Brilly El-Rasheed
Menunda berbeda jauh dengan bersikap ta’anni (perlahan) yang disukai Allah. Ta’anni itu berlandaskan atas kehati-hatian dan berharap keselamatan. Sementara menunda muncul dari kemalasan atau tidak memprioritaskan atau meremehkan.
Menunda memang tidak selamanya buruk sebab tergantung tingkat prioritas beberapa hal yang harus kita tunaikan. Menunda keburukan pun sangat baik, diharapkan seorang muslim menunda keburukan hingga kematiannya dan menggantinya dengan kebaikan. Namun secara umum menunda kebaikan merupakan sebuah kegagalan besar yang nyata.
Al-Imam An-Nawawi menasehatkan kepada para penuntut ilmu agar mencatat hal-hal berharga yang diperoleh tatkala menelaah kitab ataupun mendengar dari seorang guru, “Janganlah meremehkan suatu faedah yang didapat atau didengar dalam bidang apa pun, tetapi hendaknya segere mencatat dan sering berulang-ulang membaca kembali catatannya. Jangan menunda mencatat sebuah faedah sekalipun dianggap mudah, sebab betapa banyak kecacatan karena menunda, apalagi di waktu lain ia akan mendapatkan ilmu baru lagi.” [Al-Majmu’ 1/38-39]
Dalam Al-Ushul min ‘Ilm Al-Ushul, Ibnu Al-‘Utsaimin rahimahullah mengisyaratkan kaedah Al-Ashlu fi Al-Amr li Al-Mubadarah wa Al-Fauri, pada dasarnya, perintah itu wajib segera dikerjakan, tatkala beliau membahas definisi Al-Amr.
Dalam Diwan Asy-Syafi’i hal 103, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menggubah sebuah sya’ir tentang ilmu,
Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Termasuk kebodohan kalau engkau memburu kijang
Setelah itu engkau biarkan lepas begitu saja
Sebagai contoh, penundaan terhadap pengurusan jenazah sangat dilarang. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Segerakanlah (mengubur) jenazah, sebab jika dia shalih, maka lebih baik apabila kalian menyegerakannya, namun jika dia selain itu (tidak shalih), maka menjadi keburukan baginya jika kalian menurunkannya dari pundak kalian.” [Shahih: Shahih Al-Bukhari no. 1315; Shahih Muslim no. 933]
Selain bersegera menguburkan, yang tidak boleh ditunda pula adalah melunasi hutang jenazah ketika masih hidup dan belum terbayar. An-Nawawi rahimahullah dalam Riyadh Ash-Shalihin mengutip hadits dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mu`min itu tergantung, karena hutangnya, hingga hutangnya dilunasi.” [Shahih: Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 860, 861] Dan An-Nawawi memberikan judul atas hadits ini dengan “Bab Menyegerakan Pelunasan Hutan dari Mayit, dan Bersegera Melepaskan Hutang darinya, Kecuali Jika Mati Mendadak, Maka Harus Menunggu Kepastian akan Kematiannya.”
Karenanya Nabi telah mengecam penundaan pelunasan hutang bagi orang yang mampu melunasi hutangnya, tatkala masih hidup. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda,
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَتْبَعْ
“Penundaan (pelunasan) hutang oleh orang kaya adalah zhalim. Apabila salah seorang dari kalian dialihkan hutangnya pada orang yang kaya, maka ikutilah pengalihan itu.” [Shahih: Sunan Abu Dawud no. 3345]
Jadi penundaan akan mengundang penyesalan, tidak hanya di dunia, tapi juga di akhirat, karena kehidupan seorang hamba di dunia memiliki pengaruh kuat yang nyata terhadap kehidupannya di akhirat. Di hari qiyamah, para shalihin akan menyesali secuil waktu luang yang tidak digunakan untuk kebaikan, yakni berbuat ketaatan kepada Allah.
Selain menyesali waktu yang diisi dengan dosa, para shalihin juga menyesali waktu yang tidak diisi dengan amal shalih, termasuk dalam hal ini akibat menunda pelaksanaan amal shalih, sementara ada waktu tersedia. Karena mereka tahu betapa berharganya waktu.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata,
لَيْسَ يَتَحَسَّرَ أَهْلُ الْجَنَّةِ عَلَى شَيْءٍ إِلاَّ عَلَى سَاعَةٍ مَرَّتٍ بِهِمْ لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْهَا
“Tidaklah penghuni surga menyesali sesuatu (pada saat proses hisab) kecuali terhadap satu waktu yang terlewatkan begitu saja, tanpa mereka berdzikir kepada Allah ketika itu.” [Shahih Al-Jami’ no. 5446]
Semoga kita tidak pernah merasakan penyesalan yang sangat mendalam di akhirat, dan semoga kita di dunia ini berhasil menghilangkan kebiasaan menunda kebaikan.
Termasuk, ketika ada kesempatan bershadaqah, kita lebih suka menunda-nunda dan mengingat shadaqah-shadaqah yang pernah kita tunaikan. Di lain waktu, rumah kita jauh dari masjid, setiap kali ke masjid, kita mengangankan punya rumah dekat masjid supaya bisa lebih berlama-lama i’tikaf dan ibadah di masjid. Saat angan-angan itu tercapai, ibadah kita masih saja seperti sewaktu rumah jauh dari masjid.
Itulah sebagian kita, menunda kebaikan dengan dalih kondisi yang tidak ideal dan kondusif, berjanji akan segera meningkatkan kebaikan ketika kondisi sudah ideal, tapi ketika kondisi ideal itu terwujud, kita tidak juga meningkatkan kebaikan, tetap saja menunda kebaikan, seperti ketika kondisi belum mendukung. Mari, segera lakukan kebaikan secara optimal, dalam kondisi apapun. Tidak usah terpengaruh kondisi. Tiada rotan, akar pun jadi.
Adakah Celah untuk Menunda?
Namun tidak semua menunda itu buruk. Ada beberapa penundaan yang dianjurkan, ini berkaitan soal mana yang lebih utama dan besar pahalanya. Seperti shalat. Dianjurkan menunda shalat dengan harapan dapat mengerjakan bersama jama’ah dan menunggu hingga jama’ah shalat banyak berdatangan. [Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah hal. 43; Syarh Ash-Shaghir 1/127]
Dari Muhammad bin Amr bin Al-Hasan bin ‘Ali rahimahullah berkata, ketika Al-Hajjaj datang ke Madinah kami bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah, ia berkata, “Rasulullah mengerjakan shalat Zhuhr pada waktu tengah hari (hajirah), mengerjakan shalat ‘Ashr ketika matahari masih terang bersinar, mengerjakan shalat Maghrib apabila matahari telah terbenam, kemudian mengerjakan shalat ‘Isya. Apabila jama’ah yang hadir banyak, maka beliau menyegerakannya, dan apabila sedikit beliau menundanya, hingga tengah malam (untuk shalat ‘Isya). Dan mengerjakan shalat Shubh saat langit masih gelap.” [Fat-h Al-Bari no. 565]
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam sendiri menganjurkan agar shalat Shubh dikerjakan lebih panjang dan lama, hingga ufuk mulai terang, selama matahari belum keluar.
Ibnu Daqiq rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang dihadapkan pada dua alternatif, shalat sendirian di awal waktu atau shalat berjama’ah di akhir waktu, maka manakah pilihan yang lebih utama baginya? Menurut kami, shalat di akhir waktu dengan berjama’ah lebih utama. Hadits yang dibawakan di atas adalah dalilnya, disebutkan di situ, “Jika beliau melihat mereka terlambat, maka beliau mengakhirkannya.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengakhirkan shalat untuk mengejar shalat jama’ah padahal beliau mampu mengerjakannya di awal waktu. Dalam hadits shahih telah disebutkan anjuran mengerjakan shalat jama’ah dan ancaman keras bagi siapa saja yang meninggalkannya. Keutamaan shalat di awal waktu hanyalah dalam bentuk anjuran. Dan tidak ada ancaman bagi yang mengerjakannya di akhir waktu secara berjama’ah.” [Ihkam Al-Ahkam 1/134]
Ibnu Daqiq Al-‘Id rahimahullah tampaknya mengisyaratkan hadits dalam Sunan At-Tirmidzi no. 170, ketika Rasulullah ditanya manakah amal yang paling utama, beliau menjawab, “Shalat di awal waktunya.”
Tentu saja tidak diperkenankan sebuah komunitas sepakat untuk mengakhirkan shalat jama’ah dengan alasan bolehnya penundaan shalat karena mengejar shalat jama’ah.
Ash-Shan’ani dalam Al-‘Uddah 2/32 dan As-Sarakhsi dalam Al-Mabsuth 1/147 juga menyetujui kesimpulan ini, “Artinya, mengerjakan shalat secara berjama’ah meskipun di akhir waktu lebih tinggi keutamaannya daripada shalat sendirian di awal waktu.”
Begitu pula menunda shalat diperbolehkan jika,
:: Ada keharusan untuk buang air besar atau kecil, setelah buang air tetap harus bersegera shalat.
:: Ketika makanan sudah dihidangkan sementara tidak tahu kalau waktu shalat sudah tiba.
:: Ketika tidak menemukan air untuk wudhu, dimana ada keharusan untuk mencari air dulu, kalau tidak ditemukan baru dengan bertayammum kemudian melaksanakan shalat.
:: Sedang sakit yang tidak dapat berdiri bersegera melaksanakan shalat, dan ia merasa yakin mampu mengerjakan shalat dengan berdiri jika dilakukan di akhir waktu.
Dalilnya adalah hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Orang yang paling banyak pahalanya adalah yang paling jauh jarak yang ditempuhnya (untuk shalat jama’ah) dan orang yang menunggu shalat bersama imam secara berjama’ah, lebih banyak pahalanya daripada orang yang shalat (sendiri) lalu pergi tidur.” [Fat-h Al-Bari no. 651; Shahih Muslim]
Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan menunda shalat Zhuhr ketika panas matahari sangat menyengat hingga suhu udara mulai dingin, sepanjang tidak mendekati waktu ‘Ashr.
Dalam shalat jama’ah tercermin pula larangan menunda-nunda, yakni menunda mengikuti imam. Ma`mum harus senantiasa secepatnya mengikuti gerakan imam shalat. Ma`mum masbuq pun diharuskan mengikuti gerakan imam apapun yang ia dapati. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam berkata, “Jika kalian mendatangi shalat jama’ah dan kalian dapati kami sedang sujud, maka sujudlah dan jangan dihitung satu raka’at. Barangsiapa mendapati ruku` berarti ia telah mendapati raka’at.” [Sunan Abu Dawud 1/553]
Jadi, penundaan atas kebaikan itu kita pikirkan matang-matang. Apakah penundaan tersebut akan mengoptimalkan kebaikan ataukah malah mengundang keburukan.
Sumber Majalah lentera Qolbu Tahun ke-2 Edisi ke-8
Leave a Reply