Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

SURAT TERBUKA UNTUK PARA SUAMI (BAGIAN 3)

surat terbuka untuk para suami-bagian 3

Surat Terbuka untuk para Suami – Setelah sebelumnya telah membahas pada bab Merancang Kebahagiaan sebelum Pernikahan, sudah dibahas diantara bentuk persiapan itu adalah 1. Perbaikilah dirimu dan berhiaslah dengan pakaian takwa, 2. Luruskan niatmu, 3. Pilihlah calon istri yang shalihah dan taat beragama, 4. Pilihlah wanita yang subur dan penyayang. Untuk pembahasan lengkap sebelumnya bisa dibaca pada tautan ini: Surat Terbuka untk Para Suami (Bagian 2)

5. Nazhar

Pelaksanaan nazhar atau melihat calon mempelai wanita akan lebih mendorong penerimaan dan lebih melanggengkan kasih sayang. Demikian juga dapat menghindarkan berbagai hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Berapa banyak rumah tangga yang tercerai berai ikatannya padahal masih melewati bulan-bulan awal pernikahannya; disebabkan tidak adanya kecocokan hati antara suami dan istri.

Pedoman hati, petunjuk, dan utusannya adalah nazhar (melihat calon istri). Maka itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada al-Mughirah radhiallahu ‘anhuma yang telah meminang seorang wanita:

(( أُنْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا. ))

Artinya: “Pergi dan lihatlah wanita itu, karena yang demikian bisa lebih mengekalkan cinta di antara kalian berdua.”

Al-Mughirah berkata: “Aku pun melihatnya, lalu menikahinya. Dan tidak ada seorang pun perempuan yang menyamai kedudukannya di sisiku.”[1]

Al-A’masy berkata: “Setiap pernikahan yang terjadi tanpa nazhar akan berujung pada kesedihan dan kepiluan.”

6. Kecantikan itu perlu tapi bukan segalanya

Kecantikan, walau bukan perkara yang fundamental, tetap perlu diperhitungkan. Oleh karean itu, syariat menganjurkan sebab-sebab yang bisa menumbuhkan kasih sayang dengan membolehkan pria melihat calon istrinya.

Kecantikan bagi seorang wanita, kalau tidak terpelihara dengan lingkungan yang beragama dan terdidik dengan pendidikan yang benar serta keturunan yang baik, bisa menjadi malapetaka. Sebab, orang-orang fasik akan berambisi mendapatkan dirinya. Kehormatannya pun semakin mudah dilecehkan, sehingga bisa menyeretnya ke lembah kenistaan dan kekejian tanpa peduli bahwa hal itu bisa menyebabkan hancurnya rumah tangga, dan bisa mengotori kesuciannya dengan cacat dan cela.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Seperti yang sudah dimaklumi bahwa kecantikan wanita itu ada dua macam; kecantikan lahir dan kecantikan batin. Kecantikan lahir adalah kesempurnaan fisik; karena apabila seorang wanita itu cantik parasnya dan baik tutur katanya, mata pun sedap memandangnya, telinga nyaman mendengar tutur katanya, hati akan terbuka, dada terasa lapang, dan jiwa akan merasa tenang. Sehingga ia dapat mewujudkan firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (21)

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (Kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir).” (QS. Ar-Rum[30]: 21)

Kecantikan batin adalah kesempurnaan agama dan akhlak. Semakin taat seseorang wanita dalam agama dan akhlak. Semakin taat seorang wanita dalam agama dan semakin sempurnya akhlaknya, maka semakin disukai jiwa. Wanita yang taat beragama akan melaksanakan perintah Allah dan menjaga hak-hak suami, hak ranjang, juga anak-anak dan hartanya, membantu suami dalam menaati-Nya. Jika suami lupa ia mengingatkannya, apabila suami marah ia berusaha membuatnya tenang.”

7. Jangan lupa istikharah

Untuk menjatuhkan pilihan, hendaklah engkau mempertimbangkannya dengan pikiran yang sehat dan bermusyawarah dengan orang yang engkau pandang layak, dan beristikharahlah kepada Allah. Karena shalat istikharah adalah ibadah kepada Allah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sekalipun tidak ada hubungan antara istikharah dengan proses nazhar (melihat calon istri), atau dengan pertimbangan akan dan musyawarah, namun hendaknya engkau laksanakan semua proses itu dengan sempurna. Jika pernikahan itu terjadi, maka itu semua terjadi berdasarkan ilmu dan kekuasaan Allah. Dan jika pernikahan urung terjadi maka itulah yang terbaik menurut ilmu Allah dan kekuasaan (takdir)-Nya.

 

8. Jauhilah segala perkara yang mengundang kemurkaan Allah

Diantara perkara itu adalah:

  1. Pacaran sebelum menikah

Inilah perkara dosa yang dianggap biasa oleh kebanyakan orang zaman sekarang. Padahal ini adalah perbuatan yang melanggar rambu-rambu syariat dan mengundang kemurkaan Allah. Sebab, perbuatan ini pasti akan berujung pada perbuatan khalwat (berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahram), ikhtilath (percampurbauran antara laki-laki dan perempuan), zina mata, zina tangan, zina hati, bahkan bisa berujung pada perzinaan yang sebenarnya, wal ‘iyadzu billah.

  1. Pertunangan

Proses pertunangan sebelum menikah adalah hal yang tidak dikenal dalam syariat. Lebih parah lagi jika pertunangan yang hanya merupakan janji untuk sebuah pernikahan, dianggap sebagai sebuah sarana untuk menghalalkan perkara-perkara yang sebelumnya haram; seperti berdua-duaan, bersentuhan, dan lain sebagainya.

  1. Pesta pernikahan

Mengadakan pesta pernikahan dapat mengundang berbagai kemungkaran, seperti klenik atau ramalan-ramalan yang berkaitan dengan pernikahan, memaksakan diri dalam penyelenggaraan pesta pernikahan, berlebih-lebihan dan mubadzir, menggelar musik dan lagu, mengundang biduanita, serta percampurbauran tamu laki-laki dan wanita.

Suami Adalah Pemimpin

Ibarat kata pepatah, bahtera yang memiliki dua nahkoda pasti akan karam. Demikian juga dengan bahtera rumah tangga. Agar bahtera dan segenap orang yang menumpanginya selamat sampai tujuan, maka tidak boleh ada dua nahkoda dalam satu bahtera. Dan ingatlah bahwa nahkoda bagi bahtera rumah tangga adalah suami. Engkaulah yang berhak menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ

Artinya: “Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS. An-Nisa[4]: 34)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

(( وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيءته وهو مسءول عن رعيته. ))

Artinya: “Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan ditanya tentang mereka.”[2]

Kepemimpian disini maksudnya adalah tanggung jawab. Lelaki adalah pemimpin pertama dalam urusan rumah tangga, ia ibarat nahkoda kapal atau panglima dalam rumah tangga.

Adalah sebuah kesalahan fatal jika suami menyerahkan kepemimpinan ini kepada istri. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة. ))

Artinya: “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan (kepemimpinan) mereka kepada wanita.”[3]

1. Jadilah seorang pemimpin yang bijak dan penuh kasih sayang

yaitu pemimpin rumah tangga yang jauh dari sifat diktator, otoriter, serakah, dan mau menang sendiri. Tidak kasar dan pantang menyia-nyiakan kewajiban. Pemimpin yang tidak menuntut hak lebih banyak dari yang semestinya. Bahkan, ia lapang dada jika hak yang semestinya ia dapatkan ternyata kurang dari porsi yang seharusnya.

Seorang pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang lapang dada menerima kritikan dan bersedia memperbaiki kesalahan. Inilah sifat ksatria sejati. Jauhilah sifat pengecut dan kekanak-kanakan. Suami pengecut adalah suami yang tidak siap menerima kritikan dan enggan memperbaiki diri. Suami kekanak-kanakan adalah suami yang menonjolkan sikap egois, pantang mengakui kesalahan dan enggan mengungkapkan kata “maaf”.

2. Pentingnya kerja sama dan tolong menolong

Istrimu adalah mitra kerjamu, maka perlakukanlah ia sebagai sahabat tercinta, bukan pembantu atau budak sahaya. Rendahkan dirimu dan buang jauh-jauh kesombonganmu. Ketahuilah, bersikap rendah hati tidak akan mengurangi kewibawaanmu, bahkan akan menambah kemuliaan, kehormatan, dan harga dirimu.

Hidupkanlah sikap saling tolong-menolong di antara kalian berdua atas dasar kebenaran dan keikhlasan, dalam kebaikan dan ketakwaan.

Ketahuilah bahwa ada beberapa urusan yang menjadi tanggung jawab suami secara khusus. Kendati demikian, istri tidak dilarang untuk membantu menunaikannya, asalkan ia tidak melalaikan kewajiban utamanya sebagai seorang istri.

Adapula urusan yang menjadi tanggung jawab istri secara khusus. Namun demikian, suami juga tidak dilarang ikut membantunya sepanjang tidak mengganggu kewajiban utamanya sebagai seorang suami.

Tanggung jawab istri adalah melayani suami dan mengatur urusan internal rumah tangga.

Alangkah bahagianya seorang istri jika suami bersedia membantu meringankan beban istrinya. Dan itulah yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sekalipun bantuan itu sepele, namun itu sangat besar nilainya. Istrimu akan semakin merasakan kepemimpinan dan kemampuanmu, serta keberadaanmu sebagai pemegang kendali keluarga. Bantuan adalah bukti kasih sayang, dan akan mendatangkan kebahagiaan. Pepatah mengatakan: “Pemimpin umat adalah pelayannya.”

3. Musyawarah

Berusalah untuk selalu bermusyawarah dengan istrimu, karena hal itu mengandung kebaikan yang melimpah ruah dan dapat membangun kebahagiaan di antara kalian berdua. Dengan musyawarah akan tercipta ketenangan dalam hati istrimu, dan ia pun akan merasa dihargai.

Ketika engkau menempatkannya pada kedudukan yang sepadan, niscaya akan semakin hangat hubungan cinta kasih antara kalian berdua.

Musyawarah membuat istrimu merasa ikut memiliki tanggung jawab, sehingga akan mengasah kemampuan berpikirnya untuk mengatur urusan yang lebih besar.

Rasulullah adalah sosok suami yang senantiasa menghargai pendapat istrinya. Tidak ada sedikit pun sikap meremehkan atau mengabaikannya.

Hindarilah sikap dan tingkah laku mencurigakan dan penuh teka-teki di hadapan istrimu. Libatkanlah ia dalam setiap urusanmu dan biarkanlah ia mengetahuinya dalam batas-batas yang memungkinkan. Bila ada sesuatu yang harus dirahasiakan, kemaslah dengan sesuatu yang dapat menggantikannya untuk menghilangkan perasaan diasingkan. Dengan demikian engkau akan tetap memperoleh kepercayaan dan kasih sayang darinya, selain engkau akan tetap dapat mewujudkan kebahagiaannya. Renungkanlah kembali dan camkanlah, kemudian amalkanlah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai sebaik-baik suami dan pemimpin.

4. Berlaku adil

Yaitu bagi suami yang memiliki istri lebih dari satu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(( من كانت له امرأتان فمال مع إحدا هما على الأخرى جاء يوم القيامة وأحد شقيه ساقط. ))

Artinya:

“Barangsiapa memiliki dua istri, lalu ia lebih condong kepada salah satu dari keduanya, ia akan datang pada hari kiamat dalam kondisi separuh badannya timpang.”[4]

Haram bagi seorang suami berlaku aniaya dengan mengistimewakan salah satu istrinya dan menyia-nyiakan yang lainnya. Ini adalah kezhaliman yang nyata.

Ingatlah! Kezhaliman adalah ‘kegelapan’ pada hari kiamat. Keadaan paling buruk yang dialami seorang istri adalah ketika ia dizhalimi oleh suaminya. Sebab, kezhaliman yang dialaminya itu datang dari orang yang paling dicintainya. Ingatlah bahwa doa orang yang dizhalimi itu mustajab. Tidak ada hijab atau penghalang antara doa orang yang dizhalimi dengan Rabbu Alamin. Maka hendaknya suami bertakwa kepada Allah dalam memperhatikan istrinya, dan hendaknya ia takut terhadap doa seperti ini.

 

Adil yang dimaksud adalah dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan pergaulan yang baik. Inilah yang dianjurkan dan yang dimungkinkan dapat dilaksanakan. Sebab, dalam hal cinta dan kecenderungan hati kepada masing-masing istri, tentu sangat sulit bagi suami untuk menyamaratakannya dalam hitungan angka yang sama. Kendati demikian, hendaknya suami tetap mengusahakannya.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَن تَسْتَطِيعُوٓا۟ أَن تَعْدِلُوا۟ بَيْنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا۟ كُلَّ ٱلْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِن تُصْلِحُوا۟ وَتَتَّقُوا۟ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَّحِيمًا (129)

Artinya: “Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah maha pengampun, maha Penyayang.” (QS. An-Nisa[4]: 129)

5. Ketegasan bukan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)

Sebagai pemimpin, engkau perlu memiliki ketegasan, agar kehidupan rumah tangga dapat berjalan dengan baik, sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa adanya ketegasan, bisa jadi anggota keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Sehingga hilanglah disyariatkannya kepemimpinan dalam rumah tangga. Keberadaan suami dan ayah menjadi tidak berarti dan tanggaung jawa yang telah diamanatkan kepadanya tidak akan terealisasi.

Namun diingat, ketegasan yang dilakukan suami selaku kepala keluarga harus mempertimbangkan asas manfaat dan akibat permasalahan yang terjadi. Jadikanlah ketegasan itu sebagai obat dalam mencegah munculnya nusyuz (pembangkangan) dan pelanggaran syariat di rumah tangga. Dan bukan sebaliknya, ketegasan direalisasikan dalam bentuk kekerasan dalam rumah tangga.

Di dalam rumah yang diselimuti kekerasan, seorang suami berubah menjadi algojo, dan seorang ayah berubah menjadi sipir rumah tahanan. Istri dan anak-anak menjadi sasaran kekesalan dan korban penderitaan.

Kehidupan buruk macam apa yang lebih celaka daripada kehidupan seperti ini? Ketenangan macam apa yang bisa dirasakan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan dan kebengisan, serta dihuni oleh orang-orang yang bengis dan kejam?

Kebahagiaan macam apa yang didapatkan dalam keluarga yang anggotanya saling bertikai dan bertengkar, yang sebelumnya saling bertatap muka namun kemudian saling membelakangi?

Sesungguhnya itu adalah kehidupan yang membuat orang yang menjalaninya lebih mirip disebut sebagai tahanan seumur hidup, yang dibebani berbagai kewajiban yang menyiksa di antara cakar dan taring biatang buas kejam! Begitulah nasib orang-orang malang yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“muslim sejati adalah yang kaum muslimin lainnya selamat dari (kejahatan) lidah dan tangannya. Dan yang disebut muhajid itu adalah orang yang meninggalkan semua larangan Allah.”[5]

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

“orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan orang terbaik di antara kalian ialah yang paling baik akhlaknya terhadap istrinya.”[6]

Jadi betapa malang istri yang seharusya disayangi, diperhatikan, dan dikasihani serta diperlakukan dengan lemah-lembut, justru ditindas, disakiti hatinya, dijatuhkan harga dirinya, diusik ketenangannya, dihilangkan dari kebahagiaanyya, dan diabaikan haknya dengan serangkaian tidak kekerasan yang tiada tara. Kekerasan yang melampaui batas yang bisa dibayangkan di segala kondisinya.

Seorang suami yang baik tentu akan menjauhi semua itu. Sebab, dalam hatinya telah tertanam kuat wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan kaum wanita. Karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah, dan mengambil mereka dengan amanah Allah, dan menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah.”[7]

 

insyaAllah bersambung ke bagian berikutnya …

 

REFERENSI:

diringkas dari buku: Surat Terbuka untuk Para Suami

Penulis: Abu Ihsan al-Atsari & Ummu Ihsan Choiriyah

Peringkas: Abu Muhammad Fauzan (Staf Ponpes Darul-Qur’an Wal-Hadits OKU Timur

[1] Hadits shahih, dishahihkan oleh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah (no. 96)

[2] Hadits riwayat al-Bukhari dalam Shahih-nya (no.893) dan Muslim (no.4828).

[3] Hadits riwayat al-Bukhari (no.4425), dari Abu Bakrah.

[4] Hadits shahih riwayat Abu Dawud (no.2133), at-Tirmidzi (no.1141), an-Nasai (VII/63), ibnu Majah (no. 1969), Ahmad (II147 dan 471), dari Abu Hurairah.

[5] Hadits riwayat al-Bukhari (1/10)

[6] Hadits riwayat at-Tirmidzi (no.1162). dishahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya, Silsilah ash-Shahihah (no. 284)

[7] Hadits shahih riwayat muslim (no.3009)

 

BACA JUGA:

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.