Manusia berkualitas adalah dambaan setiap insan yang sadar. Ia tak rela bila perjalanan hidupnya tak bisa membuahkan apa-apa. Dan ia akan selalu berusaha bangkit untuk memperbaiki kafilah perjalanan hidupnya, sehingga lembaran-lembaran kehidupannya akan diwarnai dengan beragam kebaikan dan kemanfaatan.
Dan tentunya bila ia hidup dengan rentang waktu yang panjang dengan tetap menjaga kualitas kepribadiannya, maka iapun telah patut untuk mendapatkan gelar manusia terbaik. Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam sendiri bersabda mengenai hal ini dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُه
Dari Abu Bakroh bahwa seorang lelaki bertanya: Wahai Rosululloh, siapakah manusia yang paling baik? beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya, dan baik amalnya.” Ia bertanya lagi: “Lalu siapkah orang yang paling buruk?” beliau menjawab: “Orang yang panjang umurnya, namun buruk amalnya.” (HR. Turmudzi, Ahmad)
Ath-Thibi berkata: sesungguhnya waktu itu bagaikan modal utama bagi seorang saudagar. Sudah sepantasnya ia berniaga dalam hal yang bisa mendatangkan keuntungan. Dan setiap kali modal hartanya banyak, maka begitupun dengan keuntungannya. Maka barangsiapa yang memanfaatkan umurnya dengan memperbagus amalnya, sungguh ia telah menang dan beruntung. Namun barangsiapa yang menyia-nyiakan modal hartanya, ia tidaklah mendapat keuntungan, bahkan ia merugi dengan kerugian yang sebesar-besarnya.
Dan yang dijadikan obyek pujian sebenarnya bukan dalam masalah panjang rentang waktu umur seseorang. Mengingat setiap orang sudah mempunyai jatah umur yang tidak bisa ia langgar. Namun yang dijadikan sebagai obyek pujian di sini adalah keluarnya seorang manusia dari dunia ini tanpa membawa dosa yang membinasakannya, terlebih lagi bila disertai dengan panjangnya umur.
Al-Munawi mengatakan: Dan orang yang banyak kebaikannya, setiap kali usianya dipanjangkan Alloh, maka setiap kali itu pula pahalanya menjadi melimpah, derajatnya akan dilipatgandakan oleh-Nya. Sehingga dalam hidupnya, selalu ada tambahan pahala dengan selalu bertambahnya amalan. Kalaupun tidak ada pada dirinya selain terus istiqomah melanggengkan imannya, maka apakah ada sesuatu yang lain yang lebih agung dan besar dari hal tersebut? Dan kurang pantas kalau engkau mengatakan, bahwa bisa saja iman seseorang dicabut darinya kalau seseorang diberi rentang waktu hidup yang panjang. Karena bisa kita katakan, kalaulah telah ada dalam ilmu Alloh bahwa seseorang akan mendapatkan su’ul khatimah (akhir hidup yang buruk), maka pastilah itu akan terjadi, tanpa memandang apakah umurnya panjang ataukah pendek? Karena bertambahnya umur seseorang, (berpotensi besar) untuk menambah kebaikan-kebaikannya, dan mengangkat derajatnya, baik dalam porsi banyak, maupun sedikit. Demikian yang dibawakan oleh Al-Munawi.
Memang panjang pendek umur seseorang adalah rahasia Alloh. Namun bila umur seseorang panjang, dengan tetap membawa obor iman, dan istiqomah di atasnya, maka insya Alloh itu semua akan mendatangkan kebaikan baginya. Dan setiap kali umurnya bertambah, setiap kali itu pula amalnya semakin banyak dan melimpah, sesuai dengan panjang umur yang ia nikmati.
Oleh karena itulah, Al-Munawi menyitir perkataan seorang ulama: kematian seorang manusia setelah ia menginjak usia tua dan mengenal Robb nya, itu lebih baik daripada kematian seorang anak tanpa harus melewati hisab di akhirat.
Mana Yang Lebih Tinggi?
Mengenai urgensi waktu dan betapa panjangnya umur seseorang dapat meninggikan derajat seseorang, berikut hadits Nabawi berkenaan dengan hal itu. Dari Ubaidullah Bin Khalid bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mempersaudarakan antara dua lelaki. Salah seorang dari keduanya terbunuh di jalan Alloh. Kemudian yang satunya lagi meninggal satu Jumat –satu pekan- setelahnya, atau sekitar itu. Orang-orang pun mensholatkannya. Nabi kemudian bertanya: “Apa pendapat kalian?” Mereka menjawab: “Kami berdoa kepada Alloh agar Dia berkenan mengampuninya, merahmatinya, dan mengikutkannya dengan saudarnya (yang meninggal sebelumnya di jalan Alloh).” Lalu Nabi berkata: “Lalu di manakah (pahala) sholatnya setelah sholatnya (kawannya yang meninggal sebelumnya); puasanya setelah puasa kawannya” Syu’bah (perawi) ragu tentang puasanya. “(Manakah) amalnya setelah amal dari kawannya?! Sesungguhnya jarak antara keduanya sebagaimana jarak antara langit dan bumi.” (HR. Abu Daud)
Dalam hadits lain, dari Abdulloh Bin Syaddad, bahwa tiga orang dari bani Udzrah mendatangi Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam, dan mereka masuk Islam. Lalu Nabi berkata: “Siapakah yang mencukupi kebutuhan mereka?” Thalhah berkata: “Saya.” Ia berkata: Maka mereka dicukupi Thalhah. Lalu Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam mengutus utusan (perang). Salah seorang dari mereka (dari bani Udrzah tersebut) keluar dan menemui syahidnya. Lalu Nabi mengirim satu utusan pasukan lagi, dan keluarlah lelaki yang lain tersebut, dan menemui syahidnya. Kemudian meninggallah orang yang ketiga di atas kasurnya. Thalhah berkata: Lalu aku bermimpi melihat tiga orang tersebut di surga. Aku melihat orang yang meninggal di atas kasurnya ada di depan mereka. kemudian yang mati syahid terakhir ada di belakangnya, sedangkan yang mati syahid pertama kali dari mereka berada setelah si syahid yang terakhir. Akupun merasa takjub. Aku sebutkan itu kepada Nabi n , lalu beliau bersabda: “Apa yang perlu diingkari dari hal tersebut? Tidak ada seorangpun yang lebih utama di sisi Alloh daripada seorang mukmin yang diberi umur panjang dalam Islamnya, dikarenakan tasbihnya, takbirnya, dan tahlilnya. (HR. Ahmad)
Tasbih, takbir, tahlil, dan tahmid, tidaklah berat bagi seseorang, dan tidak menyita banyak waktu. Namun dikarenakan kalimat-kalimat ini, seseorang bisa mencapai derajat yang tidak diraih oleh seorang syahid. Maka bisa diketahui bahwa perjalanan waktu detik demi detik, waktu demi waktau, begitu berharga di sisi Alloh.
Kalaupun ada yang bertanya: bagaimana bisa seseorang bisa mencapai derajat yang tidak dicapai oleh seorang syahid, padahal ia meninggal di atas kasurnya?
Maka itu bukanlah penghalang. Rosul sendiri telah bersabda: “Barangsiapa yang meminta kepada Alloh mati syahid dengan tulus ikhlas, maka Allohpun akan membuatnya bisa menggapai derajat para syahid, meski ia meninggal di atas kasurnya.” (HR. Muslim)
Maka pergunakanlah modal umur ini sebaik-baiknya. Sebelum manusia baru berangan-angan untuk beramal baik saat ia sudah meninggalkan dunia fana ini.
Pernah Hasan Basri menghadiri prosesi jenazah. Ketika selesai penguburan, Hasan bertanya kepada seseorang: “Apakah engkau menyangka bahwa si mayit sekarang ini menginginkan untuk kembali ke dunia untuk menambah amal kebaikan berupa dzikir, ketaatan, dan meminta ampun kepada Alloh dari dosa-dosanya?” Ia menjawab: “Ya.” Hasan melanjutkan: “Lalu mengapa kita tidak seperti si mayit ini?”
Nabi berlindung dari umur yang pikun
Meski panjang umur adalah sesuatu yang terpuji, namun seperti diungkapkan di atas, itu bukan ukuran mutlak. Namun menjadi terpuji bila dibarengi amalan yang baik. Sehingga orang yang paling buruk adalah orang yang panjang umurnya dan jelek amalannya. Dan tidak jarang, seseorang diberikan umur panjang, namun keadaannya kembali seperti masa kanak-kanaknya. Sehingga tingkah lakunya tidak mencerminkan seseorang yang telah banyak makan garam dalam kehidupan. Ia menjadi seperti anak-anak dalam segala hal.
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ ثُمَّ يَتَوَفَّاكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْ لا يَعْلَمَ بَعْدَ عِلْمٍ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (70)
Alloh menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu; dan di antara kamu ada yang dikembalikan kepada umur yang paling lemah (pikun), supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (QS. An-Nahl:70)
Ibnu Katsir mengatakan: Alloh memberitakan tentang apa yang Dia perbuat terhadap hamba-hamba-Nya. Dan bahwa Dia lah yang mewujudkan mereka dari tidak ada, kemudian setelah itu mewafatkannya. Dan di antara mereka ada yang Alloh biarkan (sementara) hingga iapun dihinggapi kepikunan; lemah dalam struktur penciptaannya. Dan diriwayatkan dari Ali mengenai umur yang paling lemah dan hina, ia berkata: 75 tahun. Di usia seperti ini terjadi padanya kelemahan dalam kekuatan, pikun, ingatannya menjadi buruk dan menjadi sedikit ilmunya. Karena itu Dia berfirman: “supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatupun yang pernah diketahuinya.” Yaitu, setelah ia mengetahui, jadilah ia tidak tahu apapun dikarenakan ia pikun.
Karena itulah, Imam Bukhori ketika menafsirkan ayat ini, ia meriwayatkan hadits dengan sanadnya dari Anas Bin Malik, bahwa Rosululloh Shalallahu ‘alaihi wassalam berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ وَالْكَسَلِ وَأَرْذَلِ الْعُمُرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ
“Aku berlindung kepada-Mu dari kebakhilan dan kemalasan, dari kepikunan dan umur yang hina, dari adzab kubur, fitnah dajjal, dan fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Muslim)
Di sini Nabi berlindung kepada Alloh dari umur yang hina. Umur yang hina di sini kala manusia dibentangkan umurnya, lalu dikembalikan kepada keadaan awal penciptaannya, layaknya anak kecil. Dan bila demikian keadaannya, maka itu menjadi keadaan yang tercela. Maka selama seseorang berada dalam kondisi bagusnya amal, maka sungguh beruntung. Namun bila sampai pada taraf di mana pena sudah diangkat darinya, tidak lagi bisa beribadah dengan baik, maka ketika itu panjangnya umur menjadi beban atasnya. Kita memohon kepada Alloh agar dikaruniakan keselamatan dan kesehatan.
Sumber: Majalah Lentera Qolbu Edisi 05 Tahun 04
Leave a Reply