Pondok Pesantren Darul Qur'an Wal-Hadits Martapura OKU

Berhati-hati dalam Menjaga Harta Anak Yatim

Oleh: Said Yai bin Imanul Huda, M.A.

Kapankah saat yang tepat untuk menyerahkan harta kepada anak yatim? Apakah boleh memakan harta anak yatim? Apakah ada perselisihan ulama di dalamnya? Temukan jawabannya pada artikel ini.

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS An-Nisa’: 6)

TAFSIR RINGKAS

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.

Allah ta’ala telah memerintahkan kepada menguji anak-anak yatim jika mereka telah sampai kepada umur yang cerdas (dalam mengelola harta) atau ketika mereka akan mencapai usia baligh, mereka diberikan sebagian harta kemudian mereka diminta untuk berjual beli. Apabila didapatkan dari diri mereka kebaikan dalam mengelola harta maka para walinya pun memberikan harta anak-anak yatim tersebut kepada mereka, dan cukuplah Allah yang menjadi saksinya.

Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.

Allah juga melarang wali anak yatim untuk memakan dari harta-harta anak yatim lebih dari batas kewajaran dan tergesa-gesa. Dan Allah ingin agar para wali dan orang-orang yang diwasiatkan untuk menjaga anak yatim tidak memakan harta-harta mereka dengan melampau batas kewajaran dari apa yang dibutuhkan olehnya atau bersegera dalam memberikan harta tersebut kepada anak yatim yang masih bodoh dalam menggunakan harta.

Barang siapa (di antara pemelihara itu) kaya (mampu), maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Allah memberikan petunjuk terbaik kepada wali yatim dalam penggunakan harta anak yatim tersebut. Barang siapa yang kaya (mampu), maka dia menahan dirinya dari mengambil harta anak yatim dan tidak memakan darinya sedikit pun. Barang siapa yang miskin, maka dia hendaknya makan dengan cara yang wajar, caranya adalah dengan meminjam dari harta anak yatim tersebut, kemudian dia mengembalikannya jika mendapatkan kelapangan. Apabila wali tersebut adalah orang miskin, maka dia boleh mengambil uang jasa mengurus anak yatim tersebut secara wajar dan apabila wali tersebut adalah orang yang kaya, maka dia mengurus anak tersebut dengan tanpa bayaran dan dia mengharapkan ganjarannya dari Allah saja. Dan Allah tidak menyia-nyiakan ganjaran bagi orang yang baik amalannya.1

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.

Ini adalah petunjuk yang hukumnya sunnah dan bukan wajib. Wali yatim diperintahkan untuk mendatangkan saksi pada saat menyerahkan harta tersebut kepada anak yatim ketika dia baligh agar menghindari fitnah dan bisa memutuskan perkara jika terjadi perselisihan.

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Cukuplah Allah yang menjadi pembalas akan kebaikannya dan menjadi saksi apa yang telah dilakukannya.2

PENJABARAN AYAT

Firman Allah ta’ala:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.”

Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh untuk menguji atau mengecek anak yatim apabila dia sudah mencapai usia yang cukup untuk menikah.

Siapakah yang dimaksud dengan anak yatim?

Jumhur ahli tafsir mengatakan bahwa anak yatim adalah anak yang ayahnya telah meninggal dan belum baligh, apabila telah baligh maka tidak lagi dinamakan sebagai anak yatim. Hal ini juga sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ وَلاَ صُمَاتَ يَوْمٍ إِلَى اللَّيْلِ

Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada diam (tidak berbicara dengan menganggapnya sebagai ibadah) seharian sampai malam.”3

Begitu pula untuk yatiimah (anak yatim perempuan), maka dia tidak dinamakan yatim lagi setelah dia haidh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلامٍ ، وَلا يُتْمَ عَلَى جَارِيَةٍ إِذَا هِيَ حَاضَتْ

Tidak ada keyatiman setelah mimpi basah dan tidak ada keyatiman bagi anak perempuan apabila dia sudah haidh.”4

Kapankah anak kecil dianggap baligh?

Seorang anak dianggap baligh apabila:

  1. Telah mimpi basah (ihtilaam), termasuk di dalamnya keluar mani (inzaal) dengan sengaja.

  2. Telah berumur 15 tahun, menurut madzhab Imam Asy-Syafii dan Imam Ahmad, begitu pula Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan dari madzhab Imam Abi Hanifah.

  3. Telah haidh, untuk wanita.

  4. Terjadi kehamilan.

  5. Telah tumbuh bulu kemaluan, menurut pendapat yang kuat, karena sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Athiyyah Al-Quradzhi radhiallahu ‘anhu mengatakan:

كُنْتُ مِنْ سَبْىِ بَنِى قُرَيْظَةَ فَكَانُوا يَنْظُرُونَ فَمَنْ أَنْبَتَ الشَّعْرَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ لَمْ يُقْتَلْ فَكُنْتُ فِيمَنْ لَمْ يُنْبِتْ.

Dulu saya termasuk tawanan perang dari suku Bani Quraidzhah, dulu mereka (para sahabat) melihat (kami). Barang siapa yang telah tumbuh rambut (kemaluannya) maka dia dibunuh dan barang siapa yang belum tumbuh maka dia tidak dibunuh. Dan saya termasuk orang yang belum tumbuh (rambut kemaluanku).”5

Firman Allah ta’ala:

فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”

Apa yang dimaksud dengan cerdas/rusyd?

Yang dimaksud dengan cerdas/rusyd ( رشد )di sini adalah ke-shalih-an di dalam agama dan bisa menjaga harta-harta mereka. Inilah yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Jubair, Al-Hasan Al-Bashri dan lain-lain. Begitu juga yang dikatakan oleh para ahli fiqh, apabila seseorang sudah baligh dan dia baik di dalam agama dan (penjagaan) hartanya maka terlepaslah al-hajr (pembatasan harta) dari dirinya. Wali yatim menyerahkan kepadanya harta anak yatim tersebut kepadanya.6

Bagaimana menguji kecerdasannya?

Imam Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “Pengujian tersebut berbeda-beda sesuai keadaaan anak-anak yatim. Jika dia termasuk orang yang biasa bertransaksi di pasar, maka wali yatim menyerahkan sedikit modal kepadanya (untuk dia usahakan). Kemudian dilihat bagaimana perbuatan yang dia lakukan. Apabila dia tidak biasa bertransaksi di pasar, maka dia diuji dengan diberikan harta untuk membelanjakan nafkah rumah dan memberi nafkah kepada budak dan para pekerjanya. Wanita diuji dalam mengurus rumahnya dan bagaimana dia menjaga barangnya, begitu pula di dalam merajut (benang). Apabila wali yatim melihat kepiawaiannya dalam mengurus hal tersebut, perbuatan tersebut dilakukan berulang kali dan berat prasangkanya bahwa dia sudah memiliki kecerdasan, maka barulah diberikan harta tersebut kepada anak yatim.”7

Apa yang disebutkan oleh Imam Al-Baghawi hanyalah contoh saja. Untuk mengujinya maka bisa dengan berbagai cara sesuai keadaan anak yatim tersebut. Yang paling penting adalah dia sudah bisa mempertimbangkan baik-buruk, maslahat-mafsadat, bahaya-tidak bahaya penggunaan hartanya dan bisa mempertimbangkan resiko dengan baik dari penggunaan harta tersebut.

Kapankah diperbolehkan menyerahkan harta anak yatim kepada anak yatim?

Apabila telah diketahui anak tersebut telah memiliki ke-shalih-an di dalam agamanya dan cerdas atau baik di dalam mengelola dan menyimpan hartanya, maka tidak ada alasan yang membolehkan wali anak yatim yang menyimpan hartanya untuk menahan harta tersebut. Wali tersebut wajib menyerahkannya kepada anak yatim tersebut jika anak tersebut memintanya.

Akan tetapi jika ternyata anak tersebut sudah baligh tetapi belum memiliki kecerdasan untuk mengelola harta tetapi dia sudah shalih di dalam agamanya, maka menurut pendapat madzhab Malik, madzhab Asy-Syafii, madzhab Ahmad dan yang lainnya, harta anak tersebut tetap tidak boleh diberikan kepadanya karena dia belum mencapai kecerdasan yang disyaratkan pada ayat di atas. Sedangkan menurut madzhab Abi Hanifah anak tersebut tidak boleh dibatasi hartanya jika dia baligh, merdeka dan berakal, meskipun dia adalah orang yang paling fasiq dan sangat mubadzdzir (membuang-buang harta).8 Dalam hal ini pendapat Jumhurlah yang kuat.

Di dalam madzhab Asy-Syafi’i jika anak tersebut sudah pandai menggunakan harta tetapi tidak shalih di dalam agamanya, maka terdapat dua pendapat, yaitu: pendapat yang pertama dia tetap di-hajr (dibatasi penggunaan hartanya) dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abul-’Abbas bin Syuraih, dan pendapat yang kedua dia tidak di-hajr (dibatasi penggunaan hartanya) dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ishaq Al-Marwazi dan yang lebih kuat di dalam madzhab Asy-Syafi’i.9

Allahu a’lam pendapat inilah yang tepat, anak tersebut tidak lagi dibatasi penggunaan hartanya, karena seseorang apabila dia baligh, merdeka, berakal dan sudah bisa mengelola harta dengan baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan kepada walinya. Adapun mengenai penggunaan harta tersebut, apakah nanti akan dipakai untuk kebaikan atau keburukan, ketaatan atau kemaksiatan, maka ini adalah tanggung jawab anak tersebut sendiri di hadapan Allah dan bukan tanggung jawab sang wali.

Firman Allah ta’ala:

وَلَاتَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا

Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.”

Haram memakan harta anak yatim

Allah subhanahu wa ta’ala melarang kita memakan harta anak yatim dengan cara yang batil, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam ayat ini dan juga firman-Nya:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا

Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar.” (QS An-Nisa’: 2)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa’: 10)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ.

Jauhilah tujuh hal yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah! Apakah itu?” Beliau menjawab, “Berbuat syirik kepada Allah, sihir, membunuh nyawa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari perang yang berkecamuk dan menuduh berzina wanita suci mukminah yang sedang lalai.”10

Dalil-dalil di atas sangat jelas keharaman memakan harta anak yatim dengan cara yang batil. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berhati-hati dalam menjaganya dan jangan mencampurnya dengan harta milik kita, jika kita diberi amanah untuk menjaganya.

Jangan terburu-buru membelanjakannya

Maksudnya adalah jangan terburu-buru membelanjakan atau menggunakan harta anak yatim tersebut karena kalian takut mereka akan mencapai usia baligh sehingga kalian tidak mendapatkan manfaat dari harta anak yatim tersebut setelah kalian menyerahkannya kepadanya. Hal ini terlarang karena wali yatim sengaja memanfaatkan harta anak yatim tersebut dan sengaja mengundurkan pemberian harta tersebut kepada anak yatim tersebut sehingga bisa mendapatkan manfaat darinya.

Ibnu Zaid rahimahullah mengatakan, “Ini ditujukan kepada wali anak yatim. Dia makan bersama anak tersebut. Jika dia tidak mendapatkan sesuatu maka dia meletakkan tangan bersamanya. Kemudian dia pun mengakhirkan penyerahan harta tersebut dan berkata, ‘Saya tidak akan menyerahkan harta tersebut kepadanya.’ Dan engkau makan harta tersebut sekehendakmu, karena engkau jika belum menyerahkannya kepadanya, maka engkau masih memiliki bagian, sedangkan jika engkau telah menyerahkannya maka engkau tidak mendapatkan bagian.”11

Firman Allah ta’ala:

وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ

Barang siapa (di antara pemelihara itu) kaya (mampu), maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.”

Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang apa saja dari harta mereka yang halal untuk diambil. Allah memerintahkan orang kaya atau berkecukupan untuk tidak mengambilnya sama sekali, dan membolehkan wali yatim yang faqir atau miskin untuk mengambilnya dengan cara yang ma’ruuf (baik). Oleh karena itu, wali yatim harus benar-benar memperhatikan ini dan tidak menyepelekannya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيم إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.” (Al-Isra’: 34)

Allah menyuruh kita untuk menjauhi harta anak yatim dan tidak bermudah-mudah untuk memanfaatkannya.

Batasan kebolehan mengambil harta anak yatim

Jika wali yatim adalah seorang yang miskin, maka dia berhak untuk mengambil sebagian harta tersebut dengan cara yang ma’ruuf (baik). Lalu, apakah yang dinamakan dengan ma’ruuf di dalam ayat ini?

Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, di antara pendapat ulama tentang hal ini adalah sebagai berikut12:

  1. Yang dimaksud dengan ma’ruuf adalah utang. Wali yatim jika dia miskin dan membutuhkan harta anak yatim tersebut maka dia boleh mengambilnya sebagai utang yang nanti harus dia bayar ketika keadaannya lapang dan dia tidak berutang kecuali sesuai kadar kebutuhannya yang mendesak saja dan tidak boleh lebih dari itu. Ini adalah pendapat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Said bin Jubair, Asy-Sya’bi, Mujahid, Abul-’Aliyah dan Al-Auza’i.

Umar bin Al-Khattab radhiallahu ‘anhu mengatakan:

ألَا إنِّى أَنْزَلْتُ نَفْسِيْ مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ الوَلِي مِنْ مَالِ الْيَتِيْمِ، إِنِ اسْتَغْنَيْتُ اسْتَعْفَفْتُ، 

وَإِنْ افْتَقَرْتُ أَكَلْتُ بِالْمَعْرُوْفِ، فَإِذَا أَيْسَرْتُ قَضَيْتُ.

Sesungguhnya saya menempatkan diriku terhadap harta Allah, seperti saya menempatkan diri sebagai wali yatim dalam menjaga harta anak yatim. Apabila saya berkecukupan maka saya tidak akan menggunakannya. Tetapi apabila saya sedang dalam keadaan faqir, maka saya mengambilnya dengan cara yang ma’ruuf (baik). Apabila saya mendapatkan kelapangan maka saya akan membayarnya.”13

Umar radhiallahu ‘anhu menganggapnya sebagai utang yang harus dia bayar ketika dia mendapatkan kelapangan.

  1. Wali yatim yang miskin boleh mengambil harta tersebut untuk menutupi kelaparannya dan membeli pakaian untuk menutupi auratnya dan bukan untuk perhiasan, yaitu hanya sekedar upah pekerjaan yang dia lakukan untuk menjaga anak yatim dan dia tidak perlu menggantinya. Ini adalah pendapat Ibrahim An-Nakha’i, ‘Atha’, Al-Hasan Al-Bashri, Qatadah dan banyak ahli fiqh.

Qatadah mengatakan, “Wali yatim yang miskin tidak perlu mengganti apa yang dia makan dengan ma’ruuf (baik). Karena ini adalah hak orang yang mengurus anak yatim.”

Hasan Al-Bashri mengatakan, “Dia adalah makanan yang Allah berikan untuknya. Caranya adalah dia makan yang cukup untuk menutupi kelaparannya, memakai pakaian yang menutupi auratnya dan tidak memakai pakaian yang mahal yang terbuat dari sutra dan tidak pula yang sangat bagus.”

Menurut pendapat kedua ini, wali yatim tidak perlu mengembalikan harta yang diambilnya karena itu adalah hak wali yatim tersebut.

  1. Jika wali yatim ditunjuk oleh ayahnya maka dia boleh mengambilnya dengan tanpa harus berutang, sedangkan jika wali yatim tersebut ditunjuk oleh hakim atau pemerintah, maka dia hanya boleh mangambilnya dengan cara yang ma’ruuf dan berutang. Ini adalah pendapat Al-Hasan bin Shalih.

  1. Wali yatim tidak boleh mengambil sedikitpun dari harta anak yatim, baik dengan cara ma’ruuf ataupun tidak, karena ayat ini telah di-naskh (dihapus hukumnya) dengan ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan cara berjual beli yang didasari kerelaan di antara kalian.” (QS An-Nisa: 29)

Inilah yang dikatakan oleh Mujahid. Dan Zaid bin Aslam menambahkan bahwa rukhshah di dalam ayat ini dihapuskan dengan ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa’: 10)

Adapun yang dikatakan oleh orang yang membolehkan mengambilnya, maka kita tidak bisa menentukan besar imbalan atas jasa yang dia lakukan, karena jasa yang dilakukan oleh wali yatim sifatnya majhuul (tidak diketahui) atau tidak jelas, dan juga di dalamnya kita tidak mengetahui ada ke-ridha-an ataukah tidak di dalam mengambil harta tersebut.

Dan disebutkan pendapat-pendapat yang lain. Penulis hanya cukupkan dengan menyebutkan keempat pendapat ini saja.

Allahu a’lam dengan mengetahui khilaf (perselisihan) ulama di atas sudah sepantasnya kita berhati-hati dalam memanfaatkan harta anak yatim. Dan pendapat yang lebih dzhahir (tampak) adalah pendapat yang pertama, wali yatim yang miskin hanya boleh mengambilnya dalam keadaaan sangat membutuhkan dan itu pun dianggap sebagai utang yang harus dia kembalikan jika dia memiliki kelapangan untuk membayarnya. Karena kita tidak mengetahui ke-ridha-an yang memiliki harta walaupun harta yang diambil sangat sedikit dan akad dalam menerima imbalan jasa mengurusnya juga tidak jelas.

Adapun pendapat yang mengatakan ayat di atas telah dihapus hukumnya, maka ini membutuhkan dalil akan penghapusannya dan bukan dengan prasangka, sementara itu kita tidak mendapatkan dalil yang menunjukkan hal tersebut. Ditambah juga pendapat pertama ini didukung oleh perkataan sahabat dan banyak ahli tafsir di kalangan tabi’in.

Firman Allah ta’ala:

فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا

Kemudian apabila kalian menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kalian adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).”

Apabila kalian telah menyerahkan harta kepada mereka setelah mereka baligh dan memiliki kecerdasan dalam mengelola harta, maka ketika itu serahkanlah harta-harta mereka kepada mereka. Apabila kalian telah menyerahkan harta-harta kepada mereka maka datangkanlah saksi-saksi agar tidak terjadi pengingkaran dari mereka nantinya dan menjadi bukti atas penyerahan tersebut.

Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas atas penjagaan mereka terhadap harta anak yatim dan Pengawas ketika mereka menyerahkan harta tersebut kepada mereka.

Imam Al-Qurthubi menyebutkan pendapat lain tentang arti “adakan saksi-saksi”, beliau mengatakan, “ ’Umar bin Al-Khattab dan juga Ibnu Jubair memandang bahwa persaksian ini hanyalah dilakukan jika orang yang diwasiatkan (mengurus anak yatim tersebut) telah mendapatkan kelapangan untuk membayar utang yang dia ambil dari harta anak yatim tersebut ketika dia sedang miskin.”14

Islam sangat memperhatikan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika terjadi perselisihan di antara manusia, terutama mengenai harta. Oleh karena itu, Islam mengenal akad tautsiqah (pengikat kepercayaan) dan juga persaksian-persaksian, agar nantinya tidak ada yang dizalimi. Di dalam penyerahan harta anak yatim tersebut pun, sangat disarankan untuk mendatangkan saks-saksi agar jika nantinya anak yang menerima harta tersebut menyatakan harta yang diterimanya kurang, maka dia bisa menuntut dan memiliki bukti, begitu pula jika nantinya anak tersebut menuntut orang yang menjaga hartanya, maka orang yang menjaga hartanya pun bisa menunjukkan bukti penyerahannya.

KESIMPULAN

  1. Anak yatim adalah anak yang ayahnya telah meninggal dan belum baligh, apabila telah baligh maka tidak lagi dinamakan sebagai anak yatim.

  2. Apabila anak yatim telah baligh, merdeka, berakal dan sudah bisa mengelola harta dengan baik, maka anak tersebut memiliki hak untuk mengambil hartanya yang dititipkan kepada walinya.

  3. Wali yatim yang miskin hanya boleh mengambilnya dalam keadaaan sangat membutuhkan dan itupun dianggap sebagai utang yang harus dia kembalikan jika dia memiliki kelapangan untuk membayarnya.

  4. Disunnahkan ketika menyerahkan harta anak yatim kepadanya untuk mempersaksikannya kepada saksi-saksi agar menghindari perselisihan di kemudian hari.

SARAN

Jika seseorang merasa tidak mampu menjaga amanah untuk menjaga harta anak yatim, maka janganlah dia menerima tawaran untuk menjaga hartanya atau menawarkan diri untuk menjaga harta anak yatim. Karena ini adalah amanah yang sangat besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ

Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya saya melihatmu sebagai orang yang lemah. Saya menyukai untukmu apa yang saya sukai untuk diriku. Janganlah kamu menjadi pemimpin walaupun kamu hanya berdua dan janganlah kamu mengurus penjagaan harta anak yatim.”15

Demikian tulisan ini dan mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang memperhatikan anak yatim sehingga Allah subhanahu wa ta’ala memasukkan kita ke dalam surga dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Aisarut-Tafaasiir li kalaam ‘Aliyil-Kabiir wa bihaamisyihi Nahril-Khair ‘Ala Aisarit-Tafaasiir. Jaabir bin Musa Al-Jazaairi. 1423 H/2002. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam

  2. At-Tahriir wa At-Tanwiir. Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur. 1997. Tunisia: Dar Sahnuun.

  3. Al-Jaami’ Li Ahkaamil-Qur’aan. Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi. Kairo: Daar Al-Kutub Al-Mishriyah.

  4. Jaami’ul-bayaan fii ta’wiilil-Qur’aan. Muhammad bin Jariir Ath-Thabari. 1420 H/2000 M. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.

  5. Tafsiir Al-Qur’aan Al-‘Adzhiim. Isma’iil bin ‘Umar bin Katsiir. 1420 H/1999 M. Riyaadh: Daar Ath-Thaibah.

  6. Taisiir Al-Kariim Ar-Rahmaan. Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risaalah.

  7. Dan lain-lain. Sebagian besar telah tercantum di footnotes.

1 Lihat Aisar At-Tafasiir hal. 239-240.

2 Lihat Tafsiir Al-Baghawi no. II/169.

3 HR Abu Dawud no. 2875. Hadist ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud.

4 HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 3422. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 3180.

5 HR Abu Dawud no. 4406 dan Ibnu Majah no. 2541. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah.

6 Lihat Tafsiir Ibni Katsiir II/216.

7 Tafsiir Al-Baghawi II/165.

8 Lihat Tafsiir Al-Qurthubi V/37 dan At-Tahriir wat-Tanwiir IV/32-33.

9 Lihat Tafsiir Al-Qurthubi V/37-38.

10 HR Al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89/262.

11 Tafsiir Ath-Thabari VII/580.

12 Lihat Tafsiir Al-Qurthubi V/41-44 dan Tafsiir Ibni Katsiir II/217-219.

13 HR Ath-Thabari dalam Tafsirnya VII/582 dan Ibnu Syabbah dalam Tarikh Al-Madinah no. 1052 dari jalur Haritsah bin Mudharrib dari ‘Umar, dan Ibnu Syabbah juga no. 1053 dari jalur Abu Mijlaz dari ‘Umar, serta An-Nahhas dalam An-Naasikh wal-Mansuukh no. 181 dari jalur Yarqa’ Maula ‘Umar dari ‘Umar. Atsar ini sanadnya shahih alhamdulillah.

14 Tafsiir Al-Qurthubi V/45.

15 HR Muslim no. 1826/4720.

3 Comments on Berhati-hati dalam Menjaga Harta Anak Yatim

  1. alhamdulillah…….teruskan langkahmu menuju ridho ilahi…ayuhal asaatidzah wal ustaadzaat…moga melalui ta’aawun bainakum…akan melahirkan generasi islam yg memgikuti jajak para salaf

    • Barakallah fik. Mudahan kita semua bisa dimudahkan untuk menjalankan kewajiban dan meninggalkan yang haram. Termasuk di dalamnya kewajiban berdakwah. Mudahan dimudahkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.