Kemenangan Sejati – kemenangan yang sejati adalah milik mereka yang senantiasa menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka istiqamah di atas ketaatan tersebut sampai ajal menjemput. Merekalah yang akan ditempatkan di dalam surga-Nya. Itulah kemenangan yang sejati. Ramadhan telah berlalu. Bergemalah ucapan minal ‘aidin wal faizin di seantero negeri. Di televisi, radio, dan media sosial ucapan tersebut kita jumpai berulang-ulang. Biasanya dibumbui dengan ucapan “mohon maaf lahir dan batin”. Ucapan minal ‘aidin wal faizin tentu bukan ucapan yang buruk. Ucapan tersebut sebenarnya adalah potongan dari kalimat doa, yakni ja’alanallahu minal ‘aidin wal faizin. Maknanya, semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang merayakan ‘id dan termasuk orang-orang yang meraih kemenangan. Disebutkan pula bahwa ‘aidin bermakna kembali kepada fitrah, sedangkan faizin bermakna bersih dari dosa-dosa karena terampuni selama Ramadhan.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ucapan di atas mengandung pengharapan dan optimisme yang besar atas ibadah yang telah kita laksanakan selama bulan Ramadhan lalu. Pertanyaan besarnya, pantaskah kita sedemikian optimis bahwa ibadah kita diterima dan dosa-dosa kita telah terampuni? Tulisan ini insyaallah akan mengajak kita untuk berkaca diri atas siang dan malam yang telah kita lalui selama bulan Ramadhan, sebagai landasan untuk menapak hari-hari setelah bulan penuh berkah itu pergi.
Jangan Tertipu oleh Amal, keberkahan yang melimpah ruah di bulan Ramadhan, semestinya menjadikan seorang muslim all out dalam melaksanakan amal-amal kebaikan. Besarnya pahala dan luasnya ampunan yang Allah janjikan telah memotivasi kita untuk beramal sebanyak-banyaknya. Tentu saja, kita sangat berharap agar amalan-amalan tersebut diterima dan mendapatkan balasan yang lebih baik. Namun demikian, seseorang hendaknya tidak mudah tertipu dengan banyaknya amalan tersebut. Apalagi, tidak ada jaminan sama sekali bahwa amal tersebut diterima oleh Allah Ta’ala.
teladan yang dicontohkan oleh para salaf terdahulu. Dahulu para salaf senantiasa bersungguh-sungguh dalam beramal, dan mereka menyempurnakan amal-amal tersebut. Bersamaan dengan itu, mereka senantiasa khawatir jika amal-amal mereka tidak diterima oleh Allah. Mereka membaca firman Allah dan merasa dirinya belumlah pantas termasuk di dalamnya,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah: 27)
Allah menggambarkan sikap mereka itu dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آَتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al-Mu’minun: 60)
Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya tentang ayat ini, “Apakah ayat tersebut menceritakan keadaan orang-orang yang meminum khamr, mencuri, atau berzina?” Maka Nabi bersabda, “Bukan, wahai putri Abu Bakar Ash Shiddiq, akan tetapi ayat itu menceritakan orang-orang yang berpuasa, shalat, dan membayar zakat, namun mereka khawatir amalan mereka tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang berlomba-lomba dalam melaksanakan kebaikan”.
Demikianlah para salaf kita. Mereka amat takut amalnya tidak diterima. Betapa pentingnya kekhawatiran akan tidak diterimanya amal dapat kita simpulkan dari ucapan para salaf berikut. Malik bin Dinar berkata, “Kekhawatiran akan tidak diterimanya amal adalah lebih aku perhatikan daripada amal itu sendiri”. Ali bin Abi Thalib mengatakan, “Perasaan khawatir akan diterimanya amal lebih layak kalian perhatikan daripada perhatian terhadap amal itu sendiri”. Abdul Aziz bin Abu Rawwad mengatakan, “Aku bertemu dengan para sahabat Nabi. Mereka adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam melakukan amal shalih.
Mohon Pengabulan Amal, amal shalih tidaklah berfaedah jika tidak diterima oleh Allah ﷻ. Oleh karena itu, seseorang perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh keikhlasan dan mutaba’ah-nya dalam beramal. Keduanya adalah syarat mutlak diterimanya amal. Setelah itu hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam beramal. Jika amal itu telah selesai dilaksanakan, jangan lupa untuk berdoa kepada Allah agar amalan tersebut diterima.
Demikianlah yang dicontohkan oleh bapak moyang Nabi kita, Ibrahim dan Isma’il. Allah Subhanahu Wata’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an,
وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), ‘Ya Rabb kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.’” (QS. Al Baqarah: 127)
Istighfar sebagai Penutup Amal, betapa pun manusia hanyalah hamba yang lemah dan tidak luput dari berbagai kekurangan dalam melaksanakan perintah-perintah Allah. Ibadah yang dilakukan di Bulan Ramadhan pastilah tidak sempurna. Dengan demikian, menutup amalan dengan istighfar adalah sebuah keniscayaan sebagaimana pula dicontohkan oleh Rasulullah. Beliau beristighfar setelah shalat, setelah haji, setelah bermajelis, dan setelah ibadah-ibadah lainnya.
Melazimkan istighfar setelah beribadah akan mendorong jiwa seorang muslim untuk semakin bersikap tawadhu’, menjauhkan dari ujub, dan menyadari segala kekurangan. Dengan demikian, ia berharap semoga Allah mengampuni segala kekurangan tersebut, menambal cacat dan kekurangannya, mencatat ibadahnya sebagai ibadah yang telah cukup/sempurna, diridhai-Nya, dan diberi-Nya pahala. Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata, “Ada pun tanda diterimanya amalanmu adalah saat hatimu merasa bahwa amal shalihmu amatlah hina dan kecil, sehingga mereka yang benar-benar mengenal Allah akan selalu beristigfar setiap selesai melakukan ibadah. Maka siapa yang mengetahui kewajibannya kepada Rabbnya dan menyadari kualitas amalnya, serta aib-aib yang melekat pada jiwanya, niscaya dia akan selalu beristighfar setiap selesai melakukan amal ibadah karena merasa amalannya penuh dengan kekurangan.”
Dahulu, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz menulis surat dan dikirimkan ke berbagai negeri. Isinya, perintah agar kaum muslimin menutup Bulan Ramadhan dengan zakat fitri dan istigfar. Zakat fitri berfungsi mensucikan orang-orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata yang keji, sedangkan istigfar berfungsi sebagai penambal segala kekurangan yang dilakukan selama berpuasa Ramadhan, baik berupa perbuatan yang sia-sia maupun kata-kata yang tidak pantas. Abu Hurairah berkata, “Ghibah itu merusak puasa, dan istigfar itu menambal kerusakan tersebut”. Ibnul Munkadir ketika memaknai hadits Nabi, “Puasa adalah perisai dari api neraka, selama tidak ada yang memecahkannya” mengatakan, “Terkadang suatu perkataan memecahkan perisai itu, maka istighfar kemudian menambalnya. Maka ketahuilah bahwa puasa kita pun perlu diistigfar”.
Istiqamah, tanda diterimanya amal, sebagian orang terlalu yakin dengan amalannya pada bulan Ramadhan. Dia tertipu dengan amalnya, sehingga merasa memiliki bergunung pahala dan dosa yang habis tak tersisa. Akibatnya ia menjadi lalai dan banyak berpaling selepas Ramadhan. Padahal sejak semula ia telah menyadari bahwa tujuannya berpuasa adalah agar menjadi hamba yang bertakwa. Tidaklah seseorang dikatakan bertakwa kecuali ia terus-menerus menjaga diri dalam ketaatan kepada Rabb-Nya, tidak peduli apakah ia berada di bulan Ramadhan atau di bulan lainnya.
Allah ﷻ ketika menyebutkan sifat-sifat orang yang beriman dan bertakwa tidak membatasinya dengan waktu atau bulan tertentu. Allah berfirman tentang orang-orang yang beriman (yang artinya), “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” Tidak disebutkan bahwa mereka khusyuk hanya pada bulan Ramadhan. Demikian pula firman-Nya (yang artinya), “Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” Penjauhan diri ini tidak dilakukan hanya pada bulan Ramadhan. Semua itu menunjukkan bahwa kesinambungan amal secara terus-menerus adalah keniscayaan sebagai konsekuensi dari penghambaan kita kepada Allah karena Dia Subhanahu Wata’ala telah berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Artinya: “Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al-yaqin (yaitu kematian).” (QS. Al-Hijr: 99)
Kesinambungan amal, yaitu disusulnya amal shalih satu dengan amal shalih lainnya, merupakan tanda diterimanya amal ibadah seseorang. Dikatakan oleh Ibnu Rajab Al Hanbaly, “Berpuasa kembali setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amal puasa Ramadhan. Hal itu karena jika Allah menerima amalan seorang hamba, Dia akan memberi taufik untuk melakukan amalan shalih kembali setelah itu. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Balasan dari kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” Oleh sebab itu, barang siapa yang melakukan kebaikan lantas diikuti dengan kebaikan selanjutnya, hal itu merupakan tanda bahwa amalan kebaikannya yang pertama diterima. Adapun orang yang melakukan kebaikan lantas setelahnya malah berbuat kejelekan, itu adalah tanda tertolaknya amal kebaikan tersebut serta tanda tidak diterimanya. Ibnu Katsir menukilkan perkataan sebagian salaf ketika menafsirkan ayat ketujuh dari surah Al-Lail,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
Artinya: “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, dalam menafsirkan surat Al-Lail)
Oleh karena itu, selepas Ramadhan masih ada puasa 6 hari di bulan Syawwal, puasa di sebagian besar dari hari-hari bulan Haram: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam, serta memperbanyak amal ibadah lainnya seperti tilawah, qiyamul lail, shadaqah, dan selainnya di sepanjang tahun.
Berdasarkan pembahasan di atas, terasa bahwa ucapan taqabbalallahu minna wa minkum adalah lebih baik dan lebih tepat digaungkan pada saat seperti ini karena: (1) ucapan tersebut dicontohkan oleh para salaf, dan (2) mengandung pengharapan dan doa yang lebih dalam agar amal-amal shalih yang telah kita kerjakan diterima Allah. Adapun jika ditanya apakah kemenangan yang sejati itu dan siapakah pemenangnya, perhatikanlah ayat-ayat berikut!
وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
Artinya: “Maka barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia telah menang dengan kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab: 71)
مَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ
Artinya: “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh dia memperoleh kemenangan.” (QS. Ali Imran: 185)
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
Artinya: “Tidak sama antara para penghuni neraka dengan para penghuni surga. Para penghuni surga itulah orang-orang yang menang.” (QS. Al-Hasyr: 20)
لَهُمْ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ ذَلِكَ الْفَوْزُ الْكَبِيرُ
Artinya: “Mereka akan mendapat surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. Al-Buruj: 11)
Dengan demikian, jelaslah bahwa kemenangan yang sejati adalah milik mereka yang senantiasa menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka istiqamah di atas ketaatan tersebut sampai ajal menjemput. Merekalah yang akan ditempatkan di dalam surga-Nya. Itulah kemenangan yang sejati.
Semoga Allah menerima amal-amal kita yang telah berlalu, mengampuni dosa-dosa kita yang telah berlalu, memberikan taufik dan pertolongan-Nya kepada kita untuk senantiasa beriman dan beramal shalih, serta mewafatkan kita sebagai muslim dan menempatkan kita di dalam surga-Nya sebagai orang-orang yang menang. Amiin ya Mujibas Sa’ilin.
Referensi:
Ditulis oleh: Ary Abu Ayyub dari Majalah HSI Edisi 40 Syawwal 1443 H .
Diringkas oleh: Aryadi Erwansah (Staf Ponpes Darul Qur’an Wal Hadits OKU Timur).
BACA JUGA :
Leave a Reply