) di sunnahkan, dan ini telah dikemukakan dalam kitab Ar-Ri’ayah. bersumber dari imam Ahmad juga: (bisa) Di benci jika niatnya hanya sekedar untuk hiasan saja, hal ini dipertegas oleh Ibnu Tamim. Adapun anak kecil (laki-laki) dibolehkan memakai cincin perak menurut para ahli fiqih. (Al-Muwsu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (11/24))
Insya Allah, pendapat yang kuat adalah pendapat Imam Syafi’I, yaitu : boleh seorang laki-laki memakai cincin perak, baik ia memiliki wilayah kekuasaan (sultan), dan juga selain sultan (manusia secara umum), hal itu berdasarkan perbuatan para sahabat Nabi, baik yang memiliki kekuasaan, seperti khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman. Maupun sahabat Nabi yang biasa dan tidak memiliki kedudukan sultan, seperti sahabat Ibnu Umar, seorang laki-laki yang di terangkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash (dalam hadits sebelumnya), dll.
Begitu pula keterangan dari Para Ulama’ lainnya, seperti Abu Walid Sulaiman bin Kholaf Al-Baji Rahimahullah menyebutkan:
وَأَمَّا مَا يُبَاحُ مِنْ الْفِضَّةِ لِلرَّجُلِ فَفِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ السَّيْفُ وَالْخَاتَمُ وَالْمُصْحَفُ وَالْأَصْلُ فِي ذَلِكَ مَا رَوَى أَنَسٌ «أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ وَنَقْشُهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ» وَأَمَّا السَّيْفُ فَإِنَّ فِيهِ إعْزَازَ الدِّينِ وَإِرْهَابًا عَلَى الْمُشْرِكِينَ وَأَمَّا الْمُصْحَفُ فَإِنَّ فِيهِ إعْزَازَ الْقُرْآنِ وَجَمَالًا لِلْمُصْحَفِ
Terjemahannya:
“Dan adapun bagi laki-laki dibolehkan memakai Perak dalam tiga penggunaan, yaitu pedang, cincin, dan Mushaf. (Lihat: Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo’ (2/107))
Catatan,
Bahwasanya yang dibolehkannya ‘bahan perak’ sebagai perhiasan bagi laki-laki disini hanya masalah cincin, sehingga ini termasuk pengecualian. Adapun perhiasan yang lainnya, seperti kalung, gelang, anting-anting, dan perhiasan lainnya meskipun berasal dari perak, maka hukumnya tetap saja di larang. Bahkan termasuk tasyabbuh / menyerupai wanita.
Sedangkan bagi seorang laki-laki dilarang menyerupai terhadap wanita, baik dalam berperilaku, berpakaian dan berpenampilan, dan juga dalam memakai perhiasan.
Hal itu sebagaimana dalam hadits shahih, Dari Abdullah bin Abbas Radhiyallahu Anhuma berkata:
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ لَعَنَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ»
Artinya:
“Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum laki-laki.” (Shahih, HR Bukhari dalam Shahihnya (5885))
Maka dari itu selayaknya kita berupaya keras dalam mempelajari ilmu syar’I, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan pemahaman salaful Ummah. Baik kaitannya dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, pakaian, penampilan, dll. Agar kita bisa mengikuti ajaran islam secara kaffah / keseluruhan. Wallahu A’lam Bis-Showab
Maroji’:
Al-Muntaqo Syarh Al-Muwaththo’ Karya Abul Walid Al-Baji
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, Karya Imam An-Nawawi
Syu’abul Iman, Karya Imam Al-Baihaqi, dll
Penulis:
Ustadz Lilik Ibadurrahman, S.Ud
BACA JUGA:
Leave a Reply