Meresapi Kenikmatan Shalat (Bagian 1) – Inti setiap ibadah adalah menghadirkan hati. Demikian pula ibadah shalat. Ketika seorang hamba shalat, hatinya harus ikut shalat, tidak tersibukkan dengan pikiran yang lain. Jika hal ini terwujud maka kelezatan ibadah shalat dapat tercapai. Seorang muslim yang hakiki dia akan dapat merasakan kelezatan ibadahnya. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
Yang artinya : “Yang merasakan manisnya iman adalah orang yang ridha Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.”[1]
Dan demikian juga, yang menunjukkan bahwa ibadah itu bisa dinikmati dan dirasakan kelezatannya ialah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Yang artinya : “(Ada) tiga perkara yang jika ada dalam diri seseorang maka dia akan merasakan manisnya iman: (1) barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selainnya, (2) barangsiapa yang mencintai seseorang dan dia tidak mencintainya kecuali karena Allah, dan (3) barangsiapa yang benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana dia benci untuk dicampakkan ke dalam api neraka.”[2]
Dalam ibadah shalat, agar kelezatannya dapat dirasakan maka harus memperhatikan dua perkara sebagai berikut:
Pertama: Bersegera dengan penuh semangat dalam mendatangi shalat
Nabi صلى الله عليه وسلم adalah orang yang cepat dalam mendatangi shalat, padahal kadangkala dia sedang bersama keluarganya. Jika adzan sudah berkumandang maka beliau segera berangkat shalat dan meninggalkan mereka. Aisyah رضي الله عنها menuturkan:
كَانَ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الأَذَانَ خَرَجَ
Yang artinya: “Adalah beliau صلى الله عليه وسلم membantu pekerjaan istrinya, apabila beliau mendengar adzan maka segera keluar.”[3]
Dari Abu Hurairah رضي الله عنه bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لَاسْتَهَمُوا وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لَاسْتَبَقُوا إِلَيْهِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي الْعَتَمَةِ وَالصُّبْحِ لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
Yang artinya : “Andaikan manusia mengetahui keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak mendapati hal itu kecuali dengan undian, niscaya mereka akan saling berundi. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan mendatangi shalat dengan segera, niscaya mereka akan berlomba-lomba untuk segera mendatangi shalat. Dan andaikan mereka mengetahui keutamaan shalat Isya’ dan Subuh, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak.”[4]
Ketahuilah, setan sangat bernafsu untuk menjerumuskan seorang hamba agar tidak bersegera dalam menjalankan ketaatan. Dalam hadits yang shahih, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ ثَلَاثَ عُقَدٍ إِذَا نَامَ بِكُلِّ عُقْدَةٍ يَضْرِبُ عَلَيْكَ لَيْلًا طَوِيلًا فَإِذَا اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ وَإِذَا تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عَنْهُ عُقْدَتَانِ فَإِذَا صَلَّى انْحَلَّتْ الْعُقَدُ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ
Yang artinya : “Setan akan mengikatkan tiga ikatan di kepala salah seorang di antara kalian bila tidur. Bila seseorang terbangun, setan akan berkata, ‘Malam masih panjang maka tidurlah.’ Namun, apabila seorang hamba tetap bangun malam kemudian dzikir kepada Allah maka terlepaslah satu ikatan; apabila dia berwudhu maka terlepaslah satu ikatan lagi; jika dia shalat maka akan terlepas seluruh ikatan; maka pagi harinya jiwanya akan semangat dan bagus. Jika dia tidak bangun maka jadilah jiwanya jelek dan malas.”[5]
Kedua: Memperpanjang shalat karena merasakan kelezatannya
Barangsiapa yang bisa merasakan kelezatan shalat, dia ingin memperpanjang waktu shalatnya, bahkan dia akan merasa waktu berjam-jam yang dia habiskan untuk shalat ibaratnya baru sebentar saja. Inilah kelezatan shalat yang hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang. Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah hamba yang selalu berdiri lama ketika shalatnya.
Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata, “Aku pernah shalat malam bersama Nabi صلى الله عليه وسلم, beliau lama sekali berdirinya, sampai aku punya niat buruk.” Ada yang bertanya, “Apa niat burukmu?” Ibnu Mas’ud رضي الله عنه menjawab, ‘Aku berniat duduk dan meninggalkannya.”[6]
Al-Hafizh Ibnu Hajar رضي الله عنه mengatakan, “Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم memilih untuk memperpanjang berdiri ketika shalat malam. Ibnu Mas’ud رضي الله عنه adalah orang yang kuat dan selalu menjaga diri untuk mencontoh Nabi صلى الله عليه وسلم, dia tidak niat duduk kecuali karena lama berdirinya Nabi صلى الله عليه وسلم telah melewati batas kebiasaannya.”[7]
Agar shalat lebih bermakna
Untuk menggapai shalat yang bermakna harus diperhatikan tiga perkara:[8]
Pertama: Hadirnya hati
Maksudnya adalah menjadikan hati hanya terpusat untuk shalat. Tanpa ada kehadiran hati maka do’a dan dzikir yang terucap tidak akan bermanfaat apa pun. Demikian pula seluruh gerakan shalat. Rukuk dan sujud yang tujuannya adalah pengagungan kepada Allah عزّوجلّ, jika tidak menghadirkan hati maka tujuan tersebut tidak akan tercapai, hanya sebatas gerakan dan bentuk yang tidak ada arti. Allah عزّوجلّ berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Yang artinya : Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.[9]
Tidak ada cara untuk bisa menghadirkan hati ketika shalat kecuali dengan mencurahkan perhatian secara penuh hanya untuk shalat saja. Perhatian ini bisa melemah dan menguat tergantung kekuatan dan kelemahan iman seseorang terhadap hari Akhir dan ketergantungan pada dunia. Maka kapan pun engkau melihat hatimu tidak hadir ketika shalat ketahuilah bahwa sebabnya karena lemahnya iman maka bersungguh-sungguhlah untuk menguatkannya.
Kedua: Memahami makna kalimat yang diucapkan
Termasuk yang mendukung agar shalat dapat bermakna adalah memahami kalimat-kalimat yang diucapkan. Hati dan akal harus dipalingkan dari perkara yang menyibukkan, hanya terpusat memahami kalimat do’a dan dzikir yang terucap. Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلم tatkala shalat di depan tirai penutup yang ada coraknya, beliau melepas tirai tersebut seraya berkata:
فَإِنَّهَا أَلْـهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي
Yang artinya : “Tadi, tirai yang terpasang itu mengusik shalatku. “[10]
Ketiga: Pengagungan kepada Allah dan takut kepada-Nya
Hal itu dapat terwujud dengan dua perkara; mengenal keagungan Allah عزّوجلّ dengan sebenamya dan mengenal kehinaan diri sendiri. Dua perkara inilah yang bisa membantu dalam pengagungan kepada Allah عزّوجلّ.
Menyelami Samudra Hikmah dari Setiap Gerakan Shalat
Imam Ibnul Qayyim رحمه الله berkata, “Shalat itu diwajibkan dalam bentuk yang paling sempurna dan paling bagus sehingga menjadi perantara seorang hamba kepada Rabbnya. Di dalam shalat terkandung pengagungan kepada Allah عزّوجلّ dengan seluruh anggota badan: ucapan lisan, perbuatan kedua tangan dan kaki, kepala dan indera peraba, dan seluruh bagian badan. Semuanya mengambil hikmah dalam ibadah yang agung ini. Di dalam shalat juga ada tahmid, tasbih, dan takbir, persaksian yang benar dan berdiri di hadapan Sang Pencipta dengan status hamba yang rendah dan tunduk. Ketundukan ini terlihat dengan ucapan orang yang shalat, punggung yang membungkuk sebagai tanda kerendahan dan khusyuk kepada Allah عزّوجلّ. Kemudian bangkit dari rukuk sebagai persiapan untuk lebih tunduk lagi pada posisi berikutnya yaitu sujud. Maka dalam sujud, dia meletakkan bagian tubuhnya yang mulia yaitu wajah di atas tanah, ini sebagai bentuk ketundukan dan perendahan kepada Allah عزّوجلّ.[11]
Baiklah sekarang tiba saatnya kami ajak pembaca untuk menyelami hikmah-hikmah yang terkandung dari setiap gerakan shalat:[12]
- Takbir
Apabila seorang hamba membuka shalatnya dengan ucapan Allahu Akbar maka dia telah bersaksi akan kebesaran Allah عزّوجلّ.[13] Di dalam hatinya akan tertanam bahwa Allah عزّوجلّ adalah satu-satunya dzat yang Maha Besar, tidak ada sesuatu pun yang lebih besar dari Allah عزّوجلّ, sehingga seorang hamba akan ingat akan kehinaan dirinya, tidak pantas sombong di hadapan dzat yang Maha Besar. Hal ini sebagai persiapan agar shalatnya khusyuk tidak memikirkan perkara yang lain karena dia akan berhadapan dengan dzat yang Maha Besar dan Maha Agung. Oleh karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak boleh bagi seorang hamba yang melakukan shalat kecuali dengan menghadirkan hati dan pikirannya. Allah عزّوجلّ berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ
Yang artinya : Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.[14]
- Ucapan Ta’awudz (memohon perlindungan kepada Allah)
Apabila seorang hamba membaca ta’awudz maka dia telah berpegang dengan kuasa dan kekuatan Allah عزّوجلّ dari ancaman musuh yang berusaha memutus hubungan hamba dengan Rabbnya.[15] Apabila seorang hamba yang shalat melakukan hal ini maka setan akan lari darinya sehingga dia dapat menghayati makna-makna yang terkandung dari bacaan shalatnya berupa surat al-Qur’an dan do’a-do’a shalat. Hadirkanlah pemahaman dalam hatimu ketika engkau membaca الْحَمْدُ للّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Hadirkan dalam hati sifat kasih sayang Allah عزّوجلّ ketika engkau membaca الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ. Dan hadirkan keagungan Allah عزّوجلّ ketika membaca مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ. Dan demikian pada seluruh yang engkau baca.[16]
- Surat al-Fatihah
Firman Allah عزّوجلّ: الْحَمْدُ للّهِ : pujian seorang hamba kepada Rabbul ‘alamin. Pujian yang teruntuk kepada Allah عزّوجلّ atas segala kesempurnaan-Nya. Maka tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Seluruhnya tunduk dan khusyuk kepada Allah عزّوجلّ, memuji dan mengagungkan-Nya. Allah عزّوجلّ berfirman:
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورً
Yang artinya : “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah, Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pe-ngampun.[17]
Firman Allah عزّوجلّ: رَبِّ الْعَالَمِينَ ‘Rabb semesta alam’ yang maha berdiri sendiri atas segala sesuatu. Allah عزّوجلّ satu-satunya yang maha mengatur. Seluruh pengaturan berada di tangan-Nya. Tidak ada yang dapat mencegah terhadap pemberian Allah عزّوجلّ, dan tidak ada yang bisa mendapatkan jika dicegah oleh Allah عزّوجلّ.
Firman Allah عزّوجلّ: الرَّحْمـنِ الرَّحِيمِ ‘Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang’, Rabb yang maha memberikan kebaikan kepada makhluk-Nya dengan segala jenis kebaikan. Rahmat dan kasih sayang Allah عزّوجلّ meliputi segala sesuatu.
Firman Allah عزّوجلّ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ : persaksian bahwa Allah عزّوجلّ yang maha menguasai hari pembalasan. Persaksian bahwa Dialah yang maha merajai segala sesuatu. Semua makhluk tunduk dan hina terhadap kebesaran dan keagungan Allah عزّوجلّ.
Firman Allah عزّوجلّ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ‘Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan’. Dalam ayat ini ada rahasia di dalam penciptaan, perintah, dan rahasia dunia dan akhirat. Ayat ini mengandung tujuan yang mulia dan sarana yang paling baik. Tujuan yang paling mulia adalah ibadah kepada-Nya dan sarana yang paling baik adalah memohon pertolongan kepada-Nya. Maka tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah عزّوجلّ, dan tidak ada yang dapat menolong untuk beribadah kepada-Nya kecuali Allah عزّوجلّ.
Firman Allah عزّوجلّ: اهدِنَــــا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ ‘Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus’ yaitu kebutuhan yang sangat darurat akan masalah ini. Permohonan jalan yang lurus adalah kebutuhan di setiap hembusan napas dan kedipan mata. Permintaan ini tidak sempurna kecuali dengan meraih hidayah dari Allah عزّوجلّ yang bisa mengantarkan ke tujuan.
Firman Allah عزّوجلّ: صِرَاطَ الَّذِينَ أَنعَمتَ عَلَيهِمْ ‘Jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat’, yaitu yang berhak meraih hidayah Allah عزّوجلّ berupa jalan yang lurus hanya untuk orang-orang istimewa yang mendapatkan nikmat-Nya. Dalam ayat lain mereka yang diberi nikmat adalah:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
Yang artinya : Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.[18]
Firman Allah عزّوجلّ: غَيرِ المَغضُوبِ عَلَيهِمْ ‘Bukan orang-orang yang dimurkai’ yaitu orang-orang yang mengetahui kebenaran tetapi tidak mengikutinya.
Firman Allah عزّوجلّ: وَلاَ الضَّالِّينَ ‘Bukan orang-orang yang tersesat’ yaitu orang-orang yang beribadah kepada Allah عزّوجلّ tanpa ilmu.
Diringkas oleh : Jeffri pamungkas setiawan
Sumber : “Meresapi Kenikmatan Shalat” Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Lukman dari Majalah Al-Furqon, No.136 Edisi 136 Th ke-12
[1] Hr. Muslim: 34.
[2] Hr. Bukhari: 16, Muslim: 43.
[3] Hr. Bukhari: 5363.
[4] Hr. Bukhari: 615, Muslim: 437.
[5] Hr. Bukhari: 1142, Muslim: 776.
[6] Hr. Bukhari: 1135, Muslim: 773.
[7] Fathul Bari 3/19.
[8] Ahmad Bin Abdirrahman Al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin Hlm. 42-44.
[9] Qs Al-Hajj [22]: 37
[10] Hr. Bukhari: 366, Muslim: 556.
[11] Ibnul Qayyim, Miftah Dar As-Sa’adah 2/320
[12] Ibnul Qayyim, Ash-Shalat Wa Hukmu Tarikiha Hlm. 200-218; Ahmad Bin Abdirrahman Al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin Hlm. 44; Dr. Sa’id Bin Ali Wahf Al-Qahthani, Al-Khusyu’ Fish Shalat Hlm. 266-323.
[13] Ibnul Qayyim, Ash-Shalat Wa Hukmu Tarikiha Hlm. 201
[14] QS al-Mu’minun [23]: 1-2
[15] Ibnul Qayyim, Ash-Shalat Wa Hukmu Tarikiha Hlm. 201.
[16] Ahmad Bin Abdirrahman Al-Maqdisi, Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin Hlm. 44.
[17] QS al-Isra’ [17]: 44
[18] QS an-Nisa’ [4]: 69
BACA JUGA :
Leave a Reply