Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Biografi Imam Syafi’i

Biografi Imam Syafii
Imam Syafii

Oleh: Ustadz Luthfi bin Muhammad Yasin.

Imam kita yang masyhur ini memiliki silsilah lengkap Muhammad bin Idris bin Al Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Muthalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab Bin Lu’ay bin Ghalib¹.  Adz Dzahaby menambahkan bahwa Syafi’, kakek moyang Imam Syafi’i masih bertemu Nabi dan tergolong Shigar Shahabat (Sahabat yunior), sedangkan anaknya yaitu Utsman tergolong generasi Tabi’in². Barangkali karena kakek moyang Imam Syafi’i yaitu Syafi’ ini yang tergolong shahabat maka penisbatan inilah yang masyhur dipakai walaupun seringkali Imam Syafi’i juga diberi tambahan nisbat Muthalibi karena di bapaknya Muthalib ini yaitu Abdu Manaf nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah Shalallahu ’alaihi wasalam.

Ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza yang sekarang masuk daerah Palestina, ayah Imam Syafi’i yaitu Idris meninggal muda ketika ia masih kecil sehingga ibunya membawanya pindah ke Makkah ketika beliau berusia dua tahun agar nasab Qurays beliau tidak hilang.

Imam Syafi’i belajar fiqih dari Muslim bin Zanjy yang menjadi mufti Makkah pada waktu itu, Muslim ini termasuk murid dari Ibnu Juraij, seorang tabi’in yang termasuk murid dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu.

Guru beliau yang lain adalah Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas (179 H), beliau menghafal al Qur’an pada usia 7 tahun.Beliau menghafal al-Muwatha’ Imam Malik pada usia 10 tahun. Beliau berfatwa ketika berumur 15 atau menurut riwayat lain 18 tahun, setelah diizinkan oleh gurunya Muslim bin Khalid Az Zanjy.

Hal yang unik juga dari biografi Imam madzhab yang empat bahwa kunyah dari Imam empat ini semuanya memakai Abu Abdullah kecuali Abu Hanifah, karena nama asli beliau adalah An Nu’man bin Tsabit At Taimy yang meninggal tahun 150 H, dimana pada tahun itu juga Abu Abdullah Imam Syafi’i lahir.

Imam Syafi’ii sangat memperhatikan sunnah, terdapat banyak sekali riwayat yang menunjukkan akan hal ini, diantaranya beliau mengatakan “Jika hadist itu shahih maka itu adalah madzhab saya”, dalam kesempatan yang lain beliau mengatakan kepada Imam Ahmad: “Anda lebih mengetahui khobar (hadist) yang shahih, jika ada khobar yang shohih beritahukan saya hingga saya berpendapat dengannya baik dengan jalan (periwayatan) orang-orang Kufah, Bashrah, atau Syam”.

Rabi’ bin Sulaiman al-Masry yang termasuk shahabat dekat Syafi’i pernah mendengar bahwasannay Iman Syafi’ii mengatakan: “jika kalian dapati dalam kitab ku yang menyelisihi sunah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam, maka ambillah sunnah tadi dan tinggalkanlah apa yang aku katakan”.

Suatu waktu ada seorang lelaki berkata kepadanya apakah Anda akan mengambil hadits ini wahai Abu Abdullah? Ia menjawab: “kapan saya meriwayatkan hadits dari Rasulullah dan saya tidak berpendapat dengannya, (kalau hal itu terjadi) maka saksikanlah bahwa akal saya telah hilang”.

Abu Tsaur mengatakan: “Syafi’i pernah mengatakan setiap hadits yang berasal dari Rasulullah shalalllahu alaihi wasallam itu adalah pendapat saya walaupun kalian belum mendengarnya dari saya”.

Nukilan diatas menunjukkan konsistennya Syafi’i terhadap sunnah, tidak heran beliau memuji orang yang berpegang dengan sunnah. Beliau mengatakan tentang ashabul hadist, jika saya melihat seseorang ashabul hadist seakan-akan saya melihat shahabat Nabi, semoga Allah Ta’ala melimpahkan balasan kebaikan, (karena) mereka menjaga pokok (agama) bagi kita, dan mereka lebih mulia daripada kita.

Syafi’i dalam kesempatan lain berkata: “hendaklah engkau mengambil dari ashabul hadist, karena mereka orang yang paling banyak kebenarannya”.

Kita mengatakan bahwa riwayat yang begitu banyak ini menunjukan akan pentingnya tholabul ilmi dan mencari dalil, bukan sekedar taklid buta dan membeo perkataan orang lain tanpa di cek dahulu kebenarannya karena pentingnya ilmu sebelum perkataan dan perbuatan. Hal ini juga menjadi hujjah bagi siapa pun yang mengaku sebagai pengikutnya Imam Syafi’i dimana pun dia berada yang hanya mengambil sebagian dari perkataannya Imam Syafi’i dan meninggalkan perkataannya yang lain hal yang paling nampak adalah orang yang mengakuti madzhab Imam Syafi’i akan tetapi aqidahnya Asy’ari padahal aqidah Imam Syafi’i adalah ahlussunnah wal jamaah yang sesuai dengan dalil baik dari Al Qur’an, sunnah, maupun perkataan salafusunnah. Kemudian kalau orang tersebut jujur dan konsisten mengikuti Imam Syafi’i maka ia harus mengikuti aqidahnya Imam Syafi’i .

Ulama bersepakat akan kedalaman ilmunya dan keImamannya karena itu Ibrahim Al Harby ketika bertanya kepada Imam Ahmad tentang Syafi’i beliau menjawab: “hadits shahih dan pendapat yang shahih”. Begitu juga Abu Zur’ah Arrozi mengatakan: “tidak ada hadits yang salah di pahami oleh Syafi’i, karena itu Abu Daud mengatakan: “saya tidak melihat Abu Abdullah (Imam Ahmad) cenderung kepada seseorang seperti kecenderungannya kepada Syafi’I”.

Imam Syafi’i termasuk Imam yang produktif menulis, diantaranya bukunya yang paling terkenal adalah Ar Risalah, yang dianggap sebagai buku pertama tentang Ushul Fiqh. Tidak heran beliau dianggap sebagai peletak awal Ushul Fiqh. Buku itu ditulis karena Abdurrahman bin Mahdi (gurunya Imam Bukhari) menulis kepada Syafi’i yang ketika itu masih muda untuk menulis buku tentang makna-makna Al-Qur’an kemudian mengumpulkan hadits-hadits yang maqbul dan hujjahnya ijma’ dan penjelasan nasikh dan mansukh maka kemudian Syafi’i menuliskan kitabnya monumental yang berjudul Ar Risalah.

Ali al-Madini pernah mengatakan: “hendaklah kalian mengambil kitab-kitab Imam Syafi’I”. Ibnu Warot mengatakan: “saya datang dari Mesir kemudian saya mendatangi Ahmad bin Hanbal beliau mengatakan kepada saya apakah engkau menyalin kitab-kitab Imam Syafi’i?”. Saya menjawab: “tidak”, beliau mengatakan: “engkau telah menyepelekan, kami tidak mengetahui yang umum dan yang khusus, nasikh dan mansukh hadits sampai kami duduk bersama Syafi’i, maka hal itu mendorong saya untuk kembali ke Mesir dan saya menuliskan kitab-kitab Imam Syafi’I”.

Imam Syafi’i sebagai ulama besar sangat memeperhatikan usaha thalabul ilmi. Karena itu beliau menyampaikan kata-kata hikmah sebagaimana yang diriwatkan dari Muzany bahwa Syafi’i mengatakan: “Barangsiapa belajar Al Qur’an maka posisinya agung, barangsiapa yang berbicara dalam Fiqh maka akan berkembang (baik) derajatnya, barangsiapa yang menuliskan hadist maka hujjahnya menjadi kuat, barangsiapa belajar lughah (Bahasa Arab) tabiatnya semakin meningkat (baik), barangsiapa yang belajat Ilmu Hisab akan lancar pendapatnya dan barangsiapa yang tidak menjaga dirinya tidak akan bermanfaat  ilmunya.

Dorongan beliau terhadap thalabul ilmi ini menjadikan beliau sampai mengatakan bahwa  thalabul ilmi itu lebih afdol dari shalat nafilah (sunnah, pent.), Kita mengatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan demikian karena ibadah harus dilandasi dengan ilmu yang benar, sehingga usaha untuk mendapatkan ilmu lebih penting daripada shalat. Akan tetapi kita memahami bahwa ilmu itu akan berbuah manis jika pemiliknya mengamalkan ilmunya. Wallahua’lam.

Penghargaan thalibul ilmi terhadap waktu menunjukkan kesungguhannya dalam belajar, karena itu Rabi’ bin Sulaiman ketika menyampaikan bagaimana penghargaan Syafi’i terhadap waktu dengan mengatakan bahwa Syafi’i membagi malamnya menjadi tiga bagian: sepertiga pertama untuk menulis, sepertiga kedua untuk shalat (tahajjud), dan sepertiga ketiga untuk untuk tidur.

Thalibul ilmi yang teladan selalu menjaga dirinya, karena itu Imam Syafi’i menjadi contoh yang agung dalam hal ini. Ibnu Abi Hatim dari Rabi’ bin Sulaiman bahwa Syafi’i mengatakan bahwa: Saya tidak pernah makan kenyang sejak 16 tahun kecuali sekali, kemudian saya masukkan tangan saya dan saya muntahkan. Beliau juga menambahkan dalam riwayat yang lain bahwa kenyang dapat membuat badan berat (untuk beraktifitas), menjadikan hati kasar, menghilangkan kecerdasan dan melemahkan dari ibadah.

Nasehat Imam tidak hanya terhenti sampai disitu, beliau mengajarkan keikhlasan kepada kita dengan menyampaikan perkataannya yang hikmah ketika Syafi’i  berkata kepada Yunus bin Abdul A’la: “Keridhoan manusia tujuan yang tak akan bisa tercapai, dan tidak ada jalan keselamatan dari (ridha) mereka, karena hendaklah engkau berusaha untuk hal yang bermanfaat bagimu dan berkonsistenlah dalam  hal tersebut”.

Kata mutiara lain yang beliau dalam hal ini adalah perkataan beliau: “jika engkau takut ujub (pamer) dalam amalmu maka sebutkan ridha orang yang engkau cari (ridhanya),  nikmat apa yang akan engkau dapatkan, siksaan apa yang engkau takutkan. Barangsiapa yang berpikir hal itu amalannya akan menjadi kecil di matanya”.

Kesimpulan kita bahwa Imam Syafi’i adalah benar-benar Imam yang mampu menerangi dunia dengan ilmu yang bisa kita rasakan hingga sekarang ini, tidak mengherankan sudah tidak terhitung banyaknya ulama yang  memuji beliau. Ulama besar sekaliber Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Sa’id Al Qaththan dan Imam Ahlussunah Ahmad bin Hanbal mendoakan kebaikan untuk Imam Syafi’i bahkan Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Imam Ahmad mendoakan Imam Syafi’i selama sekitar 40 tahun.

Semoga Allah merahmati Imam Syafi’i dan ulama kaum muslimin dan kita dikaruniai kemampuan untuk meneladani kemuliaan ulama kita.

Imam Syafi’i meninggal pada hari kamis atau Jum’at menurut riwayat lain pada akhir hari bulan Rajab 204 H menurut Ibnu Katsir³. Wallahua’lam.

(Biografi ini akan kita kita sarikan dari Bidayah wa Nihayah milik Ibnu Katsir dan Siyar A’lam milik Dzahaby).

¹ Adz Dzahaby, Siyar A’lam An Nubala Tahqiq Khoiri Sa’id. Kairo: 2008. Maktabah Tawfiqiyyah 8/379..

² Ibid 8/381.

³ Bidayah wa Nihayah, Ibnu Katsir10/330.


Sumber: Majalah Lentera Qolbu, tahun ke-4 edisi ke-8

Sumber gambar: Fans Page Biografi Ulama Ahlus Sunnah

Be the first to comment

Ajukan Pertanyaan atau Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.