Berbagai kejadian yang sudah biasa terjadi di sekeliling manusia, akan ia sikapi dengan datar-datar saja. Semua yang ada dianggap sebagai fenomena yang layaknya sudah jamak terjadi. Tak ada kesan ataupun perasaan tertentu dalam menghadapinya. Kalaupun mereka merasakan sesuatu, itu hanyalah sekedar sikap kekhawatiran atas terusiknya rasa aman mereka yang biasa mereka dapatkan. Tak lebih dari itu. Dan peristiwa keseharian yang menyelimuti manusia, seolah mereka tak menyimpan rasa kagum dan takjub dengan itu semua. Seakan susah bagi mereka untuk mengaitkan antara kejadian-kejadian yang ada tersebut dengan keagungan dan kebesaran Alloh.
Mereka begitu terkagum takjub kala melihat fenomena yang jarang mereka temukan. Itupun sebatas kagum tanpa makna. Kekaguman yang tidak terpancar dari cahaya keimanan, dengan menganggapnya sebagai fenomena alam, yang memang sudah alamiah dan ilmiah terjadi. Mereka lupa bahwa di balik itu, Allohlah yang mengaturnya.
Dan tak terdetik dalam benak mereka, bahwa bila Alloh berkehendak, segala tatanan alam yang sudah biasa mereka saksikan dan berjalan dengan stabil dan konstan tersebut, bisa saja berubah menjadi tak beraturan dan menimbulkan hingar-bingar yang menyentak manusia. Dan itu pasti akan terjadi bila umur alam ini sudah dirasa begitu renta dan ‘kontrak’ keberlangsungannya sudah habis; dan Alloh akan menetapkan ketentuan-Nya dengan berakhirnya kehidupan dunia. Dan saat itulah, baru manusia terhentak sadar, apa sejatinya yang selama ini telah mereka lakukan.
Rosul menyikapi angin dan awan
Bagi orang yang hatinya tertambat erat dengan Alloh dan kehidupan akhirat, maka ia akan mengaitkan segala yang ada dengan kebesaran dan keagungan Alloh, serta dahsyatnya janji dan ancaman yang Dia berikan. Yang ada di hadapannya bukan lagi sekedar peristiwa dunia yang bersifat materi dan alamiah belaka, namun menembus batas dan menerobos ke lintas alam lain yang kekal nan abadi. Ia bisa melihat pesan Alloh yang Dia titipkan dari segala peristiwa alam yang ada. Dengan demikian, ia akan selalu sadar, bertafakkur, dan menghadirkan muroqobah dari Alloh. Itu yang membuatnya selalu meniti jalan Alloh yang sudah akan menghantarkannya pada kekalnya alam setelah kehidupan dunia.
Inilah Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau melihat gejala dan peristiwa alam sebagai suatu tanda kebesaran Alloh. Dan mengharuskan manusia untuk selalu waspada dan takut akan segala kemungkinan turunnya murka dari-Nya. Meski beliau adalah makhluk yang telah Alloh ampuni segala yang lalu dan apa yang akan datang, namun label dari Alloh ini hanyalah semakin menambah kualitas takwa dan takutnya beliau kepada Alloh. Beliau pun tidak bisa menjamin aman dari turunnya siksa.
Sulaiman Bin Yasar meriwayatkan dari Aisyah istri Nabi, ia berkata: “Tidak pernah sama sekali aku melihat Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam tertawa lepas sampai terlihat olehku pangkal langit-langit mulut beliau. Namun beliau hanyalah tersenyum. Bila beliau melihat awan atau angin, maka akan terlihat perubahan pada wajah beliau. Maka aku bertanya: “Wahai Rosululloh! Adalah orang-orang apabila melihat awan, mereka merasa senang; karena mengharapkan akan ada hujan di baliknya. Namun aku melihat engkau, bila engkau melihat awan, maka akan ada ketidaksukaan yang terbaca dari raut wajahmu?!” Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
يَا عَائِشَةُ مَا يُؤَمِّنُنِى أَنْ يَكُونَ فِيهِ عَذَابٌ قَدْ عُذِّبَ قَوْمٌ بِالرِّيحِ وَقَدْ رَأَى قَوْمٌ الْعَذَابَ فَقَالُوا هَذَا عَارِضٌ مُمْطِرُنَا
“Wahai Aisyah! Adakah sesuatu yang bisa membuatku merasa tenang kalau-kalau di balik itu tersimpan adzab?! Sungguh, suatu kaum (yaitu Ad; kaumnya Nabi Hud) telah diadzab dengan angin. Dan suatu kaum (yaitu Tsamud; kaum Nabi Sholih) juga telah menyaksikan adzab; namun mereka mengatakan: ini adalah awan yang melintang di langit yang akan menurunkan hujan bagi kami. (HR. Abu Daud)
Rosul merasa tidak tenang, kalau-kalau awan yang ada di langit adalah sebagai pertanda adzab bagi kaumnya yang masih membangkang. Seperti halnya adzab yang menimpa kaum Ad dengan hempasan angin, atau adzab yang menimpa kaum Tsamud yang menyangka adzab sebagai awan yang akan menurunkan hujan. Rosul khawatir kalau-kalau ada adzab yang akan menimpa umatnya yang masih belum mau beriman kepada-Nya dan Rosul-Nya. ,
Ath-Thibi berkata mengenai perubahan raut muka Rosul ketika melihat hal seperti itu: yaitu tampak guratan rasa takut di wajah beliau, khawatir kalau-kalau awan atau angin tersebut menimbulkan petaka bagi manusia. Dan pernyataan Aisyah bahwa Nabi tidaklah tertawa dengan lepas, itu menunjukkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam bukanlah orang yang bertipe selalu bergembira yang terlena dan berlebihan dalam kesenangan. Sedangkan pernyataan Aisyah bahwa beliau tersenyum, itu menunjukkan beliau selalu bermuka manis. Sedangkan gurat rasa takut ketika melihat awan atau angin, itu menunjukkan rasa kasih dan sayang beliau kepada umat manusia. dan ini adalah suatu akhlak yang sangat agung.
Dalam hal Nabi yang hanyalah tersenyum, ini tidaklah bertentangan dengan hadits lain yang menyatakan bahwa beliau tertawa hingga tampak gigi gerahamnya. Karena tampaknya geraham ataupun gigi taring tidaklah mengharuskan tampaknya langit-langit bagian atas di pangkal lidah. Ada lagi yang mengatakan bahwa senyum itu adalah kebanyakan keadaan Nabi, sedangkan tampaknya gigi geraham itu terjadi namun jarang.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dengan menilik berbagai hadits mengenai tawanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, beliau berkata: “yang tampak kuat dari berbagai kumpulan hadits tentang hal tersebut, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam kebanyakan keadaannya tidak lebih dari tersenyum. Dan terkadang melebihi senyum hingga tertawa. Yang dimakruhkan darinya adalah ketika memperbanyak dari tertawa, atau berlebihan darinya. Karena hal itu akan menghilangkan kewibawaannya. Ibnu Batthol berkata: yang seharusnya diikuti dari perbuatan beliau adalah apa yang biasa beliau lakukan dengan terus menerus dari hal tersebut. Imam Bukhori sendiri telah meriwayatkan dalam Al-Adabul Mufrod, juga Ibnu Majah dari dua jalur dari Abu Huroiroh dengan memarfu’kannya:
لَا تُكْثِر الضَّحِك فَإِنَّ كَثْرَة الضَّحِك تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Jangan engkau memperbanyak tawa. Karena banyak tertawa akan mematikan hati.” (selesai nukilan dari Fathul Bari)
Dalam hadits lain, Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam bila melihat awan yang belum menggumpal di belahan langit, beliaupun meninggalkan amalnya, meskipun saat itu adalah saat beliau sholat (yaitu sholat sunnah), kemudian beliau berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا
“Ya Alloh, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya.” Dan bila akhirnya turun hujan, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا
Ya Alloh, jadikan hujan ini hujan yang melimpah dan bermanfaat.” (HR. Abu Daud)
Maksud dari beliau meninggalkan amal, meskipun saat itu adalah saat di mana biasanya Rosul mengerjakan sholat, maksudnya adalah sholat sunnah. Atau bisa juga bermakna bahwa beliau mengakhirkan sholat tersebut.
Dan Rosul berdoa agar hujan yang diturunkan adalah hujan yang melimpah dan bermanfaat yang membawa berkah, bukan hujan yang menenggelamkan seperti halnya banjir dahsyat yang menimpa kaum Nabi Nuh.
Meraup Rahmat Alloh
Dan bila turun hujan, maka Rosul pun berusaha untuk mengambil berkah dari Alloh melalui hujan yang diturunkan. Karena Alloh menjadikan air hujan sebagai rahmat bagi umat manusia.
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء طَهُورًا (48) لِنُحْيِيَ بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا وَنُسْقِيَهُ مِمَّا خَلَقْنَا أَنْعَامًا وَأَنَاسِيَّ كَثِيرًا
Dialah yang menjadikan untukmu malam (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia menjadikan siang untuk bangun berusaha. Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih. (QS. Al-Furqon:48-49)
Dari Anas berkata: Hujan mengenai kami, sedangkan kami tengah bersama Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam. Kemudian beliaupun keluar dan menyingkap sebagian badan beliau, hingga air hujan pun mengenai beliau. Kami bertanya: Wahai Rosululloh, mengapa engkau berbuat seperti ini? Beliau menjawab: “Karena hujan ini baru datang dari Tuhannya.”
Di sini terlihat betapa Rosul begitu menautkan diri dengan Tuhannya. Sampai hujanpun, beliau berusaha untuk meraup rahmat dari-Nya melalui hujan. Karena kata Rosul, bahwa hujan yang turun tersebut adalah baru saja datang dari Robbnya. Yaitu bahwa Alloh baru saja menurunkan air hujan tersebut. Dan hujan adalah rahmat dari Alloh. Alloh menurunkannya dengan rahmat dari-Nya. Sehingga kita pun disunnahkan untuk mendapatkan berkah Alloh melalui hujan tersebut.
Maka kita sebagai umatnya, perlu untuk menghadirkan rasa takut kepada Alloh. Namun juga tetap dibarengi dengan harapan akan rahmat-Nya. Tidak boleh kita merasa takut sampai berputus asa dari rahmat-Nya. Tak benar juga kita mengharap hingga kita merasa aman dari adzab-Nya. Dengan dua hal inilah seseorang bisa menghadirkan takwa kepada Alloh dengan sebenarnya.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 07 Tahun 03
Leave a Reply